IV

137 38 13
                                    

Arthur kembali berada di tempat favoritnya. Menatap matahari yang turun melewati cakrawala, membuat langit menampakkan semburat merah jingganya.

Dirinya baru usai mengerjakan tugas yang diberikan, ditemani semilir angin yang menyejukkan. Agendanya kini hanya menunggu hingga jam 7 malam dan pulang bersama calon kekasihnya, haha angan-angan belaka pikirnya.

Pikirannya kembali melayang pada pujaannya. Duduk bersebelahan membuat harum khas pemuda itu melewati indra penciumannya dengan bebas. Wanginya bercampur antara woody, musky, lavender, dan ah entahlah intinya ia harum, sangat maskulin. Arthur rela pura-pura tertidur dengan wajah menghadap Arafat demi menikmati aroma pemuda itu.

Kembali mengingat apa yang terjadi pada jam istirahat. Pipinya memanas. Ia merasa Arafat menatap dirinya cukup lama, tapi tak ada langkah berani yang mampu ia lakukan untuk memastikan tatapan itu benar tertuju padanya.

Salah tingkah, Arthur tak dapat menikmati makanannya. Kunyahannya lambat. Makanan kesukaannya hanya lewat tanpa dapat ia rasakan campuran rempah yang memanjakan indra perasa. Kalau di pikir-pikir bodoh juga melewatkan makanan nikmat hanya karena pandangan yang entah tertuju atau tidak pada dirinya.

Arthur tertawa kecil, baru begini saja dia sudah salah tingkah. Bagaimana nanti bila ia berkesempatan untuk berteman, bersahabat, menjalin kasih, atau bahkan menjalin saliva? Sial pikiran cabul.

Arthur memukul kepalanya pelan, berusaha menghilangkan pikirannya yang meliar. 'Bodoh, stop berpikir seperti binatang liar yang tak dapat mengendalikan nafsu.'

Kembali pada kenyataan, Arthur melirik jam tangannya. Tepat waktu. Melangkah turun dari bukit belakang sekolah dan menemukan Arafat kini berada di depannya, mengayunkan kakinya pelan dengan tas yang ia sampirkan pada salah satu bahunya. Tampak menawan walau dari belakang.

____________________________
Latihan klub berakhir lebih cepat dari biasanya. Masih pukul 18.30, 30 menit lagi menuju jam pulang biasanya. Secepat kilat Arafat menuju ruang ganti, mengganti jerseynya dengan kaos hitam nyaman.

Langkah kakinya ia bawa cepat menuju belakang sekolah. 'Raf, kemaren aku liat si pujaan mu itu ke bukit belakang waktu pulang sekolah.' Informasi yang ia dapatkan dari Rendy 8 bulan lalu. Menggali lebih jauh, ia mendapati bukit belakang sekolah sebagai tempat Arthur menunggu dirinya.

Hingga kini, pada setiap latihan yang selesai lebih dulu, pada setiap latihan yang ditiadakan, ia akan pergi ke atas bukit, memandangi siluet punggung kecil Arthur ditengah indahnya langit jingga.

Langkahnya melambat dan hati-hati seiring dirinya yang semakin dekat dengan Arthur. Tak ingin kehadirannya diketahui.

Tepat di balik pohon dirinya menikmati siluet Arthur yang tengah duduk, badannya mundur bertumpu pada tangannya. Angin membawa rambutnya tak tentu arah, menambah pesona pada dirinya.

'Kecil, lucu. Ini kalau tiba-tiba gua peluk sambil bilang 'sayang, pulang yuk' too much ga ya?'
'Atau kalo gua tiba-tiba tutup matanya dari belakang trus nanya 'hayo tebak aku siapa?' freak ga ya?'
'Atau langsung gua pegang aja rahangnya, gua cium bibirnya kayaknya oke juga. Ditonjok dikit gapapa kan?'

Arafat tersenyum di tengah-tengah pikirannya yang berisik, tentu ia tak akan melakukan semua itu. Mengajak bicara saja dirinya tak mampu.

Segala fakta mengenai Arthur yang selalu menunggu dirinya ataupun Arthur yang menonton setiap pertandingannya tak membuat Arafat menaruh rasa percaya diri akan perasaan Arthur padanya.

Arafat mengambil langkah mundur ketika dilihatnya jam sebentar lagi menunjukkan pukul 7 malam. Ia akan menunggu di tempat biasa Arthur menemukan dirinya berjalan di depan Arthur.

JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang