°
°
°
°
°
°
[ BAGIAN TIGA ]Hujan gerimis mengiringi perjalanan Diana dan Dikta. Lampu-lampu kota berkelap-kelip, memantul di genangan air di jalanan. Diana, yang duduk di samping Dikta, menatap wajah pria itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada kerinduan, ada rasa haru, dan sedikit rasa sesal.
"Mas Dikta, hujannya romantis banget, ya?" kata Diana, memecah kesunyian di dalam mobil.
Dikta tersenyum, matanya berbinar. "Iya, romantis. Seperti suasana saat ini."
Diana terdiam, pipinya merona. Ia tahu Dikta sedang bercanda, tapi ada sesuatu dalam nada bicara Dikta yang membuatnya sedikit gugup.
"Mas Dikta, kamu ngapain sih, ngelamun?" tanya Diana, berusaha mengalihkan perhatian.
"Nggak ngelamun, kok," jawab Dikta, "nanti kita mampir sebentar ke rumah mama saya ya, Di? Ada yang mau saya berikan."
Mobil Dikta melaju meninggalkan kota, menuju sebuah rumah yang terlihat tenang. Diana yang duduk di samping Dikta, perasaannya campur aduk. Ia tak menyangka diajak Dikta ke rumah orang tuanya. Padahal, Diana sudah menikah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa menolak ajakan Dikta. Mungkin karena kenangan masa lalu yang masih begitu kuat, atau mungkin karena sesuatu yang lebih dari sekedar kenangan.
Rumah orang tua Dikta sederhana namun hangat. Mama Dikta menyambut mereka dengan senyum ramah. Diana merasa sedikit canggung, namun Mama Dikta membuatnya merasa nyaman.
"Diana, calon mantuku," sapa Ratna, Mama Dikta, suaranya penuh kasih sayang.
Diana terkejut. Ia ingin memberi penjelasan, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Ia menikmati panggilan itu, meskipun ia tahu itu bukanlah kenyataan.
Sepanjang malam itu, Diana menghabiskan waktu dengan keluarga Dikta. Ia terasa nyaman dan bahagia. Ada sesuatu yang menghangatkan hatinya, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.
Saat perjalanan pulang, Diana akhirnya menanyakan hal yang mengganjal di hatinya.
"Mas Dikta," mulai Diana, suaranya sedikit bergetar. "Kenapa kamu nggak bilang ke Mama kalau kita sudah berpisah sejak lama?"
Dikta terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang penuh kesedihan. "Mama sakit, Diana. Dia sangat menyayangi kamu. Saya takut dia akan sedih jika tahu kita berpisah."
Diana terdiam, hatinya terenyuh. Ia memahami perasaan Dikta. Ia tahu betapa sayangnya Mama Dikta padanya.
"Saya tahu ini salah," lanjut Dikta, matanya menatap jalan di depannya. "Tapi saya tidak mau melihat mama saya sedih. Dia sudah menunggu kita bersama selama ini."
Diana mengangguk, air matanya mengalir dengan senyap. Ia terharu dengan kesungguhan Dikta untuk melindungi mamanya. Ia juga menyesal karena tak bisa memberi penjelasan kepada Mama Dikta.
Mereka terdiam sejenak, terhanyut dalam kesedihan dan kerinduan. Namun, di antara kesedihan itu, terasa ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang lebih kuat daripada waktu dan jarak. Sebuah ikatan yang tak pernah benar-benar putus.
Ditengah-tengah keheningan itu, Dikta akhirnya membuka suara untuk menciptakan kembali suasana yang menyenangkan dan tidak berlarut dalam kesedihan.
"Diana, saya tiba tiba kepikiran, kalau saja dulu saya nekat melamar kamu, mungkin sekarang kita sudah..."
"Sudah apa?" tanya Diana, suaranya sedikit gemetar.
"Sudah punya anak kembar," jawab Dikta, menatap Diana dengan mata yang penuh makna.
Diana tertawa kecil, namun hatinya terasa sedikit sesak. "Mas Dikta, nggak usah ngelantur deh. Aku sudah punya suami."
"Iya, saya tahu," jawab Dikta, suaranya terdengar sedikit sedih. "Tapi, saya masih ingat saat dulu kita masih sering bertemu, kamu selalu bilang, 'Mas Dikta, kalau kamu ninggalin aku, aku bakal diambil orang!' "
Diana terdiam, matanya berkaca-kaca. "Iya, aku pernah bilang gitu. Tapi, itu dulu. Sekarang, aku sudah jadi milik orang lain."
"Mas Dikta kelamaan sih melamarnya," kata Diana, suaranya berbisik, hampir tak terdengar.
Dikta menoleh, matanya menatap Diana dengan penuh kerinduan. "Iya, saya memang telat. Tapi, saya selalu mencintai kamu, Diana. Hingga saat ini."
Diana terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Hati nya berdesir, terasa seperti dihantam gelombang nostalgia. Kenangan masa lalu, saat Dikta masih menjadi pria yang menghiasi mimpi-mimpi nya.
Mobil berhenti di depan rumah Diana. Dikta menoleh, matanya tak lepas dari wajah Diana. "Sampai bertemu lagi ya, Diana."
Diana mengangguk, suaranya terbata. "Sampai jumpa."
Dikta berangkat, meninggalkan Diana yang terpaku di depan pintu. Hujan masih gerimis, menyeruak masuk ke dalam hatinya. Ia merasa terombang-ambing antara kenangan dan kenyataan. Cinta yang tak terlupakan, tetapi tak bisa bersatu.
"Mas Dikta..." bisik Diana, suaranya terbawa angin. "Aku juga masih mencintaimu."
Diana masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan kuat. Ia mencoba menenangkan diri, mencoba menyingkirkan rasa sedih yang menyerang hatinya. Tapi, kenangan tentang Dikta, tentang cinta yang tak terlupakan, terus menghantui pikirannya.
***
Jangan lupa untuk VOTE ya bub😉
Instagram Account : @/mcflurallery
TikTok Account : @/mcfluralleryYang ingin bergabung saluran wa untuk dapat spoiler-an bab berikutnya dan info info terbaru, bisa cek di instagram author ya.... Terimakasih🙏🏻🤍🫶🏼🫶🏼
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana Et Son Monde
Fanfiction"Reuni ini bagai lukisan lama, mengungkap kenangan yang hampir terlupakan. Kau, bagai bunga yang telah mekar sempurna, telah menemukan taman hatimu. Aku, yang tertinggal di tepi jalan, hanya bisa memandangmu dengan rindu yang tak terucap." - Pranadi...