Perpustakaan

123 22 4
                                    

°
°
°
°
°
°
[ BAGIAN EMPAT ]

Udara sejuk di bulan September menusuk kulit Diana. Ia duduk di pojokan Perpustakaan Pusat UI. Aroma buku tua dan debu memenuhi hidung Diana.

Perpustakaan kampus UI, tempat kenangan masa kuliah bersemi kembali. Ia tersenyum getir, mengingat betapa seringnya ia dan Dikta menghabiskan waktu di sini, berdebat tentang teori sastra atau sekedar bermanja-manja di antara rak-rak buku. Kemarin, ia baru saja bertemu Dikta di acara reuni. Pertemuan yamg cukup menegangkan, mengingat mereka dulu berpisah tanpa adanya pertengkaran. Dan sekarang...

Sebuah buku jatuh dari rak, tepat di sampingnya. Diana menunduk, mengambil buku itu, dan mendongak. Dikta. Berdiri di sana, dengan senyum yang sedikit canggung.

"Diana?" suaranya terdengar sedikit serak, seperti yang dulu selalu membuatnya meleleh.

Diana hanya bisa mengangguk, jantungnya berdebar-debar seperti drum band. "Mas Dikta," jawabnya, suaranya sedikit gemetar. Ia berusaha tersenyum, tapi hasilnya terlihat dipaksakan.

"Eh... ketemu lagi, ya?" Dikta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, terlihat salah tingkah. "Saya tidak nyangka bakal ketemu kamu di sini."

Tak ada jawaban dari Diana, matanya tak berani menatap mata Dikta terlalu lama. Ia melirik cincin di jari manisnya, sebuah pengingat akan kehidupan barunya.

"Kamu... masih suka baca buku, Di?" Dikta mencoba memecah keheningan yang terasa berat.

"Ya," jawab Diana singkat. "Kamu?"

"Masih," jawab Dikta, lalu tersenyum kecil. "Eh, gimana kalau kita jalan-jalan keliling kampus? Ke taman, mungkin? Ngobrol sebentar? Saya rasa pertemuan kita kemarin masih belum cukup, Di."

Diana ragu sejenak. Ia masih merasa canggung, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Dikta yang membuatnya luluh. "Boleh deh, Mas." katanya.

Matahari sore menerpa wajah Diana, menyisakan sedikit kehangatan yang tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti hatinya. Ia berjalan beriringan dengan Dikta, menuju taman kampus UI tempat kenangan mereka dulu terukir. Kampus yang pernah menjadi saksi bisu kisah cinta mereka, kini hanya menyisakan kenangan pahit yang sulit dilupakan.

Diana sudah menjadi istri orang lain, sebuah kenyataan yang tak pernah terbayangkan olehnya dulu. Pernikahannya dengan Galih, pria yang baik dan penyayang, tak mampu menghapus bayang-bayang Dikta di hatinya. Dan Dikta, pria yang pernah mencintainya dengan sepenuh hati, kini hanya menjadi teman biasa.

Mereka berjalan menuju taman, suasana terasa hening, diselingi tawa canggung dan batuk-batuk yang salah tingkah.

"Taman ini masih sama seperti dulu, ya?" Dikta memecah keheningan, suaranya terdengar sedikit gugup. Diana hanya mengangguk, matanya tertuju pada sepasang kekasih yang sedang duduk di bangku taman, terlihat asyik bercanda dan tertawa lepas. Diana tak kuasa menahan pandangannya, sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya, namun matanya menyimpan kesedihan yang dalam.

"Dulu kita juga seperti mereka ya, Mas." Ucap Diana pelan, sambil melirik ke arah pasangan kekasih itu. Suaranya terdengar lirih, sedikit bergetar.

Dikta terdiam sejenak, matanya mengikuti arah pandang Diana. Kenangan masa lalu berputar di kepalanya, kenangan tentang tawa, canda, dan janji-janji manis yang pernah mereka ukir bersama di taman ini. "Iya, Dian," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat.

"Dulu kita sering ngobrol di sini, sampai lupa waktu," lanjut Dikta, matanya seakan mencari jejak kenangan di taman itu. Sedangkan Diana hanya diam, tak mampu berkata-kata. Suasana canggung menyelimuti mereka, seakan menjadi tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.

"Jadi... gimana kabar kamu?" tanya Dikta, memecah keheningan di tengah perjalanan.

"Baik, Mas" jawab Diana dengan singkat

Setelah beberapa saat, Dikta tiba-tiba tertawa kecil, memecah ketegangan. "Kamu masih sama kayak dulu, ya? Tegas." Ia menambahkan, "Saya masih ingat waktu dulu, kamu selalu membantah pendapat yang saya berikan, walau sebenarnya kamu yang salah."

Diana tertawa kecil, ikut terbawa suasana. "Dan kamu juga masih sama, suka banget ngerasa paling benar," balasnya, suaranya sudah lebih lepas.

Mereka mengobrol banyak hal, tentang masa kuliah, tentang pekerjaan mereka sekarang, dan tentang kehidupan masing-masing. Ada sedikit rasa canggung, sedikit rasa salah tingkah, tetapi juga ada kehangatan yang tak bisa mereka pungkiri.

Kenangan lama bercampur dengan suasana baru, menciptakan perpaduan yang unik dan tak terlupakan. Pertemuan tak terduga di perpustakaan kampus UI, menjadi pengingat akan masa lalu dan penerimaan akan masa kini. Diana tersenyum, meski ia sudah menikah, pertemuan ini memberikan sedikit kehangatan nostalgia yang manis dan pahit sekaligus.

***

Jangan lupa untuk VOTE ya bub😉

Instagram Account : @/mcflurallery
TikTok Account : @/mcflurallery

Yang ingin bergabung saluran wa untuk dapat spoiler-an bab berikutnya dan info info terbaru, bisa cek di instagram author ya.... Terimakasih🙏🏻🤍🫶🏼🫶🏼

Diana Et Son MondeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang