"Bu, ini kertas mantra dan jimat kayu dari temanku," ujar Lia sambil mengangkat kedua benda itu tinggi-tinggi, seakan ingin menunjukkan betapa berharganya barang-barang tersebut.
Sang Hantu Wanita hanya memandanginya dengan tatapan tenang, lalu tersenyum lembut sambil menutup pintu. "Simpan baik-baik, sayang. Masukkan ke dalam tasmu."
Lia menggeleng perlahan, menatap ibunya dengan ragu. "Ibu, tidak mau menyimpannya? Kata teman, ini bisa melindungi kita."
Sang Hantu Wanita menggeleng pelan. "Kamu saja yang simpan, Nak. Ibu, Ayah, Kakek, Nenek, dan kakakmu sudah tak perlu benda seperti itu. Cukup kamu yang pegang."
Lia memiringkan kepalanya, penasaran. "Kenapa cuma aku?"
"Karena kami kuat, sayang," jawab Sang Hantu Wanita dengan senyum hangat.
"Oh," Lia Ruhani mengangguk serius. Dengan hati-hati, ia masukkan kertas mantra dan jimat kayu itu ke dalam tasnya.
Sang Hantu Wanita tak berkata lebih banyak, tapi dari beberapa kata itu saja, Lia Ruhani tampak mengerti dan percaya pada ibunya tanpa ragu.
"Ibu, sebenarnya hantu itu seperti apa sih? Mereka punya banyak kepala ya? Lidahnya panjang dan giginya tajam?"
"Memangnya Lia takut sama hantu?" tanya Sang Hantu Wanita, mencoba menggoda putrinya.
Lia Ruhani mengangguk cemas. Matanya yang kecil dan bulu matanya yang panjang berkedip pelan, seolah takut tapi penasaran.
Sang Hantu Wanita tersenyum tipis, menguap kecil saat hujan di luar mulai reda. "Tapi kamu belum pernah lihat hantu, kan? Kenapa takut?"
Lia terdiam, memikirkan jawabannya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa ia takut. Setelah berpikir sejenak, ia berbisik, "Aku tidak tahu. Mungkin... kalau mereka tidak menakutkan, aku juga tidak akan takut."
Sang Hantu Wanita tersenyum, menatap putrinya dengan lembut. "Tidak apa-apa kalau kamu tetap takut, sayang. Hantu ada yang punya satu kepala, ada yang dua, ada yang seram, ada yang tidak. Tapi semuanya bisa jahat. Jadi, kalau Lia bertemu mereka, gunakan kertas mantramu, ya?"
Lia tampak masih ragu. "Tapi aku tidak tahu rupa hantu itu seperti apa, Bu. Bagaimana aku tahu kalau mereka jahat?"
Sang Hantu Wanita membelai lembut kepala putrinya, menatapnya dalam-dalam. "Hantu yang berniat mencelakaimu, itulah yang jahat, Lia."
Lia Ruhani tampaknya mulai memahami. Ia mengangguk perlahan.
Tiba-tiba, Sang Hantu Wanita bertanya, "Apa saja yang kamu beli di luar, Nak?"
Lia berkedip, wajahnya langsung cerah, dan ia menjawab penuh semangat, "Aku beli kue, biskuit, keripik kentang, tomat, dan roti!"
Setiap kata yang diucapkannya begitu jelas, wajahnya ceria. "Kakak bilang dia mau buatkan sandwich untuk piknik besok!"
Sang Hantu Wanita tersenyum mendengar semangat putrinya. "Kalau begitu berikan pada kakakmu. Dia ada di dapur sekarang."
"Bagus!" Mata Lia berbinar, lalu ia berlari ke dapur.
"Kue untuk dimakan setelah makan malam, ya," ujar Sang Hantu Wanita, mengingatkan dari belakang dengan nada malas.
Di depan, terdengar langkah kaki kecil dan suara nyanyian ceria Lia Ruhani yang memenuhi rumah.
Sang Hantu Wanita menatap sosok putrinya yang semakin menjauh, tenggelam dalam pikirannya sendiri, penuh harap dan cinta.
Pintu rumah hantu itu kembali berderit, terbuka perlahan dari luar.
Sang Hantu Wanita memandang jauh dengan sorot mata penuh kecemasan, suaranya lembut tapi bergetar samar. "Lia bertemu seorang anak yang mampu menyegel Srikarsa."

KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Bayangan
Teen FictionDi rumah tua yang telah lama ditinggalkan, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Suara kecil itu, seperti sebuah keajaiban yang datang tanpa diundang─tawa seorang bayi. Lembut, renyah, tetapi terasa ganjil. Tawa itu seperti melawan kehendak rumah itu, y...