Tetesan hujan berirama di jendela, meninggalkan garis-garis air yang berliku. Lia Ruhani menempelkan wajah mungilnya ke kaca, mengamati langit kelabu dengan mata penuh antusiasme.
Kemarin cuaca mendung, seakan memendam sesuatu, tapi baru hari ini hujan turun, deras dan tak berkesudahan sejak pagi. Hingga siang, awan tebal masih menggantung, gelap seperti senja yang datang terlalu dini, seolah hujan ini enggan beranjak pergi.
Bagi hantu wanita, hari yang berbalut hujan seperti ini adalah favoritnya. Kala awan kelabu menutup sinar matahari, dunia terasa senyap, dan semuanya kembali ke titik sepi—tempat para hantu merasa damai. Di cuaca seperti ini, kekuatan spiritualnya menguat, membuatnya lebih berenergi daripada biasanya.
Ia memiringkan kepalanya, bersandar malas di sofa, rambut panjangnya tergerai seperti aliran sungai. Dengan suara lembut, ia berkata kepada Lia yang menatap ke luar jendela, "Hujan akan reda jam enam sore. Jangan khawatir."
Mata Lia berbinar. Ia melompat ke arah hantu wanita, yang melanjutkan dengan tenang, "Kita masih bisa pergi piknik besok. Rumput mungkin akan basah, tapi kita bisa duduk di paviliun. Cuaca cerah sudah menanti."
Hantu wanita sebenarnya lebih menyukai hujan seperti hari ini. Ia merasa lebih hidup dalam suasana kelabu ini, tetapi ia tahu, besok ia harus menghadap pada sinar matahari yang bukan favoritnya.
Lia tertawa kecil, "Wow!"
Senyum tipis muncul di bibir hantu wanita. "Dua jam lagi, hujan akan reda. Kamu bisa pergi membeli persiapan piknik besok. Beli saja apa yang kamu mau."
Dengan anggukan mantap, Lia mengiyakan.
***
Dua jam kemudian, di ambang pintu, hantu pria muda membantu Lia memakai ranselnya. "Kamu masih ingat yang aku katakan kemarin?"
"Iya, aku ingat," jawab Lia percaya diri.
Ia bertanya lagi, "Kamu yakin bisa ke supermarket sendiri hari ini?"
Meski sedikit ragu, Lia mengangguk. "Bisa."
Hantu pria muda tersenyum tipis. "Jangan kebanyakan beli camilan, ya. Di kulkas masih banyak buah. Ingat waktu kita belanja dengan kakakmu?"
"Iya! Aku hanya mau beli kue kecil dan roti. Kakakku janji mau bikin sandwich untukku, tapi kita belum punya roti dan tomat. Mungkin aku akan beli keripik kentang juga, hanya sedikit kok!" kata Lia sambil tertawa.
Daftar belanjanya perlahan bertambah panjang, tetapi hantu pria muda itu hanya tersenyum sabar. "Ingat, kamu cuma boleh beli satu kue. Kalau kamu beli terlalu banyak, nanti kamu susah bawa pulang."
Lia mengangguk ceria, menggenggam payung kuning kecilnya, lalu melangkah ringan di bawah rintik hujan.
***
Dengan sepatu bot kuning, Lia berjalan hati-hati melewati genangan air, kadang melompat kecil, menikmati setiap detik perjalanan menuju toko. Sesampainya di supermarket, ia menggantung payung di dekat pintu dan segera masuk, mengarah ke bagian roti.
Pilihan pertama adalah kue krim kecil dengan kelopak mawar di atasnya. Kemudian ia mengambil sekantong roti tawar empuk. Setelah itu, ia menuju lorong camilan, langkahnya ringan dengan gemericik suara lantai basah di bawah sepatu botnya.
Di rak ketiga, Lia menemukan keripik kentang favoritnya. Namun, rak itu terlalu tinggi untuk tubuh mungilnya. Meski berjinjit, ia tak kunjung meraihnya. Lia menggigit bibir, hampir meminta bantuan.
Tak jauh darinya, seorang petugas toko berwajah pucat berdiri di ujung lorong. Wajahnya kosong, tetapi pesan ayahnya terngiang di kepalanya: jangan mendekati siapa pun yang terasa asing.
Lia menghela napas, hendak mencari bantuan orang lain, ketika tiba-tiba, kantong keripik itu jatuh tepat di dekat kakinya. Lia terkesiap, mengambil keripik itu dengan mata berbinar, lalu memandang sekeliling, mencari siapa yang mungkin telah membantunya.
Namun, tidak ada siapa-siapa.
Dari balik rak, samar-samar tampak sosok berambut panjang dengan rok merah-putih yang melambai perlahan, ditiup angin dingin dari pendingin udara supermarket.
Saat Lia Ruhani menuju kasir, matanya kembali melirik etalase toko roti. Tak tertahankan, ia mengambil lagi sepotong kue krim lembut. Senyum kecil tersungging di wajahnya; satu kue untuk malam ini, dan satu lagi untuk piknik esok hari.
"Hehehe..." gumamnya kecil sambil berseri-seri.
Lia yang mungil harus berjinjit sedikit, mengangkat kue, roti, keripik kentang, biskuit, satu tomat, dan seikat anggur ke atas konveyor, satu per satu. Setelah semua diletakkan, dia menatap kasir dengan mata berbinar.
"Berapa, Kakak?"
Kasir itu, yang sempat tidak menyadari siapa yang bicara, menunduk dan melihat seorang gadis kecil berambut ikal dengan topi kuning lucu.
"Butuh kantong?" tanya kasir dengan suara lembut sambil memindai barang satu per satu.
Lia buru-buru mengeluarkan kantong kain dari tas kecilnya. "Enggak, Kakak! Aku bawa sendiri!"
"Oh, baiklah." Kasir itu sedikit terkejut, tersenyum melihat kegigihan kecilnya. "Jadi, totalnya seratus delapan puluh lima ribu rupiah, ya."
Lia mengeluarkan ponselnya, dengan sigap memindai kode dan membayar. Setelah transaksi selesai, kasir yang memperhatikan dari tadi membantu memasukkan belanjaan Lia ke dalam kantong kain.
"Kamu yakin bisa bawa semua ini?"
Lia mengangguk mantap, "Bisa, kok! Terima kasih, Kakak!"
Dengan kedua tangan kecilnya, ia memegang kantong belanjaan, berjalan ke pintu, mengambil payung kuning kecil yang ia gantung di rak, lalu melangkah ke luar di bawah gerimis yang lembut.
***
Hujan ringan mengiringi perjalanan pulang Lia, yang sesekali melompati genangan kecil dengan langkah ceria. Jalan menuju rumahnya terasa lebih panjang malam itu, mungkin karena gerimis halus dan angin lembut yang mendorong perasaan nostalgia.
Saat sampai di sebuah gang, Lia berhenti sejenak. Jalan menuju rumahnya memang lebih jauh jika lewat jalan utama. Ia melirik ke gang yang gelap, merasa ingin mencoba jalan pintas. Gang itu sebenarnya tidak lebih cepat, tetapi rasanya selalu seru mencoba jalan baru.
Lia tidak seperti orang lain, yang takut gelap dan sepi. Baginya, lorong yang sunyi justru mengundang rasa penasaran, dan ia terus berjalan di bawah payung kecilnya, perlahan melangkah.
Namun, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu menyentuh payungnya. Kepalanya sedikit miring dan ia berbalik, kaget.
Di sana berdiri seorang wanita berambut panjang yang pernah ia lihat di taman kanak-kanak. Wajahnya pucat, dan ia mengenakan gaun putih gradasi merah yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Tapi anehnya, wanita itu tak membawa payung.
"Kakak, kenapa enggak bawa payung?" Lia tersenyum dan mengulurkan payung kecilnya, menawarkan dengan polos.
Wanita itu diam sejenak. Akhirnya ia mengambil payung itu dengan wajah kaku. "Ayo. Kakak antar kamu sampai di ujung jalan."
Lia tersenyum lebar, gembira wanita itu akhirnya mau menerima payungnya.
Mereka pun berjalan beriringan, langkah kecil Lia berlarian di samping langkah tenang wanita bergaun merah itu.
Di ujung gang, seorang pria yang kusut tampak memperhatikan. Matanya tak bisa berpaling melihat Lia berjalan sendirian dengan riang di tengah gerimis. Sebuah payung kuning mengambang lembut di udara tanpa seseorang yang memegang. Senyum kecil Lia terukir di wajah mungilnya yang putih, tetapi... tak ada siapa-siapa di sebelahnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/383763738-288-k390208.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Bayangan
Teen FictionDi rumah tua yang telah lama ditinggalkan, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Suara kecil itu, seperti sebuah keajaiban yang datang tanpa diundang─tawa seorang bayi. Lembut, renyah, tetapi terasa ganjil. Tawa itu seperti melawan kehendak rumah itu, y...