empat

32 22 19
                                    

Esok harinya, sepulang sekolah, Lala berjalan cepat menuju rumah Nofal. Biasanya, Nofal sudah lebih dulu ada di depan rumahnya atau di sekolah mengajaknya bermain. Namun, hari ini berbeda. Dari pagi hingga jam pulang sekolah, Lala sama sekali tidak melihat sosok sahabat kecilnya itu. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran. Ada apa dengan Nofal hari ini?

Ketika sampai di depan rumah Nofal, Lala terkejut melihat barang barang rumah Nofal dipindahkan ke halaman luar, menumpuk di sana bersama kardus kardus. Sebuah mobil box besar terparkir di samping rumah. Pemandangan itu membuat Lala merasa bingung

"Nopaaal! Kamu di mana?" panggil Lala, sambil melangkah mendekati pintu rumah

Tiba tiba, Nofal muncul di pintu dengan mata yang agak bengkak, sepertinya ia habis menangis. Melihat Lala datang, Nofal merasa hatinya sedikit tenang, tapi kesedihan tetap terlihat di wajahnya

"Lalaa..." panggil Nofal lirih, berusaha tersenyum meski air mata masih tampak di sudut matanya

Lala tertawa kecil dan langsung menghampiri sahabatnya itu. "Pal, kok barang barang kamu ditaro di luar? Kamu lagi mau bersih bersih, ya? Wah, rame banget sih! Seru nih kalau misalnya kita bantu bantu!"

Nofal menelan ludah, bingung bagaimana menjelaskan situasinya kepada Lala. Bagaimana cara memberi tahu bahwa ini adalah hari terakhir mereka bermain bersama? Lala terlihat begitu polos, menganggap semua ini hanya bagian dari kegiatan biasa di rumah Nofal

Sebelum Nofal bisa menjawab, ibu Nofal keluar dari dalam rumah sambil membawa kotak kecil. Wajahnya lembut namun tampak sedih. Melihat Lala, beliau berusaha tersenyum dan menyapanya

"Halo, Lala. Lagi cari Nofal, ya?" tanya Ibu Nofal dengan suara yang penuh kasih

Lala mengangguk antusias. "Iyaaa, Tante! Aku kangen banget main sama Nopal, tapi kok barang barangnya di luar semua? Lagi mau pindah rumah ya, Tante? Tapi pindahnya ke mana? Di sini aja ya, deket rumah aku, biar kita masih bisa main bareng."

Ibu Nofal tersenyum lembut, lalu berlutut di depan Lala, "Iya, sayang, Tante lagi beres beres. Tapi rumahnya mungkin agak jauh dari sini."

Lala, dengan polosnya, tersenyum lebar. "Oh, nggak masalah! Aku nanti bisa ke sana, kan? Sama Nopal nanti kita main dokter dokteran lagi, atau kita main petak umpet!"

Nofal yang berdiri di samping, mendengar perkataan Lala, semakin sedih. Dia tidak tahu harus bagaimana memberitahu sahabatnya bahwa mereka akan benar benar berpisah dan tak akan bisa sering bertemu lagi. Ia hanya bisa diam, menggenggam tangannya sendiri dengan gemetar, tak berani menatap langsung ke arah Lala

Ibu Nofal mengusap kepala Lala dengan lembut

"Iya, sayang. Nanti kapan kapan kita bisa main lagi, ya," ucapnya dengan suara bergetar

Lala tersenyum cerah dan memegang tangan Nofal. "Seru ya, nanti aku main ke tempat Nopal. Aku janji bakal dateng, terus kita main sampe puas!"

Nofal hanya mengangguk, lalu mengusap air mata yang hampir jatuh lagi. "Iya, La... Kita pasti main lagi. Janji."

Tanpa tahu apa yang sebenarnya akan terjadi, Lala terus berceloteh ceria tentang permainan permainan yang ingin mereka lakukan nanti. Bagi Nofal, setiap kata yang diucapkan Lala bagai menambah beban di hatinya. Sementara itu, Ibu Nofal berdiri di samping mereka, mengamati keduanya dengan tatapan penuh kasih dan haru.

----

Ketika semua barang sudah dimasukkan ke dalam mobil box, Ibu Nofal memanggil Nofal untuk bersiap siap berangkat. Nofal menoleh ke arah Lala, tak ingin berpisah dengan sahabat kecilnya itu

"Lala... aku harus pergi dulu sekarang," ucapnya lirih, mencoba menguatkan diri

Lala mengangguk riang. "Oke, Paal! Sampe ketemu nanti sore, ya! Aku tungguin kamu di depan rumah aku!"

Nofal ingin menjelaskan, ingin memberitahu Lala bahwa dia mungkin tidak akan kembali lagi. Namun, melihat wajah Lala yang begitu polos dan penuh harapan, dia hanya bisa tersenyum dan mengangguk, meski hatinya merasa berat

"Iya, La. Sampe ketemu lagi..." jawabnya sambil menahan air mata

Dengan berat hati, Nofal dan ibunya masuk ke dalam mobil box. Lala melambaikan tangan dengan semangat, sambil terus berteriak, "Sampe ketemu nanti, Nopaaal! Jangan lupa, ya!"

Nofal melambaikan tangan dari dalam mobil, mencoba menahan isak tangisnya. Mobil perlahan bergerak menjauh, sementara Lala tetap berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan sampai mobil itu menghilang dari pandangan. Di benak Lala, ia masih berpikir bahwa nanti sore Nofal akan datang seperti biasa. Tapi bagi Nofal, ia tahu bahwa ini adalah selamat tinggal yang tak terucap, perpisahan yang tak mungkin dimengerti oleh Lala saat ini.

----

Malam mulai jatuh, dan udara semakin dingin. Lala masih duduk di depan rumahnya, tatapannya tak lepas dari jalan di depannya. Sesekali, dia menggoyangkan kakinya dengan riang, seolah sedang menunggu kejutan dari sahabat kecilnya yang akan segera tiba. Namun, jam terus berputar, dan tak ada tanda tanda Nofal akan datang

Ibu Lala yang melihat putrinya masih di luar rumah akhirnya keluar mendekatinya. Dengan lembut, beliau menyentuh bahu Lala. "Sayang, kenapa masih di sini? Udah malem, lho."

Lala tersenyum cerah sambil menoleh ke ibunya. "Nopal belum dateng, Bu. Katanya dia tadi lagi sibuk beres beres. Jadi aku nungguin dia di sini deh, kita mau main dokter dokteran atau petak umpet lagi."

Ibu Lala terdiam sejenak, merasakan beratnya kenyataan yang harus ia sampaikan kepada anaknya. Ia tahu, hati Lala yang polos belum siap menerima kabar bahwa Nofal mungkin tidak akan kembali lagi dalam waktu dekat

"Lala sayang," ucap ibunya dengan lembut, duduk di samping putrinya

"Tadi Ibu Nofal bilang ke Ibu kalau Nofal sama keluarganya pindah rumah. Mungkin aja mereka tinggal jauh sekali dari sini, jadi Nofal nggak bisa main ke sini setiap hari lagi."

Mendengar itu, Lala mengerutkan kening, tampak bingung. "Tapi... Nopal tadi udah janji bakal main lagi, Bu. Dia janji sama aku. Aku tungguin dia, ya."

Ibunya tersenyum sedih, lalu memeluk Lala. "Iya, sayang. Tapi kadang, orang harus pergi jauh dan nggak bisa langsung balik lagi. Mungkin nanti atau suatu hari, kamu sama Nofal bisa ketemu lagi."

Air mata mulai menggenang di mata Lala, menyadari bahwa sesuatu yang penting akan berubah. "Tapi aku kangen Nopal, Bu. Aku pengen main lagi sama dia."

Ibu Lala mengusap punggung putrinya, menenangkannya. "Ibu tau, sayang. Ibu tau kamu kangen. Kamu boleh kangen sama Nofal kapan aja, dan kamu bisa mengingat semua permainan yang kalian lakukan berdua. Itu yang membuat kenanganmu sama Nofal tetep hidup di hati kamu."

Lala terdiam sejenak, membiarkan air matanya jatuh. Ia memeluk ibunya erat, merasakan kehangatan yang menenangkannya, meski hatinya masih sedih. Dalam pikirannya, Lala berjanji bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan cara untuk bertemu Nofal lagi

Malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, Lala memandang ke arah jalan satu kali lagi sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah bersama ibunya. Meski ia belum sepenuhnya mengerti arti dari perpisahan, dalam hati kecilnya, Lala mulai memahami bahwa ada saatnya orang orang yang kita sayangi harus pergi jauh, dan yang bisa kita lakukan hanyalah merawat kenangan indah yang tersisa.

TBC!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dokter KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang