Akhir 2007.
"Apa kamu sudah benar-benar berpikir mau lakukan ini?" tanya Mister Hwang setelah terdiam beberapa saat. Tatapannya masih tertahan pada selembar kertas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja kerjanya.
Aku mengangguk seakan begitu yakin dengan keputusanku untuk resign. Padahal isi kepalaku terlalu berisik. Seolah neuron-neuron sedang bergibah dengan keputusanku yang hanya menuruti emosi.
Tapi mau bagaimana lagi. Kenyataannya hatiku hancur melihat Mas Adi berpacaran dengan Sita. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi tatapan teman-teman sekantor, kasak-kusuk menyebalkan dari gerombolan para pekerja pabrik dan para satpam. Semuanya seolah sedang menertawakanku karena telah tertipu cinta Mas Adi.
Bahkan aku juga kecewa dengan diriku sendiri. Bisa-bisanya aku terlalu percaya pada Sita dan menceritakan seluruh perasaanku tentang Mas Adi padanya. Kupikir dia teman, ternyata dia hanya ilalang.
"Semua ini gara-gara Adi brengsek!" umpatku dalam hati.
Laki-laki paruh baya di hadapanku itu melepaskan kacamata berbingkai kotak berwarna keemasan di wajahnya. Tangan kanannya segera mengambil kain kecil dari laci dan mengusap lensa kacamata beberapa kali sebelum memakai benda itu kembali.
"Ya, Anya," panggilnya.
"Iya Mister?" Pandanganku masih tertuju padanya meski sempat melirik jarum di arlojiku yang telah bergeser lima belas setrip. Setahun bekerja sebagai sekretarisnya, aku cukup hafal dengan dialeknya yang menurutku unik. Meskipun hanya kata "yeoboseo" yang bisa kudengar dari mulutnya dengan jelas. Juga kata "ya imma", yang tadinya kupikir itu nama anak atau istrinya.
"Saya tahu ya, kamu itu pintar, kamu bisa cepat mengerti dan bekerja dengan baik," laki-laki itu menghentikan kalimatnya, ekspresinya tampak sedang memilih rangkaian kata yang ingin diucapkan. Kemudian melanjutkan kalimatnya dengan nada yang lebih tinggi namun terkesan sedang merengek. "Yaa Anya, kenapa kamu tidak kasihan saya ya? Gimana nanti bisnis baru saya ini, siapa mau urus?" tangannya menunjuk-nunjuk pada tumpukan kardus berisi skincare dan haircare yang beberapa waktu lalu ia datangkan dari negaranya, Korea Selatan.
"Kan ada Irene Mister," jawabku santai.
"Yaa Anya, Irene masih baru, ya. Dia belum bisa urus-urus ini semua barang saya ya. Dia perlu waktu banyak buat belajar semuanya." Nada suara pria itu semakin meninggi.
"Nanti saya ajarin dia Mister," kataku setengah tengil.
"Yaa Anya, bukan itu maksud saya ya!" suaranya masih tinggi dengan jari telunjuk yang mengarah persis padaku. Bos pemilik pabrik veneer kayu itu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
Kali ini aku memilih diam agar suasana tak terlalu keruh. Seketika hening. Hanya bunyi jarum jam yang terdengar berdetak. Laki-laki itu bangkit dari kursinya, berjalan melewati punggungku menuju jendela ruangannya yang mengarah pada bagian pabrik.
Suara mesin rotary kayu beserta gemuruh blower seketika memenuhi ruangan. Suara mesin-mesin pemotong yang menukik bergantian, hingga bisingnya knalpot forklift pun ikut menghambur bersama hawa panas yang segera mengurangi dinginnya hembusan AC.
Aku menunduk memainkan kuku-kuku jari yang tak bersalah. Suasana seketika menghening saat kaca jendela terdengar bergeser. Aku mencuri pandang melalui ekor mata kiriku dan mendapati bos Korea itu sedang berjalan ke arahku. Dia mengambil kursinya kembali.
"Ya Anya, saya tidak suka dengan keputusan kamu untuk resign ini, ya. Itu sebab kenapa saya dua kali sobek-sobek surat kamu mau berhenti waktu itu. Tapi saya juga tidak bisa menahan lagi kamu punya ingin untuk berhenti kerja," tuturnya dengan kalimat yang berantakan.
Meski susunan kalimatnya selalu berantakan, namun aku selalu memahami maksudnya. Kali dia mengatakan bahwa dia terpaksa menyetujui surat pengunduran diriku setelah dua kali menolaknya dengan merobek-robek surat pengunduran diriku sebelumnya.
Aku mengangguk dan memberanikan diri menatap matanya sejenak. Laki-laki itu memandangku dengan hangat dari balik lensa kacamata yang terang.
"Kamu harus tahu, saya... emmm... kamu itu...," katanya dengan intonasi yang lebih lembut. Ia menghentikan kalimatnya lalu membuka kamus bahasa Korea – Indonesia di mejanya. Kepalanya menggeleng-geleng. Kemudian berganti membuka kamus bahasa Korea – Inggris, namun tampaknya tak menemukan terjemahan kata yang ia cari.
"Nyari kata apa sih Mister?"
"Yaa kamu tidak tahu ya, itu bahasa Korea, kamu tidak akan mengerti."
Bibirku meruncing menyebut kata "Ooh...." Tanpa suara.
"Tapi saya senang dengan pekerjaan kamu, saya ingin kamu bisa berkembang jadi lebih baik lagi setelah berhenti dari sini. Kamu pintar dan masih sangat muda. Kamu bisa pergi kuliah agar kamu bisa lebih pintar dan mendapat pekerjaan yang bagus."
"Baik Mister!"
"Ya, sekarang kamu boleh keluar dari ruangan saya."
"Makasih Mister!"
"Ya, ya." Tangan laki-laki itu memberiku isyarat agar segera pergi. Aku segera bangkit dan keluar dari ruangan Mister Hwang Si-won, bosku dari Korea Selatan.
_________________
*Yeoboseyo (여모세요) : Halo! (saat berbicara di telepon)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Kim, Annyeong!
عاطفيةKKAMJJAGI!!! Anya tiba-tiba terbangun di meja kerja dan berhadapan dengan bosnya 17 tahun silam. Pikirannya masih linglung setelah mengalami kecelakaan semalam. Keadaan aneh itu terjadi begitu saja setelah Anya menghadiri pernikahan mantan kekasih d...