Bab 1: Malaikat Maut

8 1 0
                                    

"Congratulation," ucapku datar pada sepasang pengantin di atas pelaminan. 

Sedikit pun aku tak berusaha untuk bahagia atas pernikahan keduanya. Ucapan itu semata-mata sebagai tindakan hipokrit agar orang di depan dan belakang barisanku tidak sangsi.

Robby sebagai pengantin lelaki menyambutku dengan senyuman manis. Namun senyum itu tak menular sedikitpun padaku. Tangan kanannya meraih tanganku untuk berjabat. Sementara tangan kirinya mengunci punggung telapak tanganku sehingga kedua tangannya menjepit dengan kuat. Aku berusaha melepaskan jabatan tangannya, tetapi gagal.

Sekali lagi aku berusaha melepaskannya tanpa berusaha tersenyum sedikit pun. Empat mata kami saling beradu. Tebersit keinginan untuk mencolok kedua mata itu dengan jari yang sudah kutempeli kuku-kuku palsu runcing.

"Gae-saekki-ya!" gumamku.

Nyatanya hanya umpatan tanpa suara itu yang mampu aku lakukan. Cita-cita menamparnya di pelaminan yang sedari tadi sudah aku rencanakan, kubatalkan tanpa alasan jelas.

Aku segera bergeser ke hadapan pengantin perempuan, Diandra, sahabat yang sudah bertahun-tahun membersamaiku. Kami dipertemukan sebagai sesama freelancer pendatang baru di salah satu event besar yang dihelat di kawasan Nusa Dua. Saat itu bahkan kami masih sama-sama kuliah. Nyatanya, kebersamaan yang berlangsung lama itu tak membuat persahabatan kami suci.

Mataku berkaca-kaca menatapnya yang tampak begitu bahagia. Sedangkan matanya yang bulat besar itu tampak semakin bersinar bersama balutan busana pengantin adat Minang bernuansa merah hati dan sentuhan warna emas. 

Gemerlap suntiang yang menghiasi kepalanya pun menambah elegan, melambai seakan turut menertawaiku. Bukankah seharusnya aku yang memakai mahkota itu di pelaminan ini. Bukankah suntiang itu pernah menjadi impianku sejak berpacaran dengan Robby yang berdarah asli Padang Pariaman.

Realitanya, selain keberuntungan sedang memihaknya, Diandra juga ditakdirkan memiliki wajah rupawan. Kulitnya yang halus dan kencang itu seakan sedang menegaskan bahwa usianya memang lebih muda dariku. Mungkin itu sebabnya Robby nekat menyelingkuhiku hingga bisa menikahinya.

Tubuh Diandra mencondong ke arahku. Juntaian suntiangnya bahkan terasa menyentuh telinga kiriku. Kedua tangannya terasa menyentuh punggungku dengan gerakan sedikit menarik ke arahnya. Seketika aliran darahku seperti terhenti. Aku termangu dengan keadaan yang begitu di luar dugaan. 

Bukankah seharusnya aku bisa mencekik sahabat yang diam-diam menjalin hubungan dengan pacarku. Bukankah seharusnya aku bisa menampar pacar yang selama ini diam-diam berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Namun semua rencana itu hanya sebatas bualan pikiranku. Aku tak mampu mengeksekusi apa pun di pesta pernikahan mantan pacar dan sahabatku ini.

"Thank you Anya sudah hadir," bisik Diandra.

Aku segera tersadar dan melepaskan pelukannya. Bersama itu pula kuhadiahkan sedikit senyum palsu untuknya.

Aku berjalan untuk menyalami kedua orang tua Diandra. Orang yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Seorang ibu yang kepadanya kupercayakan keluh kesahku seperti aku mengeluh pada mendiang ibuku. Seorang bapak yang kuanggap bijaksana dan tegas dalam membimbing kami berdua, sebagaimana almarhum bapakku sebelum kuketahui kalau dia diam-diam menikahi wanita lain selain ibuku.

Kenapa semesta terlalu mengesampingkan keberadaanku? Apakah aku satu-satunya makhluk yang tak berhak bahagia? Begitu isi kepalaku yang berkecamuk. Aku berusaha sekuat tenaga agar tetap berdiri kokoh di tengah pesta yang menyesakkan ini. Kulangkahkan kakiku menuruni pelaminan dan segera menuju pintu keluar gedung.

"Itu kan temannya Dian, dulu sering lihat dia main ke rumah Dian," bisikan yang tak sengaja kudengar saat aku melewati sekumpulan ibu-ibu di kursi undangan.

Mr. Kim, Annyeong!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang