Bagian Kedua belas

11 6 1
                                        

Namun, seakan takdir berkata lain.

Anak ini telah dimiliki oleh orang-orang yang menantikan kepulangannya, dan di rumah itu ada kekuatan yang tak terjangkau olehnya, kekuatan yang tak bisa ia lawan. Semuanya seakan berjarak, bagai bayangan yang hanya bisa dilihat tanpa pernah tersentuh.

Gadis kecil itu memang tak pernah benar-benar sendiri. Justru, yang terperangkap dalam kesendirian adalah dirinya, yang berdiri di sini, diam dan sunyi.

Wanita itu memandangnya dengan tatapan penuh kasih yang tak terkatakan, seolah menginginkan sesuatu yang tak bisa ia capai. Betapa ia ingin membawa gadis itu pergi, memeluknya erat, dan menjauh dari segala keterasingan yang terasa asing ini...

Namun, Lia Ruhani menatap wanita itu dengan polos, tanpa sedikit pun beban. "Aku tidak bisa pergi denganmu," kata Lia lirih, seraya menggigit bibir. "Ibu dan Ayahku ada di sini."

Wanita itu menunduk, dan dalam diam, sorot matanya dipenuhi kesedihan yang dalam, mengalir seperti aliran air hujan. Tapi Lia terlalu muda untuk memahami guratan pilu itu, matanya hanya mengikuti jejak tetesan hujan di sisi payung.

"Kakak," suara Lia kecil terdengar jernih, membuyarkan kesunyian di antara mereka. "Bisakah Kakak pegang payungnya? Tangan Lia mulai lelah."

Wanita itu terdiam. "..."

"Sana sedikit, Kak, supaya payungnya bisa menutupi kita berdua," Lia menunjuk arah yang ia inginkan, dengan polos dan lugu.

Dengan ragu, wanita itu menggeser payung ke arah yang ditunjuk, melindungi mereka berdua dari hujan. Melihat itu, Lia tersenyum senang, langkah kecilnya mendekat, semakin dekat.

"Kalau Kakak bilang aku terlalu maju, ya sudah, Lia mundur sedikit saja, biar kita sama-sama nggak kehujanan," katanya dengan suara yang kekanak-kanakan, penuh keriangan yang sederhana.

Wanita itu kembali diam, menatap wajah Lia yang teduh di bawah payung yang mereka bagi bersama. Hujan mengguyur deras di luar sana, menciptakan denting-denting yang bergaung dalam kesunyian mereka.

Dan di bawah payung itu, di bawah tatapan penuh makna yang diam-diam terbentuk, wanita itu hanya mampu menatap. Matanya, seperti lubuk hati yang paling dalam, menelusuri wajah polos Lia. Hujan deras terus mengguyur, tapi di sana, sosok wanita itu perlahan-lahan memudar, hilang bersama tetesan hujan.

Payung yang melayang itu turun perlahan, hampir seperti menari di udara, sebelum menyentuh jemari Lia Ruhani dengan lembut. Sejenak ia terpaku, baru tersadar dan berseru pelan, "Eh?" Lirikan matanya menyapu sekitar, mencari-cari sesuatu yang sepertinya hilang.

"Kakak?" panggil Lia Ruhani, setengah berbisik.

Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang mendekat, pelan, teratur. Sepasang sepatu hitam kecil muncul di tengah kabut hujan.

"Lia Ruhani?" Suara itu terdengar familiar.

Lia mengangkat wajah dan mengenali sosok itu. "Kak Raka."

Raka Samudra menatapnya tajam, pandangannya penuh perhatian. "Kenapa kamu di sini, Lia? Hujan deras begini." Lalu, ia melirik sekeliling, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. "Selain kamu, ada siapa lagi di sini tadi?"

Lia mengangguk pelan. "Ada kakak lain."

Alis Raka berkerut. "Aku merasakan jejak dendam yang berat, masih baru. Di mana kakak itu sekarang?"

Di tengah rintik hujan yang dingin, ia merasakan aura lain yang tak biasa. Bagi mereka yang bisa melihat, dendam itu seperti kabut gelap yang membungkus roh yang terluka, bisa memudar, bisa juga semakin pekat, tergantung seberapa besar kesalahan dunia fana yang membebaninya. Dan ketika dendam telah menyatu dengan roh, ia menjadi bagian dari bayangan yang tak akan pernah pergi.

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang