"Kelas akan dimulai!" seru Lia Ruhani, cemas sambil melirik sekelilingnya.
Bunyi lonceng berdentang, menyusup ke udara, membuyarkan pikirannya yang sejak tadi penuh keraguan. Wajahnya tampak gelisah, tapi ia tahu tak bisa menunggu lebih lama lagi.
"Kak Raka, aku pergi dulu, ya! Sampai jumpa!" ucapnya seraya melambaikan tangan. Tanpa menunggu jawaban, ia bersiap berlari.
Namun, Raka Samudra menahan langkahnya dengan lembut. Tangannya menggenggam pergelangan Lia, seakan memberi jeda dalam kehebohan yang baru saja dimulai.
"Latih kekuatan spiritualmu setiap hari," ucapnya dengan nada pelan tapi tegas. "Itu akan membantumu menghadapi bayangan gelap dan roh jahat."
Lia terdiam, matanya menatap Raka sejenak, mencoba mencari sesuatu dalam kata-katanya. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baik. Aku pergi dulu."
Tanpa menoleh lagi, Lia berlari, meninggalkan bayangan Raka yang masih berdiri di sana.
Langkahnya terhenti di depan ruang kelas, tapi pikirannya melayang. Ia tahu, kelas hanya menunda masalah itu sesaat. Kata-kata Raka terus terngiang di telinganya, dan entah mengapa, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Lia yakin bahwa Raka benar-benar peduli.
...
Malamnya, saat suasana rumah mulai sepi, Lia mendekati ayahnya dengan raut wajah penuh tanda tanya. "Ayah, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, hampir berbisik.
Ayahnya hanya tertawa kecil. "Mereka bisa datang kapan saja, asal memberi kabar sebelumnya," jawabnya, nyaris tak peduli.
Nada suara Hantu Pria Muda yang tenang dan penuh keyakinan memberikan Lia Ruhani perasaan aman yang hangat. Gadis itu tersenyum, membayangkan hari yang menyenangkan di taman hiburan bersama Raka Samudra.
Namun, di balik senyumnya, kecemasan kecil perlahan merayap di hati Hantu Pria Muda. Bukan karena dirinya harus menghadapi para pengusir roh yang akan datang mengunjungi rumah, melainkan karena ia memikirkan perjalanan Lia ke taman hiburan.
"Hanya kalian berdua yang akan pergi?" tanyanya, dengan nada khawatir yang hampir tak kentara.
Lia mengangguk riang. "Iya, hanya kami berdua."
Sebagai sosok yang, meski tak hidup, tetap memiliki rasa sayang layaknya seorang ayah pada putrinya, Hantu Pria Muda mulai cemas seperti kebanyakan orang tua manusia. "Apa tempatnya aman? Tidak terlalu jauh, kan? Dan... kamu yakin tahu jalan?"
"Tentu saja!" Lia menjawab mantap, senyum manis menghiasi wajahnya. "Ayah, tenang saja. Tidak jauh kok, aku tahu jalannya!"
Meski begitu, kekhawatiran Hantu Pria Muda belum sepenuhnya mereda.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba tak menanamkan ketakutan berlebihan pada Lia. "Kapan rencana kalian pergi? Dan... ke taman hiburan mana?"
"Dreamland, Ayah. Belum pasti kapan, tapi besok aku mau membahasnya dengan kak Raka," jawab Lia sambil tersenyum kecil.
Hantu Pria Muda mengangguk, lalu menatapnya dengan penuh kelembutan. "Ingat, jangan terlalu percaya pada orang asing. Jangan biarkan siapapun menyentuhmu. Tetap hati-hati, dan jika ada apa-apa... panggil Ayah, ya?"
Lia mengangguk patuh, matanya penuh keyakinan yang tak tergoyahkan.
Melihat Lia yang begitu bersemangat, Hantu Pria Muda terdiam sejenak, merenung. Membesarkan seorang anak manusia sungguh bukan perkara mudah—bahkan bagi dirinya, yang sudah lama tak lagi merasakan kehidupan. Namun, saat melihat kebahagiaan terpancar di wajah putrinya, semua kecemasan itu seakan luruh, tergantikan oleh rasa hangat yang tak terjelaskan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Bayangan
Teen FictionDi rumah tua yang telah lama ditinggalkan, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Suara kecil itu, seperti sebuah keajaiban yang datang tanpa diundang─tawa seorang bayi. Lembut, renyah, tetapi terasa ganjil. Tawa itu seperti melawan kehendak rumah itu, y...