Part 2

209 6 0
                                    

Hosh...hosh...fiuh akhirnya sampai juga. Ku usap peluh di sekitar pelipisku sambil berusaha mengatur nafasku yang terengah-engah karena berlari-lari. Ini semua gara-gara mang Engkip, sang abang ojek yang tiba-tiba saja mendadak bilang ada keperluan keluarga jadi tidak bisa mengantarku ke kantor. Selama ini dia setia mengantar dan menjemputku dari apartemen ke kantor, dan karena tadi pagi dia tidak bisa mengantarku jadi terpaksa aku harus naik angkot menuju kantor. Uh butuh perjuangan banget kalau ke kantor harus naik angkot, aku harus rela rebutan angkot kosong dengan beberapa pekerja kantoran lainnya dan belum lagi macetnya jalanan ibukota di jam kerja membuatku sedikit lebih siang sampai di kantor pada hari ini.

Kemarin pak bos secara tersirat mengatakan kalau setiap hari akan ke kantor, jadi paling tidak sekarang setiap hari aku harus sampai lebih dulu daripada dia di kantor. Sambil merapikan baju dan rambutku, aku melangkahkan kaki menuju ruanganku. Ku intip sebentar ruangan pak bos untuk sekedar memastikan keberadaannya pagi ini.

"Huah selamet...selamet...si demit belum sampe kantor rupanya. Baguslah, gw jadi masih punya waktu buat siap-siap" ku usap dadaku sebagai tanda lega melihat isi ruangan pak bos yang masih kosong.

"Emang ada demit yang kerja di kantor ini Lod?"

"Astaga dragon...ada demit beneran di sini" aku sampai terlonjak kaget mendengar suara yang tiba-tiba berada di belakangku, membuatku memutar badan dengan cepat ke arah suara itu. Wah gawat, ada gajah makan kawat...suara itu rupanya suara pak bos.

"Eh...uh...pak Hanrio. Selamat pagi pak" sapaku dengan kikuk kepada pak bos yang rupanya sudah datang. Mati aku, dia dengar dumelanku ga ya tadi.

" Pagi juga Lodi, tumben baru datang" sapa balik pak bos.

"Eh iya pak, tadi ada kesalahan teknis dikit yang bikin saya telat ke kantor" terangku kepada pak bos.

"Oh gitu...eh tapi kalo disini emangnya benar ada demit?, saya mau suruh orang buat ngusirin demitnya nih kalau benar ada" dia tersenyum jahil kepadaku sambil melangkahkan kakinya ke arah meja kerjanya.

Waduh ketauan deh ngatain pak bos tadi, rutuk ku dalam hati dan aku hanya bisa mesem-mesem ga jelas menanggapi sindiran pak bos.

"Kamu sudah sarapan Lod?" kebiasaanya memanggil namaku setengah-setengah sepertinya memang harus aku terima dengan lapang dada mengingat dia tak pernah ada usaha memanggil namaku dengan baik dan benar, hadeeh.

"Sudah pak tadi di sebelum berangkat. Oh iya bapak belum sarapan ya, sebentar ya pak saya siapin dulu air jeruknya" aku segera membalikkan badan untuk segera menyiapkan sarapan buat pak bos sambil berusaha melarikan diri pelan-pelan dari pak bos.

"Ga usah Lod, saya mau sarapan di luar aja"

"Oh baiklah pak"

"Ayo kamu ikut, temanin saya sarapan"

" Hah...temenin?" sedetik aku melongo mendengarkan permintaanya.

" Tapi kan saya sudah sarapan pak" kilahku.

"Ya sudah, temenin saya duduk sarapan apa salahnya sih daripada saya harus duduk melamun sendirian pagi-pagi gini".

"Eh tapi pak, ini sudah siang. Saya belum ngapa-ngapain nih" usahaku menolak permintaan pak bos.

"Udah jangan banyak cingcong, temani bos mu ini ayo cepat" perintah pak bos.

Aku pun mengikuti langkah pak bos menuju lobi bawah untuk menemani dia sarapan. Yang dibilang sarapan sama dia itu cuma minum secangkir kopi hitam plus roti sandwich. Hadeh ini bapak, apa cukup ya sarapan seperti itu sementara badannya segede gaban gitu. Huh kalau aku harus sarapan ala dia mah bakalan nyiksa aku sepanjang pagi. Aku bakalan butuh energi yang banyak buat menghadapi keberadaan dia di kantor. Pak bos ga gendut dan botak sih seperti gambaran bos-bos yang di TV hihihi, dia ini malah cenderung atletis, kekar dan ganteng pula upss. Sampai sekarang pak bos masih setia menyendiri, ga tau kenapa tetapi sebenarnya dia sudah mempunyai anak. Menurut selentingan sih pak bos masih single. Ketika kuliah di New York sana, dia ini menganut paham pergaulan bebas sehingga membuahkan seorang anak diantara dia dan pacarnya. Sang pacar tidak ingin terikat karena mau mengejar karirnya di dunia fashion, jadi ketika anak mereka lahir si ibu menyerahkan anaknya kepada keluarga pak bos untuk diasuh oleh mereka. Entahlah kebenarannya seperti apa, walaupun sudah empat tahun aku bekerja disini aku tidak ingin kepo dengan kehidupan pribadinya. Selama tiga tahun aku kerja menjadi asisten pribadi mamanya dan sekaligus menjadi orang kepercayaan mamanya tetapi tetap saja aku tak ingin mencampuri urusan pribadi keluarga mereka. Satu tahun yang lalu mamanya mulai tidak aktif lagi di kantor ini dan mulai menyerahkan urusan-urusan kantor kepada anaknya yang masih dibantu oleh papanya, jadilah setahun yang lalu aku resmi ditugaskan menjadi sekretaris bos ku yang sekarang dengan keadaan terpaksa. Catat yah terpaksa karena sebelumnya aku ingin mengundurkan diri karena aku bermaksud mencari pengalaman di tempat lain tetapi apa daya mantan bu bos memohon padaku agar tetap bergabung di perusahaan ini dan ya pada akhirnya aku ditunjuk menjadi sekretaris untuk anaknya. Ibaratnya turun ranjang ini, eh...salah fokus ya ini.

Di Ujung PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang