Tirai Harmoni

10 7 0
                                    


Di balik denting piano yang mengalun lembut di ruang seni sekolah, Theo menundukkan kepala, jari-jarinya menari di atas tuts hitam putih. Senyap mengisi sela-sela nada, hanya terdengar gemuruh lembut hujan di luar jendela. Theo, anak blasteran Indonesia-Eropa, selalu menjadi pusat perhatian di sekolah seni internasional ini, bukan karena kekayaannya, melainkan karena kesederhanaan dan bakatnya. Dengan rambut kecokelatan yang sedikit berantakan dan kemeja putih yang digulung asal, dia terlihat seperti seseorang yang tidak peduli dunia—namun, sesungguhnya, ia hidup untuk musik dan panggung teater. Hari itu, sesuatu terasa berbeda. Sebuah suara lembut mengganggu konsentrasinya.
Theo mengangkat pandangannya dari piano, mendapati seorang gadis berdiri di ambang pintu. Rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan mata cokelatnya yang lembut memandang ruangan dengan rasa ingin tahu. Ia adalah Elise, siswi baru yang baru saja dipindahkan dari Belanda. Ada keheningan canggung sesaat, hingga akhirnya gadis itu tersenyum tipis.
“Kamu Theo, kan? Anak musik?” tanya Elise, suaranya terdengar lembut namun tegas.
Theo mengangguk, sedikit tersenyum. “Dan kamu Elise. Anak teater baru?”
Elise mengangguk, melangkah masuk. Ia membawa naskah tebal di tangannya, lalu mendekat ke piano. “Aku dengar kamu yang akan menata musik untuk produksi teater akhir tahun ini,” ucapnya, membuka percakapan dengan nada hati-hati.
Theo menyandarkan tubuhnya di bangku piano. “Benar. Jadi, kamu pemeran utama?” tanyanya, meskipun sudah tahu jawabannya.
Elise mengangguk lagi, sedikit malu-malu. “Sepertinya kita akan sering bekerja sama.”
Theo tersenyum kecil, lalu memainkan melodi singkat, seolah menguji suasana. “Kamu suka teater?” tanyanya.
Elise menatap jari-jarinya yang memainkan tuts piano, kemudian menjawab, “Aku lebih dari sekadar suka. Teater itu seperti rumah untukku. Ketika aku berada di atas panggung, aku merasa... hidup.”
Jawaban itu membuat Theo terdiam. Ada sesuatu dalam cara Elise berbicara yang membuatnya penasaran. Gadis ini bukan hanya sekadar pemeran utama biasa. Ada sesuatu yang dalam, sesuatu yang tak mudah terbaca.
“Aku rasa,” kata Theo sambil memetik nada lembut di piano, “kamu dan aku akan membuat sesuatu yang luar biasa.”
Elise tersenyum lebar untuk pertama kalinya. “Aku harap begitu.”
Dan di sanalah, di bawah cahaya redup ruang seni, dimulailah kisah tentang musik, panggung, dan cinta yang tumbuh di antara dua jiwa yang berbeda, namun berpadu dalam harmoni yang indah.
Hari-hari berlalu dengan penuh latihan. Teater sekolah mereka, sebuah gedung tua dengan aroma kayu yang khas, menjadi tempat di mana Theo dan Elise semakin sering bertemu. Theo dengan perannya sebagai penata musik, dan Elise sebagai pemeran utama. Di setiap latihan, mereka mulai saling memahami cara kerja masing-masing.
“Elise, coba ulang lagi dialog itu,” pinta Theo suatu sore. Ia duduk di bangku panjang di sisi panggung, gitar akustik di tangannya. Elise berdiri di tengah panggung, mengenakan kostum sementara yang sudah usang. Cahaya matahari senja masuk melalui jendela besar, menyinari Elise seolah-olah ia memang bintang utama dalam kehidupan nyata.
“Aku tak peduli jika dunia menentang kita,” Elise mengucapkan dialognya dengan nada penuh emosi. “Karena di matamu, aku menemukan rumah.”
Theo tersenyum kecil, mengetuk senar gitarnya pelan. “Kamu punya cara membuat dialog itu terdengar nyata.” Theo menunduk, memperhatikan senar gitarnya, jemarinya sedikit kaku setelah dengan santai mulutnya berbicara seperti itu.
Elise menatapnya dari atas panggung, alisnya terangkat. “Bukannya memang seharusnya begitu?”
“Ya, tapi tidak semua orang bisa melakukannya. Kamu… berbeda,” jawab Theo jujur, kali ini menatap langsung ke arahnya.
Elise tertawa kecil, lalu turun dari panggung dan duduk di dekat Theo. “Bagaimana dengan kamu? Kenapa kamu memilih musik?”
Theo terdiam sejenak, seolah pertanyaan itu membangkitkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia memetik beberapa nada, menciptakan melodi lembut yang mengisi keheningan sebelum ia menjawab. “Musik itu seperti… cara bicara yang tidak butuh kata-kata. Aku bisa mengekspresikan apa saja tanpa harus menjelaskan apa-apa.”
Elise mendengarkan dalam diam. Ada sesuatu dalam suara Theo saat ia berbicara tentang musik—seperti ada cerita panjang yang belum selesai. Masa lalunya kah itu?
Mereka berbicara hingga langit berubah gelap, dan lampu-lampu di sekitar teater mulai menyala satu per satu. Di tengah percakapan mereka, angin malam bertiup pelan, membawa serta rasa hangat yang aneh di hati masing-masing.
“Besok latihan lagi, ya?” tanya Elise saat mereka berjalan keluar dari gedung.
Theo mengangguk, tangannya memegang pintu teater untuknya. “Sampai jumpa besok. Jangan lupa latihan dialogmu,” ucapnya dengan senyum kecil yang membuat Elise merasa lebih ringan.

Dan untuk pertama kalinya, Elise merasa bahwa ia mungkin saja menemukan teman yang memahami dirinya—seseorang yang tidak hanya melihatnya sebagai pemeran utama, tetapi juga sebagai seorang individu. Theo, pria indah seperti petikan gitar lagu sempurna.

Bagi Theo, malam itu adalah malam pertama di mana melodi-melodi di kepalanya mulai berubah. Elise bukan hanya lawan mainnya dalam produksi ini. Dia mulai menjadi bagian dari harmoni baru yang ia ciptakan tanpa sadar.

Malam itu, setelah latihan yang panjang dan melelahkan, Theo duduk sendiri di ruang musik, dengan jari-jarinya memainkan beberapa nada pelan di atas tuts piano. Lantai kayu yang dingin menciptakan suara kecil di bawah kakinya, dan lampu-lampu ruang yang remang-remang menambah kesan sepi. Hujan di luar semakin deras, mengetuk-ngetuk jendela dengan irama yang hampir serupa dengan pikirannya.
Theo menatap kosong ke arah jendela, namun matanya tidak benar-benar melihat keluar. Ia terjebak dalam pemikiran yang tidak bisa ia lepaskan sejak beberapa waktu terakhir—Elise.
Keberadaan Elise yang selalu tenang, tapi sekaligus penuh gairah, mengisi setiap sudut pikirannya. Wajahnya yang sering tersenyum lembut, kata-kata yang keluar dengan halus dan penuh perhatian—semuanya seolah meninggalkan jejak di dalam dirinya. Ada sesuatu tentang Elise yang sulit dijelaskan. Bagaimana dia bisa begitu sederhana, namun mengandung kedalaman yang tidak terlihat pada pandangan pertama.
Theo menghela napas dan memejamkan mata, berusaha mengusir perasaan yang tiba-tiba datang. Namun, semakin ia berusaha untuk melupakan, semakin kuat perasaan itu mengalir. Perasaan yang jauh lebih rumit daripada sekadar rasa kagum atau persahabatan.
Sepertinya, ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka, meskipun mereka berdua belum menyadarinya sepenuhnya. Theo tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa setiap detik yang ia habiskan bersamanya, setiap tawa kecil, setiap tatapan yang ia terima, membuat hatinya berdegup lebih cepat.
Elise, dengan segala kelembutannya, seolah menariknya ke dalam dunia yang berbeda. Dunia di mana segala sesuatu tampak lebih hidup, lebih berwarna. Musik yang dia ciptakan terasa lebih indah ketika Elise ada di sana, memberikan sentuhan emosi yang baru. Ia merasa seolah-olah musik itu tidak hanya keluar dari jari-jarinya, tetapi juga berasal dari sesuatu yang lebih dalam—dari hatinya yang mungkin, tanpa sadar, mulai terikat pada gadis itu.
Theo menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Dia menutup matanya dan membiarkan perasaan itu mengalir begitu saja. Ini bukan hanya tentang teater atau musik. Ini tentang sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Tetapi, ia juga tahu—ini bukan saat yang tepat untuk menghadapinya. Mereka masih muda, dan banyak hal yang harus mereka hadapi bersama. Namun, perasaan itu, perasaan yang datang begitu perlahan, tidak bisa lagi ia abaikan.
Sementara itu, hujan di luar terus turun, menambah ketenangan yang aneh dalam hatinya. Mungkin, untuk sekarang, ia hanya perlu merasakannya—dan membiarkan perasaan itu mengalir seperti melodi yang belum selesai, seperti kisah yang belum dituliskan.
Malam semakin larut, dan meskipun tubuhnya lelah, hatinya terjaga, tetap memikirkan Elise, gadis yang seolah telah menjadi bagian dari harmoni hidupnya yang baru.

Keesokan harinya, Theo tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya. Ruang musik kosong, dan ruang teater juga belum terlihat ramai. Namun, saat dia melangkah ke lorong menuju ruang latihan, ada yang terasa berbeda. Ia melihat teman-temannya berkumpul, berbicara dengan cemas, dan wajah mereka tampak khawatir.
Theo mendekati salah satu teman sekelasnya, Dika, yang terlihat sedang memeriksa ponselnya dengan cepat. “Ada apa? Kenapa suasana seperti ini?” tanya Theo, merasa ada yang aneh.
Dika mengangkat kepalanya, terlihat sedikit bingung. “Kamu belum dengar? Elise enggak masuk hari ini. Katanya dia sakit, tapi enggak ada yang tahu pasti. Bahkan guru teater jadi cemas karena dia enggak memberi kabar.”
Theo terdiam sejenak, mendengar nama Elise disebutkan dengan nada khawatir. Sejak malam kemarin, ia merasa ada sesuatu yang berbeda, dan sekarang, perasaan itu semakin kuat. Elise yang biasanya ceria dan penuh semangat, hari ini menghilang tanpa kabar.
“Apakah kamu tahu dia sakit apa?” tanya Theo, berusaha menahan perasaan cemas yang mulai muncul.
Dika menggelengkan kepala. “Aku enggak tahu. Hanya saja dia memang jarang absen. Mungkin kamu harus cek ke rumahnya.”
Theo meremas jemarinya, ragu sejenak. Namun, hatinya memberitahunya bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Elise penting baginya—lebih dari sekadar teman sekelas. Tanpa pikir panjang, Theo memutuskan untuk pergi ke rumah Elise setelah sekolah.

Hari berlalu dengan sangat lambat. Setiap detik terasa lebih berat dari biasanya, terutama karena Theo terus memikirkan Elise. Latihan teater berjalan tanpa semangat seperti biasanya, dan meskipun ia terus berusaha fokus, pikirannya selalu kembali kepada gadis itu—Elise yang tak muncul, yang mungkin sedang terbaring sakit di rumah.

Setelah mendengar kabar tentang Elise, Theo merasa perasaan cemasnya semakin membuncah. Ia tidak bisa hanya duduk diam di sekolah, melanjutkan latihan seperti biasa, sementara Elise, gadis yang selama ini membuat hari-harinya lebih cerah, sedang terbaring sakit. Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar datang ke rumah Elise.

Sebelum pergi ke rumahnya, Theo menyempatkan diri berhenti di sebuah toko kecil di dekat sekolah, tempat yang menjual bunga dan bingkisan kecil. Ia memilih bunga pink lucu—bunga yang selalu terasa tenang dan indah, sesuai dengan karakter Elise yang lembut. Selain itu, ia juga membeli sekotak cokelat praline, karena tahu Elise sangat menyukai cokelat itu.
Dengan bingkisan kecil di tangannya, Theo merasa sedikit lebih tenang, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu ini bukan hanya soal memberikan hadiah, tetapi lebih sebagai cara untuk menunjukkan perhatian, untuk memberitahu Elise bahwa ia peduli, bahwa ia ada di sana untuknya.

End Of Year Theater Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang