Harmoni Dalam Diam

13 9 0
                                    

Setibanya di rumah Elise, ia mengetuk pintu dengan hati-hati, bingung dengan apa yang harus ia katakan. Begitu ibu Elise membukakan pintu, ia tersenyum ramah, meskipun ada kekhawatiran di matanya.

“Elise sedang beristirahat di kamar,” kata ibu Elise, “Tapi aku rasa, kalau kamu hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, kamu bisa masuk.”

Theo mengangguk dan berjalan ke dalam rumah, menatap sekeliling yang terasa hangat dan penuh keheningan. Sampai di depan kamar Elise, ia merasa sedikit gugup. Bingkisan yang ia bawa tampak ringan, namun bagi Theo, itu berarti lebih dari sekadar hadiah—itu adalah cara dia menyampaikan perasaan yang tidak bisa ia ucapkan dengan kata-kata.

Ketika ia mengetuk pintu kamar Elise, gadis itu membuka pintu dengan senyum tipis di wajahnya, meski rona wajahnya masih tampak pucat.

“Elise... aku bawakan sesuatu,” kata Theo, sedikit canggung, sambil menyodorkan bingkisan itu.

Elise terkejut, lalu tersenyum lemah. “Theo... kamu tidak perlu repot-repot.”

“Tapi aku ingin. Lihat bunga pink kecil ini sesuai dengan kamu, loh,” jawab Theo, sambil memandangnya dengan lembut.

Elise terdiam sejenak, kemudian menerima bingkisan itu. Matanya berbinar, meskipun sedikit kelelahan masih tampak jelas. “Terima kasih, Theo. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik.”

Theo hanya tersenyum tipis, lalu duduk di samping tempat tidur Elise. “Aku khawatir, Elise. Kamu sudah cukup beristirahat, kan? Jangan terlalu banyak memaksakan diri.”

Elise menatapnya dengan mata yang tampak lembut, merasakan kehangatan dalam perhatian yang tulus dari Theo. “Aku hanya butuh sedikit waktu untuk pulih. Tapi, dengan kamu di sini, rasanya lebih ringan.”

Perasaan itu kembali muncul dalam diri Theo, perasaan yang sulit ia ungkapkan. Bukan hanya rasa khawatir, tetapi ada sebuah ikatan yang semakin kuat di antara mereka, yang tak bisa ia jelaskan. Perasaan ini tidak semudah memetik senar gitar untuk diutarakan.

“Jika ada yang bisa aku bantu, jangan ragu untuk bilang ya,” kata Theo, suaranya hampir tak terdengar, namun penuh dengan ketulusan.

Elise mengangguk, matanya menatapnya lebih lama. “Aku akan mengingat itu. Terima kasih, Theo, karena selalu ada.”

Theo tersenyum, meskipun hatinya berdebar. “Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku hanya... ingin kamu merasa lebih baik,” jawabnya, dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.

Saat itu, meskipun tidak ada kata-kata yang lebih banyak terucap, keduanya tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa khawatir atau perhatian. Ada kehangatan yang tumbuh, dan meskipun mereka tidak mengatakannya, hati mereka mulai berdebar dengan cara yang tak biasa.

Setelah beberapa saat berbicara, suasana di kamar Elise mulai terasa lebih tenang. Theo duduk di sampingnya, membiarkan Elise memegang bunga dan cokelat yang dia berikan. Meskipun Elise berusaha tersenyum, Theo bisa merasakan ada sedikit kelelahan di matanya. Namun, dia juga merasakan ada sesuatu yang lebih—sebuah kedekatan yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata.

“Terima kasih sudah datang, Theo,” ucap Elise dengan suara pelan, mengubah posisi tubuhnya agar lebih nyaman. “Aku tak tahu kenapa, tapi ada rasa tenang setiap kali kamu ada di sini.”

Theo hanya mengangguk, merasakan hal yang sama. “Aku juga merasa lebih tenang kalau kamu di sini. Mungkin karena kita sering berbicara tentang banyak hal... yang nggak bisa dibicarakan dengan orang lain.”

Elise tersenyum sedikit, matanya berbinar meskipun tubuhnya tampak lemah. “Kita memang sering berbicara tentang teater, musik, dan mimpi-mimpi kita. Tapi aku suka, kamu tahu? Rasanya… aku bisa jadi diri sendiri dengan kamu.”

Theo merasa hatinya berdebar lebih cepat. Ada sesuatu dalam kata-kata Elise yang menyentuhnya lebih dalam dari yang dia bayangkan. Tidak hanya tentang pekerjaan mereka di panggung, tetapi juga tentang hidup mereka di luar itu—tentang perasaan yang semakin tumbuh di antara mereka.

“Elise...” Theo mulai, namun suara itu terdengar lebih lembut dari yang ia duga. “Aku ingin kamu tahu, kalau kamu butuh waktu untuk pulih, aku akan ada di sini. Apa pun yang kamu butuh kan, aku akan bantu.”

Elise menatapnya dengan mata yang lebih lembut dari sebelumnya. “Aku tahu, Theo. Terima kasih, karena kamu peduli. Aku… aku juga mulai merasa hal yang sama.”

Kata-kata itu mengalir begitu alami dari bibir Elise, seolah perasaan yang sudah terpendam selama ini akhirnya terungkap. Theo merasa hatinya berdebar, lebih keras dari sebelumnya. Ada sesuatu yang hangat mengalir di dalam dirinya, sesuatu yang mungkin sudah lama ia rasakan tanpa ia sadari.

Namun, meskipun ada kehangatan itu, keduanya tahu bahwa mereka tidak bisa terburu-buru. Meskipun perasaan itu semakin kuat, mereka masih memiliki banyak waktu untuk saling mengenal lebih dalam. Dan meskipun banyak ketidakpastian, mereka juga tahu bahwa hubungan mereka akan terus berkembang dengan cara yang tak terduga—seperti sebuah harmoni yang diciptakan dalam diam.

Setelah beberapa saat, Elise tertidur dengan tenang, sementara Theo tetap duduk di sampingnya. Ia merasa lega melihatnya tertidur dengan damai, namun hatinya juga penuh dengan perasaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Ia tahu bahwa hari-hari ke depan akan penuh dengan tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa perasaan yang mulai tumbuh ini tidak bisa ia hindari.

Dengan perlahan, Theo bangkit dari kursi dan menyusuri ruang depan rumah Elise. Sebelum ia pergi, ia menoleh sekali lagi ke kamar Elise, memastikan bahwa dia baik-baik saja.

Dan dengan langkah hati-hati, Theo meninggalkan rumah itu, namun kali ini dengan perasaan yang berbeda—perasaan bahwa ia sedang menuju ke arah yang lebih pasti, sebuah perjalanan yang mungkin akan mengubah segalanya antara dia dan Elise.

End Of Year Theater Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang