Elise mengambil buku itu dengan hati-hati, memutar halamannya sekali lagi untuk memastikan bahwa mereka tidak melewatkan detail penting. Di halaman terakhir, terdapat sebuah gambar mata yang tertutup rapat.“Ini adalah simbol yang harus kita fokuskan,” katanya, menatap Theo dengan serius.
“Ketika kita memasuki labirin bayangan, kita harus membiarkan semuanya menjadi gelap. Kita harus belajar untuk percaya pada apa yang tak terlihat.”
Theo mengangguk, meskipun rasa cemasnya semakin dalam. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan jauh lebih berat daripada yang bisa dibayangkan sebelumnya.
“Jika aku menutup mataku... aku akan kehilangan semua arah, bukan?”
“Ya,” jawab Elise, suaranya tegas namun penuh pengertian.
“Kamu akan kehilangan kemampuan untuk melihat dengan mata fisikmu, tapi yang lebih penting adalah kemampuan untuk mendengar, merasakan, dan memahami apa yang tersembunyi di dalam dirimu.”
Dengan berat hati, Theo menutup matanya, merasakan kegelapan menyelimuti indra penglihatannya. Udara di sekitar mereka terasa semakin padat, seperti dunia yang mendalam dan tak terjangkau oleh sentuhan cahaya. Dia tidak bisa melihat apa-apa, hanya mendengar suara langkah kaki mereka yang menggema di antara rak-rak buku tua yang berderak di dalam ruangan.
“Ayo,” kata Elise, suaranya teredam namun tegas.
“Kamu harus mengikuti suaraku. Jangan biarkan ketakutanmu menguasai.”
Theo mendengarkan setiap langkah Elise, mencoba merasakan arah yang benar dengan bantuan suaranya. Setiap langkah terasa lebih berat, setiap suara lebih sunyi, seolah dunia ini sedang menghisapnya perlahan-lahan. Dalam kegelapan ini, ia merasakan sesuatu yang tidak ia mengerti—sebuah rasa yang aneh, seperti ada sesuatu yang mengamati mereka, menunggu mereka membuat kesalahan.
Tiba-tiba, suara yang datang dari dalam gelap memecah keheningan.
Sebuah bisikan yang tak dapat dikenali, seperti serangkai kata yang hampir tak terdengar, namun sangat jelas di dalam pikiran Theo.
“Mencari kunci? Atau takut menemukannya?” Suara itu, seperti datang dari dalam dirinya sendiri, membuat jantungnya berdegup kencang.
“Elise,” bisiknya, merasa cemas. “Ada sesuatu di sini.”
Elise berhenti dan menoleh, suaranya tenang.
“Itu hanya bayanganmu, Theo. Mereka akan berbicara kepadamu. Mereka akan mencoba menyesatkanmu. Tapi ingat, kegelapan ini tidak akan pernah bisa mengalahkanmu jika kamu tetap percaya pada dirimu sendiri.”
Theo menelan ludahnya, mencoba untuk mengabaikan bisikan yang semakin keras di telinganya. Ia tidak tahu apakah itu suara bayangannya sendiri, atau sesuatu yang lebih gelap. Namun, ia tahu satu hal—untuk bisa melewati ini, ia harus lebih dari sekadar takut.Mereka melangkah lebih dalam lagi ke dalam perpustakaan yang semakin terasa seperti labirin tanpa ujung. Lantai kayu yang berderak, rak buku yang seolah tak berujung, semuanya menyatu menjadi satu kesatuan yang semakin sulit untuk dibedakan antara nyata dan ilusi. Ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini, seolah setiap sudutnya dipenuhi dengan rahasia yang menunggu untuk ditemukan.
Ketika mereka tiba di tengah ruangan, sebuah pintu besar terbuka di depan mereka. Pintu itu terbuat dari batu hitam, dihiasi dengan ukiran yang sama dengan simbol pada batu yang telah membangunkan segel. Tanpa berkata apa-apa, Elise melangkah maju, menarik Theo mengikuti di belakangnya.
Di balik pintu itu, ruangannya gelap, sangat gelap. Tidak ada lampu, tidak ada cahaya sama sekali, hanya keheningan yang menakutkan. Elise mengangkat tangannya dan berkata pelan,
KAMU SEDANG MEMBACA
End Of Year Theater
RomanceElise, gadis berdarah Belanda-Indonesia, dan Theo, sahabat cerianya, berjuang menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Ketika Elise dihadapkan pada pilihan pindah ke Belanda atau tetap bertahan di Indonesia, hubungan mereka diuji oleh jarak dan keputu...