Perpustakaan

11 10 2
                                    


Elise tidak menunggu lama. Tanpa berkata lebih lanjut, ia mulai melangkah maju, dan Theo, dengan perasaan campur aduk, mengikutinya. Udara di sekitar mereka tampak lebih berat, seolah mengantarkan mereka menuju sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa yang bisa dipahami Theo.

Saat mereka berjalan semakin dalam, hutan yang semula tampak biasa saja kini terasa seperti tempat asing—pohon-pohon tinggi melengkung seperti menyembunyikan rahasia, dan cahaya matahari pun tampak seolah ditelan kegelapan yang semakin tebal.

Theo merasa semakin gelisah, tetapi matanya terus tertuju pada Elise. Ada ketenangan di dalam diri gadis itu yang membuatnya merasa seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak terlalu penting.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah lembah yang tersembunyi, dipagari oleh batu besar yang disusun dengan sangat rapi. Di tengah lembah itu, terdapat sebuah bangunan yang lebih mirip dengan reruntuhan tua, namun terasa sangat kuat dan misterius. Dari luar, bangunan itu tampak seperti perpustakaan yang telah terlupakan oleh waktu.

“Ini adalah Perpustakaan Bayangan,” kata Elise dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.

“Tempat di mana semua pengetahuan yang berkaitan dengan bayangan disimpan. Hanya sedikit orang yang tahu tentangnya, dan jauh lebih sedikit yang mampu menemukannya.”
Theo menatap bangunan itu dengan terheran-heran. Meskipun tampak usang dan terabaikan, ada aura kekuatan yang tak bisa ia jelaskan.

“Kau yakin kita akan menemukan jawaban di sini?”
Elise mengangguk tanpa ragu.

“Tidak ada pilihan lain. Hanya di sini kita bisa mengetahui cara menutup segel yang telah kau bangunkan. Dan mungkin, memahami lebih banyak tentang batu itu—dan dirimu sendiri.”

Mereka memasuki bangunan itu melalui sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu tua dan dipenuhi ukiran yang hampir tak terbaca. Begitu mereka masuk, suasana di dalamnya terasa sangat berbeda.

Ruangan itu luas, dipenuhi rak-rak buku yang menjulang tinggi, sebagian besar tampak seperti telah lama terlupakan. Lampu-lampu kecil yang tergantung di langit-langit memberikan cahaya temaram, menambah kesan mistis di tempat itu.
Elise berjalan menuju rak yang terletak di sisi kanan ruangan, matanya bergerak cepat membaca judul-judul yang tercetak di spanduk kuno.

“Di sini,” katanya akhirnya, menarik sebuah buku tebal yang tampaknya lebih tua dari semua buku lainnya. Buku itu terbuka sendiri seolah-olah ada kekuatan yang membimbingnya, dan halaman-halaman buku itu mulai bergerak dengan sendirinya, memperlihatkan gambar-gambar kuno yang berkaitan dengan simbol yang ada di batu.
Theo mendekat dengan rasa ingin tahu yang besar.

“Apa itu? Apa yang terjadi dengan batu itu?”
Elise menatap buku itu dengan tajam, matanya fokus pada sebuah halaman yang menggambarkan simbol yang sama persis dengan yang ada di batu tersebut.

“Ini… segel kuno. Batu yang kau temukan adalah kunci untuk membuka pintu menuju dimensi lain—dimensi tempat bayangan-bayangan itu datang. Dan segel ini, yang seharusnya tidak pernah disentuh oleh manusia, kini telah rusak.”

Theo merasa darahnya membeku. “Jadi… aku sudah membangunkan sesuatu yang sangat berbahaya?” tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar.

Elise tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, ia meraih sebuah kunci kuno dari meja yang ada di dekatnya, kemudian menatap Theo dengan pandangan yang penuh tekad.

“Kau memang telah membangunkannya. Tapi sekarang, satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirimu dan dunia ini adalah dengan menemukan kunci lainnya—kunci yang tersembunyi di balik labirin bayangan.”
Theo merasa seolah seluruh dunia runtuh di atasnya.

“Labirin bayangan? Apa maksudmu?”
Elise menatapnya dengan penuh arti. “Labirin itu ada di dalam pikiranmu, Theo. Kunci yang sebenarnya ada di sana. Dan untuk menemukannya, kita harus melewati bayangan-bayangan yang menghantui setiap sudut dari dirimu.”
Theo merasa perasaan gelisahnya semakin meningkat, seolah ada sesuatu yang mengintai di balik kata-kata Elise.

“Labirin itu… ada di dalam pikiranku?” Tanyanya dengan suara terbata-bata. Ia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata, di mana setiap kata yang keluar dari mulut Elise terasa semakin membingungkan dan menakutkan.
Elise mengangguk pelan.

“Kunci itu bukan benda fisik yang bisa kita temukan di sini. Ia terkunci di dalam dirimu, dalam bayangan-bayangan yang telah lama terkubur. Untuk menemukan kunci tersebut, kamu harus berhadapan dengan setiap ketakutan dan penyesalan yang pernah kau rasakan.”
Theo menelan ludahnya.

“Tapi… bagaimana kita bisa melewatinya? Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”
Elise menatapnya dengan pandangan yang dalam, seolah bisa melihat lebih jauh dari yang bisa dilihat oleh mata manusia.

“Itulah sebabnya kita berada di sini. Perpustakaan Bayangan tidak hanya menyimpan pengetahuan tentang bayangan, tetapi juga cara untuk menghadapinya. Kita perlu mencari cara untuk masuk ke dalam labirin itu, dan hanya buku-buku yang ada di sini yang bisa memberitahukan kita caranya.”
Mereka melangkah lebih jauh ke dalam perpustakaan, menelusuri rak-rak buku yang semakin tinggi dan lebih tua.

Ruangan itu semakin terasa berat, seperti ada tekanan yang semakin membesar di setiap langkah mereka. Setiap buku yang mereka buka tampaknya mengungkapkan bagian-bagian dari kebenaran yang lebih gelap dan misterius. Elise dengan hati-hati memindai setiap halaman, mencari petunjuk yang bisa membantu mereka.

Akhirnya, Elise menemukan sebuah buku kecil yang hampir tersembunyi di sudut rak, di bawah lapisan debu tebal. Ia membuka buku itu dengan hati-hati, dan sebuah simbol aneh tercetak di halaman pertama—sebuah labirin dengan jalan berliku yang seolah tak berujung. Di tengah labirin itu, terdapat sebuah gambar mata yang tertutup, seolah menyimpan kunci terakhir untuk keluar dari teka-teki ini.

“Buku ini…” Elise bergumam.

“Ini adalah petunjuk yang kita cari. Untuk masuk ke dalam labirin bayangan, kita harus menutup mata kita. Kita harus siap untuk menghadapi kegelapan total, tanpa bisa melihat apa pun. Hanya dengan mengandalkan indra lain kita bisa melangkah.”
Theo merasa dada dan kepalanya berdenyut, perasaan takut menyelimuti setiap otot dalam tubuhnya. “Kegelapan total? Apa itu berarti aku harus benar-benar buta untuk memasuki labirin ini?”

“Ya,” jawab Elise dengan suara yang tenang.

“Tapi bukan buta dalam arti sesungguhnya. Ini adalah perjalanan ke dalam ketakutanmu sendiri, tempat di mana segala sesuatu yang kau hindari akan muncul. Jika kamu tidak siap untuk itu, maka kunci itu tidak akan pernah bisa ditemukan.”
Theo merasakan beban kata-kata itu, seolah seluruh dunia telah berubah menjadi bayangan yang menunggunya untuk jatuh lebih dalam.

“Aku… aku tidak tahu apakah aku siap, Elise.”
Elise meletakkan tangannya di bahu Theo dengan lembut, memberi sedikit ketenangan di tengah kecemasan yang menguasai hatinya.

“Kita tidak pernah benar-benar siap untuk menghadapi bayangan kita. Tetapi kita harus melakukannya—untuk dirimu, untuk dunia, dan untuk orang-orang yang kau cintai.”

Dengan itu, mereka berdua mempersiapkan diri untuk memasuki dunia yang sangat berbeda dari yang pernah mereka bayangkan. Langkah pertama mereka adalah menyatukan tekad untuk menghadapi bayangan-bayangan yang tersembunyi dalam pikiran Theo, dan dengan begitu, perjalanan yang tak hanya akan mengungkapkan rahasia segel kuno, tetapi juga kekuatan yang tak terduga yang ada dalam dirinya sendiri, dimulai.

End Of Year Theater Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang