2. Putus

187 20 0
                                    

TIDAK ingin membuat keributan di lorong hotel yang bisa memicu perhatian orang-orang pada mereka, Andra dengan cepat menarik tangan Dara untuk masuk ke dalam kamar ke tempat dia dan Brenda tadi habis bergulat ria.

“Lepasin, aku nggak sudi masuk ke tempat ini!” Dara memberontak-rontak agar tangannya dilepas.

“Iya, iya aku bakal lepasin. Tapi jangan pergi dulu ya. Dengerin aku dulu, please.” Pelan-pelan Andra melepaskan tangan Dara dari genggamannya. Wajahnya panik bukan main.

“Memangnya ada yang perlu dijelasin lagi setelah melihat kamu cuma berdiam diri waktu dicium pipinya di depan mata aku.”

"Bukan gitu, aku tadi cuma lagi kelewat shock sampai nggak sadar Brenda––” 

“Oh jadi namanya Brenda.” Dara tertawa miris. Air matanya mulai jatuh setitik. “Oke, jadi yang seperti Brenda itu yang kamu suka?”

“Dara, please. Aku minta maaf, aku juga nggak tau kenapa aku bisa sebodoh ini. Aku salah, aku brengsek, aku bajingan, aku akui semua itu. Tapi please jangan nangis.” 

“Aku pikir hubungan kita ini berarti buat kamu.” Dara pun mulai sesenggukan. “Bodoh banget ya selama ini aku selalu merasa kalau kamu sesayang itu sama aku. Aku selalu bangga kasih tau ke orang-orang termasuk Oma (nenek) kalau kamu pasti bisa berubah karena aku.”

Andra terkesiap sampai tak bisa berkata-kata. Satu-satunya yang tidak sanggup dia lihat adalah air mata Dara. Apalagi air mata itu sampai jatuh karena kesalahan yang ia buat.

"Selama kita pacaran, aku selalu tutup telinga saat orang-orang bilang aku bodoh kenapa mau terima kamu jadi pacar aku. Tapi kejadian malam ini bikin aku sadar kalau ternyata omongan mereka selama ini benar," lanjut Dara lagi. Diraupnya udara sebanyak mungkin lalu dihembuskannya dengan susah payah. “Kita putus!”

"Putus?" Andra pun tersentak kaget. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong yang terik. “Nggak. Aku nggak mau.”

“Aku nggak peduli kamu mau atau enggak, yang jelas aku mau putus.” Tegas Dara seraya menghentikan tangisnya. Untuk apa juga dia menyia-nyiakan air matanya yang berharga hanya untuk laki-laki yang tak bisa menjaga hawa nafsunya. Masih pacaran saja sudah berani begini bagaimana nanti kalau sudah menikah. Lebih baik sakit diawal daripada sakit belakangan, yang ujung-ujungnya hanya menyisakan penyesalan.

"Please, Dara aku nggak mau putus. Demi Tuhan, aku sayang banget sama kamu. Kamu boleh pukul aku. Kamu boleh maki-maki aku sepuas kamu, tapi jangan putusin aku."

“Nggak usah bawa-bawa Tuhan karena Tuhan pun nggak bakalan sudi lihat kelakukan kamu!”

Masih belum menyerah, Andra menarik tubuh Dara dan langsung memeluknya dengan erat. Mungkin dia masih berharap dengan pelukan ini hati Dara bisa mencair. Dan, memang betul, dipeluk Andra seperti ini, rasanya seperti semua kekuatan dalam tubuh Dara terhisap habis sampai tidak tersisa. 

“Lepasin, Andra. Aku mau pulang. Percuma kamu melakukan ini.”

“Aku nggak akan biarin kamu pergi sebelum kamu tarik ucapan kamu." Mohon Andra.

Dara yang tidak ingin termakan bujuk rayu Andra jika terus berlama-lama dalam pelukan ini, mencoba mendorong tubuh tinggi itu dari dirinya. Namun, apalah daya tubuh kecilnya tidak mungkin bisa melawan tubuh yang tiga kali lipat lebih besar darinya. 

“Lepasin atau aku bakalan gigit lidah aku sampai aku mati.” Hanya ini ancaman yang bisa Dara kerahkan dalam situasi tubuh terperangkap tanpa celah. 

“Dara, pleaseeee.” Sekarang suara Andra yang terdengar gemetaran. 

“Lepasin nggak!” Dara sudah mulai mengambil ancang-ancang.

Dekapan Andra pun melonggar perlahan demi perlahan dari tubuh Dara dengan berat hati. Kesempatan ini pun langsung digunakan Dara untuk segera kabur meninggalkan kamar itu. 

Meninggalkan Andra yang hanya bisa berdiam diri dengan segala penyesalannya.

Demi apapun, Dara akan mengingat malam ini sebagai salah satu kenangan paling terburuk dalam hidupnya setelah kenangan masa lalu itu; ketika melihat kedua orang tuanya tewas di depan matanya dalam kecelakaan mobil.

****

Setahun sudah mereka merajut kasih, memang tak serta merta membuat Andra sepenuhnya bisa lepas dari sifat liarnya. Andra masih suka ‘minum-minum’ dan terkadang nongkrong bersama teman-temannya yang nakal. Dara memang tak ambil pusing soal itu, karena dia pikir semua hanya butuh waktu. Semua harus melalui proses. Perlahan demi perlahan. Dan ia yakin, dari proses itulah Andra bisa belajar untuk menjadi lebih baik lagi. 

Tapi, itu sebelum kejadian ini terjadi.

Kali ini Andra sudah berani bermain-main dengan kepercayaannya dan itu sudah tidak bisa lagi dimaklumi.

Handphone di dalam saku celananya berdering, tapi tanpa perlu diperiksa, Dara sudah tahu yang menghubunginya pasti Andra. Tidak ingin ketenangannya terganggu karena sekarang pikirannya sedang kacau-balau, ia mengambil benda itu dari dalam saku dan langsung mematikannya. Kembali di sandarkan kepalanya di kaca jendela taksi. Seiring dengan itu, percakapannya di telepon dengan Nino beberapa jam lalu kembali terngiang dalam kepalanya.

Hallo Sandara Dewantari. Belum tidur? Apa gue ganggu?”

"Nggak. Emang kenapa, No?"

“Coba Lo tebak deh, cowok Lo si Andra lagi ngapain dan dengan siapa sekarang?”

"Lagi apa gimana ya? Memangnya Andra lagi ngapain? Bukannya Andra lagi sama Lo? Tadi dia izin ke gue katanya mau Dateng ke undangan Lo.”

“Yap betul sekali. Dan Lo tau saking bahagianya Andra di acara gue sampai dia ngelakuin apa. Sampai ngelakuin hal yang bikin dia lupa kalau dia udah punya pacar. Opssss. Kelepasan nih gue.”

"No, please jangan bercanda. Maksudnya gimana sih? Andra memangnya lagi ngapain?"

“Oke, karena gue baik hati jadi gue kasih tau. Tapi Lo jangan kaget ya,” ledek pemuda itu seolah-olah dia peduli. “Ya maklum aja sih, namanya juga si Andra. Kalau ujung-ujungnya nggak HS sama cewek lain, bukan Andra namanya. Yang tabah ya Dara. Gue ikut prihatin sama Lo.”

"No, udah gue bilang jangan bercanda. Andra udah janji sama gue nggak bakalan macam-macam.”

“Jadi Lo pikir gue berbohong gitu. Oke, gue bakal kirim alamat dimana hotel tempat Andra sekarang lagi bersenang-senang. Lo bisa Datang kesana kalau Lo memang mau ngancurin perasaan Lo lebih dalam. Dan saran gue jangan lupa bawa tisu yang banyak untuk menghapus air mata Lo.”

Dan sekarang bisakah satu-satunya hal yang paling Dara sesali adalah karena dia lupa membawa tisu sesuai saran Nino. Karena sekarang air matanya terus mengalir tanpa bisa dibendung tapi kabar buruknya dia tidak punya apapun untuk menghapus air mata bodoh ini.

“Mbak, butuh tisu?” Seolah tahu apa yang sedang dibutuhkannya, pak supir yang diam-diam melihatnya menawarkan dengan iba. 

“I-iya. Boleh, Pak. Makasih ya.”

****

Lanjut baca part 3 tapi jangan lupa tekan bintangnya 🌟 ya kak...

Break UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang