5. Si Pajangan Rongsokan

62 7 5
                                    

DARA meletakkan sepiring Fettucini creamy mushroom dan segelas lemon tea hangat pesanan Nino ke atas meja sambil memandang risih pada pemuda itu yang tampak asik menghisap rokoknya. 

“Sorry, Nino, bisa matiin rokoknya. Disini dilarang merokok karena ruangan ber-Ac.” 

Alih-alih merasa bersalah, Nino malah sengaja mengedarkan pandangannya memeriksa keadaan meja di dekatnya. “Nggak apa-apalah. Nggak ada pelanggan ini di sekitar meja gue.” 

Dara memeluk nampak yang sudah kosong di dadanya. “Tapi ini sudah jadi aturan di tempat ini.” 

Pemuda itu malah dengan cepat menanggapinya dengan tatapan menghardik. “Lo cerewet banget ya. Ini tempat punya Kakak gue. Suka-suka gue. Dan Lo disini tugasnya cuma jadi pelayan, jadi lakukan aja kerjaan Lo baik-baik. Berani-beraninya pelayan ngatur-ngatur gue.” 

“Bukan begitu––” 

“Apa yang Dara bilang benar. Nggak boleh merokok disini.” Tahu-tahu dari belakang Nino muncullah seseorang yang dengan berani menarik puntung rokok yang baru dia hisap itu dari sela jarinya lalu membuangnya setelah itu diinjak-injak dengan telapak sepatunya. 

“Kak Rangga!” Nino yang tersentak lantas beranjak berdiri dari kursinya. “Sorry, tapi salahin pelayan Kakak ini,” ucapnya cepat sambil menunjuk pada Dara tanpa menoleh. “Karena awalnya tadi gue tanya apa boleh merokok disini, dia bilang boleh-boleh aja selama pelanggan lagi nggak ramai. Terus entah kenapa tiba-tiba dia berubah pikiran terus omelin gue, kesannya biar seolah gue yang salah. Nih cewek pasti mau menjilat karena tau Bosnya sudah datang.”

Dara langsung melotot tidak terima. “Mana ada, gue––” 

“Hadehhhh. Kamu pikir Kakak bakalan percaya?” Potong Rangga sambil menatap adik bungsunya itu tegas. “Kakak yang paling tau kamu seperti apa, Nino. Sekarang minta maaf sama Dara karena kamu udah fitnah dia sembarangan.”

“Minta maaf? You must be joking! Ngapain?” 

“Jadi sekarang kamu udah mulai nggak nurut sama Kakak?” 

Nino menghelas nafas malas sambil memutar bola matanya. “He, Pelayan, sorry ye.” 

“Namanya Dara. Panggil yang benar dan ucapkan dengan benar.” 

Holy moly!” Nino terlihat sudah sangat muak. “Dara, gue minta. Oke, puas.” 

Rangga menggeleng. Tatapannya yang tegas pada Nino langsung berubah teduh ketika ia menoleh pada Dara. “Maklumin ya, Dara, anak yang jarang berdoa memang begini tingkahnya.” 

“Dih, gue berdoa kok kalau lagi sakit. Apaan?” 

Namun tidak ada yang menggubris Nino. 

“Iya, nggak apa-apa, Mas Rangga.” Dara tersenyum apa adanya. 

“Oh ya, wajah kamu kenapa? Kayak kelihatan lelah banget? Lagi sakit?”

“Ya pasti lelah-lah karena habis menangis semalaman setelah putus sama Andra.” Diam-diam Nino menggumam dalam hatinya. 

“Nggak. Saya sehat-sehat aja, Mas.” Dara langsung menyentuh wajahnya sendiri dengan canggung. “Nggak apa-apa kok, Mas, ini mungkin karena kelelahan aja ngerjain tugas kuliah sampai begadang belakangan ini.”

“Bohong tuh.” 

Di depan Nino yang diabaikan sampai hampir merasa seperti pajangan rongsokan oleh mereka berdua ini, Rangga pun mulai memberi nasihat-nasihatnya pada Dara dengan sikap bijak supaya jangan kebanyakan begadang dan harus selalu menjaga kesehatannya. Ia juga masih tetap berdiri disana, diam-diam mengamati seperti apa raut wajah sang Kakak yang begitu ceria dan berbinar saat berbicara dengan Dara. Begitu fokus dia hanya menatap hanya pada wajah itu sampai tidak menghiraukan sekitar. Benar-benar tatapan pria dewasa yang sedang jatuh cinta tapi sayangnya si pelayan bodoh ini malah tidak peka. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Break UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang