4. Kejutan Dari Nino

190 21 3
                                    

DARA tersentak kaget saat melihat Andra yang langsung buru-buru turun dari mobil ketika melihatnya keluar rumah. Jangan bilang dia menunggunya semalaman disana. 

“Dara, aku mau bicara sama kamu, tolong kasih aku kesempatan dulu.” Pemuda itu memohon di depan pagar.

Bukannya apa-apa, Dara hanya khawatir kalau sampai Oma Lidya melihat Andra disini. Semua juga tahu seperti apa akan mengamuknya Oma kalau sampai melihat musuh terbesarnya disini, maka dari itu, dengan panik Dara langsung mendatanginya kesana. 

“Mau apa lagi kamu kesini? Aku udah nggak mau lihat muka kamu lagi. Pergi nggak! Jangan sampai Oma lihat kamu disini!” 

“Dara, tolong kasih aku kesempatan lagi. Aku minta maaf. Aku nggak mau kita putus. Kamu tau ‘kan gimana bakal hancurnya hidup aku tanpa kamu. Aku sayang banget sama kamu, Dara!”

“Kalau kamu sayang sama aku nggak mungkin kamu ngelakuin bodoh kayak semalam.”

Keduanya saling adu bicara masih dengan pagar setinggi dada orang dewasa yang terkunci rapat-rapat itu menjadi pembatas mereka.

“Iya, aku salah, aku khilaf. Aku janji nggak akan pernah ngelakuin itu lagi. Aku janji. Kalau aku ingkar janji aku siap nggak bakalan selamat dunia akhirat. Setelah itu kamu boleh benci aku seumur hidup kamu.” Saking seriusnya mengucapkan ini kedua tangan Andra sampai refleks mencengkram kuat-kuat besi pagar itu.

“DARA, KENAPA DIA ADA DISINI!” 

Dara pun tersentak dan sontak langsung memutar badannya ke belakang begitu mendengar teriakan Oma dari depan teras rumah. Wajahnya langsung panik tak karuan. Wanita 69 tahun yang jalannya memang sudah sedikit melambat itu, sekarang sudah tampak berjalan ke arahnya dengan wajah penuh amarah.

“Tadi kamu bilang apa? Khilaf apa? Kamu ngelakuin apa ke cucu saya!” Bentak Lidya pada Andra ketika dia sudah berdiri di sebelah Dara. 

“Oma, tenang dulu ya.” Dara yang tidak ingin terjadi keributan yang bisa mengundang perhatian para tetangga langsung merangkul pundak Omanya dengan lembut dan hati-hati. “Ingat jantung Oma.” 

“Oma nggak bakalan diam sebelum si berandalan ini bilang dia udah ngelakuin hal khilaf apa?” Oma kembali lagi menatap Andra yang tampak risau dan ketakutan masih dari balik pagar. “Hei, kamu cepat bersuara! Belum bisu ‘kan? Jawab pertanyaan saya. Kamu udah ngelakuin apa sampai udah bikin Dara pulang menangis tadi malam.” 

Dara sendiri sama sekali tidak tahu kalau Oma ternyata tahu dia menangis semalam suntuk di dalam kamar sepulang dari memergoki Andra, padahal ia sudah pulang dengan mengendap-endap agar tidak ketahuan. 

“JAWAB!” 

Andra tersentak sampai bahunya terlonjak tidak sadar. “I-iya, Oma. Sa-saya sudah mengkhianati Dara,” ucapnya dengan wajah menunduk. Sama sekali ia tidak berani menatap wajah Oma. 

“Mengkhianati bagaimana maksudnya?!”

“Oma––” 

“Dara, diam! Jangan coba-coba melindungi dia!” Oma membentak Dara dengan tegas. “Jawab mengkhianati bagaimana!” Lalu ia menuntut Andra lagi. 

“... Sa-saya––” 

“Bicara yang jelas!” 

“Saya tidur dengan perempuan lain, Oma.” Suara Andra terdengar pasrah sekali sampai-sampai membuat Dara sendiri pun tercengang. Tidak terpikir olehnya kalau mantan kekasihnya yang baru diputuskannya tadi malam itu berani berucap sangat jujur.

“Astaga, ya Tuhan.” Oma yang tersentak kaget luar biasa langsung mengelus-elus dadanya. Shock sekali dia mendengar pengakuan menjijikan ini. Jadi keputusan yang sangat-sangat-sangat benar sekali kalau ia tidak pernah merestui Dara dan pemuda berandalan ini berpacaran. “Sudah melakukan kesalah itu terus kamu masih percaya diri meminta maaf sama Dara. Benar-benar menjijikan.” 

Oma lalu menoleh pada Dara. “Kamu lihat ‘kan, inilah laki-laki yang selalu kamu banggakan sama Oma selama ini. Demi Tuhan, Dara, dimana pikiran kamu. Sudah Oma bilang selama ini, apa yang kamu bisa harapkan dari berandalan seperti dia ini. Kalau bukan karena bapaknya yang punya banyak uang, paling dia cuma bakalan jadi gelandangan yang kerjanya mencuri dan bikin keributan. Terus kamu jadi apa?” Cecarnya sampai nafasnya ngos-ngosan.

“Oma, jangan bicara begitu.” Dara tahu kalau Andra memang salah, sangat salah dan sampai kapanpun ia tidak akan memaafkannya, tapi melihat pemuda itu sampai menunduk sedih begitu, rasanya tidak tega juga. 

“Kenapa kamu masih belain dia, Hah?! Jangan bilang––”

Potong Dara langsung. “Oma jangan khawatir. Aku udah mutusin dia kok. Aku sama dia udah nggak ada hubungan apa-apa lagi.” Berharap dengan pengakuannya ini Oma bisa tenang sedikit. “Jadi Oma tenang ya. Nafas Oma udah sesak itu.”

“Syukurlah. Kamu ingat sampai kapanpun Oma nggak mau lihat kamu berhubungan lagi sama dia!” Oma kembali lagi menoleh pada Andra untuk memberi ultimatum terakhirnya. “Kamu dengar itu, Anak Berandalan, Dara sudah mutusin kamu jadi jangan pernah coba-coba dekati dia lagi atau kamu akan berhadapan sama saya.”

“Oma––” 

“SEKARANG PERGI DARI SINI ATAU MAU SAYA PANGGIL POLISI!” 

**** 

Ganindra Nino Wijaya atau yang biasa dipanggil Nino ini turun dari mobilnya setelah memarkirkannya di pelataran parkiran gedung Danuarta cafe & resto milik Kakak keduanya, Rangga Danuarta Wijaya. 

Ini pertama kali dia mendatangi tempat ini setelah gadis itu bekerja menjadi waitress disini. 

Lalu siapakah ‘gadis itu’ yang dia maksud?

Gadis itu adalah gadis yang selalu diceritakan Kakaknya Rangga dengan mata berbinar-binar. Gadis yang sejak hari pertama muncul melamar kerja disini langsung mencuri perhatian sang Kakak sampai membuatnya terus terbayang-bayang. Gadis yang katanya sangat ia kagumi dari fisik, attitude sampai caranya tersenyum.

Tapi sayangnya, Rangga bilang dia hanya bisa jadi pengagum rahasianya––yang hanya bisa diam-diam selalu memandanginya dari sudut tempat lain, karena katanya gadis itu sudah punya kekasih. Kekasihnya bahkan beberapa kali datang menjemputnya pulang sehabis kerja. 

“Selamat siang, mau pesan apa, Mas?” Dan sekarang, kebetulan sekali juga gadis itu yang datang melayaninya ke meja saat ia sudah masuk ke dalam dan duduk di salah satu meja. “Nino, kamu!?” Lalu ia tercengang dengan kertas dan pena di tangannya itu melihatnya disini.

“Kenapa kaget?” Ucap Nino sambil melipat tangan santai di dada. “Pasti kaget lihat muka babak belur gue ya? Sialan, memang. Wajah ganteng gue jadi bonyok begini karena ulah mantan pacar loh yang sinting itu mukulin gue kayak orang gila.”

Gadis itu diam terbungkam masih tampak kebingungan. 

“Keputusan yang bagus kamu mutusin dia, Dara. Andra yang tidak bisa dipegang kata-katanya itu terlalu red flag buat kamu.”

Yap, gadis itu adalah Dara. Mantan kekasih dari mantan sahabatnya. Dara-lah gadis yang selalu diceritakan oleh sang Kakak dengan mata berbinar-binar. Gadis inilah yang diam-diam Rangga sukai itu, tapi terhalang karena dia punya kekasih.

Dan sekarang, Kak Rangga tidak perlu lagi diam-diam menyimpan perasaannya karena gadis incarannya ini sudah tidak dalam status berpacaran lagi. 

***

Yuk, yang penasaran dengan cerita ini jangan lupa simpan ceritanya di perpustakaan ya (cerita ini bakalan tamat disini, gak bakal pindah kemana-mana)

Masih bersambung, tungguin ya, tapi jangan lupa tekan bintang 🌟 dan tinggalkan komentar kalau boleh...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Break UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang