Chapter 7

185 15 2
                                    

Alvano menoleh ketika melihat Garry berdiri di ambang pintu, raut wajahnya dipenuhi kebingungan. “Gar, kenapa berdiri di situ? Sini,” ujarnya dengan suara pelan namun penuh kehangatan.

Garry ragu sejenak, matanya kembali melirik Aurora yang masih menggenggam tangan Alvano. Namun, ia akhirnya melangkah mendekat, meski hatinya terasa seperti terhimpit.

“Vano... kamu gak apa-apa?” tanyanya, suaranya bergetar menahan emosi.

Alvano tersenyum kecil, mencoba terlihat kuat meski tubuhnya masih lemah. “Enggak, dikit aja kok,” jawabnya santai, seperti biasa ia mencoba mengecilkan apa pun yang mengkhawatirkan orang-orang di sekitarnya.

Namun, bagi Garry, jawaban itu tidak cukup meredakan gundahnya. Ia tetap diam, berdiri di sisi tempat tidur, menatap Alvano dengan perasaan yang tak terungkapkan.

“Kamu masuk rumah sakit gara-gara apa, Vano?” tanya Garry dengan nada cemas. “Kamu gak makan? Atau demam panas? Atau...” ia berhenti sejenak, matanya memicing curiga. “Atau kamu overdose lagi?”

Alvano tersenyum tipis, berusaha menghindari tatapan tajam Garry. “Yah... seperti biasa,” jawabnya santai, seolah itu bukan masalah besar.

“Vano!” Garry langsung mendekat, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Udah dibilangin overdose itu bahaya! Kamu mau aku tonjok biar sadar itu bahaya atau gimanaa?!”

Aurora tersentak kaget mendengar suara Garry yang meninggi, tapi Garry tidak peduli. Ia menatap Alvano dengan sorot mata penuh kekhawatiran, sekaligus frustrasi. Alvano hanya tersenyum kecil, seperti biasa, menganggap Garry terlalu berlebihan. Namun bagi Garry, ini bukan hal yang bisa dianggap enteng.

“Iya, maap dong—” Alvano mencoba meredakan ketegangan, tapi belum sempat ia melanjutkan, Garry sudah menyela.

“Maap, maap! Kalo kamu mati gimana?! Hah? Siapa yang bakal temenin aku ke mall, nemenin aku ke mana-mana nanti? Kamu gak boleh mati dulu!” Garry terus membebel, ekspresinya campuran antara kesal dan khawatir.

Alvano tidak bisa menahan diri lagi, ia terkekeh pelan. “Kamu nih, Gar, lebay banget,” ujarnya, matanya menyipit karena tawa.

Garry mendengus, melipat tangan di depan dada. “Lebay apanya? Aku serius, tau. Kamu itu penting banget buat aku,” gumamnya pelan, nadanya mulai melembut, meski ia tetap pura-pura cemberut.

Alvano tersenyum kecil. “Iya, iya, aku janji gak bakal macam-macam lagi. Happy?”

Garry mengangguk, tapi tatapan khawatirnya belum sepenuhnya hilang. “Ingat ya, sekali lagi kamu kayak gini, aku gak bakal maafin kamu!”

Garry mendengus kesal, matanya memancarkan kemarahan yang bercampur dengan kekhawatiran. “Aku khawatir, tahu? Aku sampai lari dari Sukhumvit Road ke office papa kamu, loh!”

Alvano terkekeh, mengangkat alis dengan ekspresi menggoda. “Wih, sejati banget. Hebat nih.”

“Gak usah bercanda, kamu!” bentak Garry sambil menyipitkan matanya. “Aku tampol mau?” Ia mengangkat tangannya pura-pura hendak memukul, tapi Alvano malah tertawa makin keras.

“Ya ampun, Gar, kamu lucu banget kalau marah,” ujar Alvano, menutupi senyumnya dengan tangan, meski jelas-jelas tidak takut.

“Liat aja kalau kamu relapse lagi,” ancam Garry, meski nadanya mulai melemah, khawatirnya tetap tak bisa disembunyikan.

“Aku pergi dulu ya? Ada kerjaan” ujar Aurora sambil mengambil tasnya, tersenyum tipis ke arah Alvano.

Alvano melambai santai. “Hati-hati di jalan.”

Unspoken HeartBeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang