Chapter 15

131 14 0
                                    

Garry berlari tanpa henti, air matanya mengalir deras di sepanjang jalan. Malam yang sunyi terasa semakin mencekam di dadanya, seolah-olah seluruh dunia sedang menindih tubuhnya. Ketika akhirnya ia tiba di depan rumah Tarendra, tangannya gemetar saat mengetuk pintu.

Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Tarendra yang mengenakan kaus longgar dan celana pendek, wajahnya tampak bingung. "Gar? Malem-malem gini lo ke sini? Ada apa?"

Tanpa menjawab, Garry langsung memeluk Tarendra erat. Pelukan itu begitu mendadak dan penuh emosi, membuat Tarendra terdiam sesaat. Dia bisa merasakan tubuh Garry yang bergetar, suara isak tangisnya yang tertahan, dan kelembapan air mata di bahunya.

"Gar... Lo kenapa?" Tarendra bertanya, suaranya pelan, lembut. Tangannya terangkat, mengusap punggung Garry dengan penuh perhatian.

Garry tak menjawab, hanya memeluk lebih erat seolah Tarendra adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari kehancuran.

"Ayo masuk dulu," Tarendra berkata lembut, menarik Garry ke dalam rumah.

Garry mengangguk kecil, namun tetap memeluk Tarendra seperti takut kehilangan pegangan. Setelah beberapa saat, ia akhirnya melepaskan pelukan itu, menatap Tarendra dengan mata yang sembab.

"Ren..." suaranya serak, nyaris tak terdengar. "Gue gak tau harus ke mana lagi."

Tarendra menghela napas pelan, lalu menggenggam kedua bahu Garry. "Lo selalu bisa ke sini, Gar. Lo gak perlu bilang apa-apa sekarang. Tapi lo gak sendirian, oke? Gue di sini."

Kata-kata itu membuat Garry menangis lagi, kali ini lebih keras. Dan untuk pertama kalinya sejak semua ini terjadi, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli. Tarendra membimbingnya ke sofa, membiarkannya menangis tanpa terburu-buru meminta penjelasan.

"Tarendra... Gue capek," bisik Garry di sela isakannya.

"Gue tau, Gar. Tapi lo gak usah jalan sendiri. Gue ada buat lo," jawab Tarendra dengan suara tenang, matanya penuh rasa sayang.

Beberapa tahun telah berlalu sejak malam-malam kelam yang menghantui hidup Garry. Kini, dia telah berhasil bangkit dan menjadi dokter muda yang disegani. Dengan jas putihnya, senyumnya yang hangat, dan dedikasinya yang tulus kepada pasien-pasiennya, Garry telah menemukan kembali dirinya—meski luka di hatinya tak sepenuhnya sembuh.

Namun, hari itu, dunia masa lalunya kembali mengetuk pintu kehidupannya. Saat sedang rehat di ruang dokter, Tarendra menelepon.

"Gar," suara Tarendra terdengar serius. "Lo denger kabar tentang Alvano belum?"

Nama itu langsung menghentikan tangan Garry yang sedang membuka buku catatan medis. Ia menelan ludah, mencoba meredam gejolak emosi yang tiba-tiba muncul. "Enggak. Kenapa gue harus peduli?" jawabnya singkat, meski dalam hati, ia tak bisa menahan rasa penasaran.

Tarendra menghela napas di seberang telepon. "Nathan, ayahnya, udah kasi syarikat mereka ke Alvano buat dikawal sepenuhnya. Lo tau apa artinya, kan? Dia sekarang jadi CEO."

Garry terdiam. Nama Nathan dan keluarga Alvano membawa begitu banyak kenangan yang dulu ia coba kubur dalam-dalam. Tapi Tarendra belum selesai.

"Oh, dan satu lagi... Alvano sama Aurora udah putus," ujar Tarendra dengan nada hati-hati.

Garry tersentak. "Putus?"

"Dia yang cerita ke gue langsung," lanjut Tarendra. "Lo tau kan, dia masih sering ngobrol sama gue. Katanya hubungan mereka gak berhasil karena Aurora gak bisa terima sisi Alvano yang... ya, lo tau lah."

Garry tersenyum kecil, pahit. "Sisi brengseknya, maksud lo?"

Tarendra tertawa pelan. "Kurang lebih. Tapi ya... Gue cuma mau lo tau kabar ini. Gue tau lo udah move on, tapi gue juga tau kalau ada bagian dari lo yang mungkin pengen tau."

Unspoken HeartBeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang