6. Another Hopes

317 25 13
                                    

This is for my beloved readers,

Sekali lagi, jejak dari kalian berupa vote dan comment sangat berharga untuk penulis.

Kritik dan saran ditunggu untuk kemajuan penulis.

Dan mohon maaf kalau penulis agak lama dalam menyelesaikan satu part, ya, karena jujur aku gak bisa buru-buru kalau nuntasin cerita.

-Hidden-

Joe menatap Araifa dari kaca spion motornya, gadis itu masih saja cemberut dari tadi. Ia sudah meminta maaf berkali-kali tapi tetap saja ia terlihat marah. Oh, Joe tahu, semua memang salahnya. Seharusnya ia bersikap adil. Seharusnya ia mendahulukan Araifa. Dan lihat, wajah yang gadis itu tampakkan begitu mengerikan di matanya.

Untung saja, perkiraannya tepat. Lima belas menit setelah kejadian Araifa ingin pulang terlebih dahulu, ia menuntaskan latihannya bersama Ivy dan ia pergi menuju Araifa yang tampak begitu bete itu. Sungguh, Araifa memang benar-benar horror kalau sudah marah dan ia buru-buru mengajaknya berlatih. Lima belas menit berlalu setelah itu dan Araifa benar-benar tidak fokus. Lalu ia memaksa untuk segera pulang. Sebagai permintaan maafnya, Joe memutuskan untuk mengantarnya pulang.

Joe mematikan mesin motornya tepat ketika ia sampai di depan gerbang rumah Araifa.

"Thanks," ucap Araifa cepat dan terkesan buru-buru. Ia langsung turun dari motor merah milik Joe itu dan membuka gerbang rumahnya.

"Hei," panggil Joe menahan pergelangan tangan Araifa. Gadis itu berdecak sebal sebelum memutar kembali tubuhnya menghadap laki-laki di hadapannya yang sudah turun dari motornya itu. "Jangan ngambek lagi, ok?" ucap Joe sambil menampakkan senyumnya.

Dengan malas, Araifa mengangguk dan berdeham lalu melepaskan tangannya dari genggaman Joe. "Next time, gue gak bakal biarin lo nunggu lagi," ujar Joe lalu kembali menaiki motornya. Araifa hanya diam dengan muka dinginnya dan membiarkan motor merah itu pergi di hadapannya hingga tak tampak lagi. Ia berbalik, rasanya ingin sekali menendang pagar di depannya. Oh, tentu saja tidak akan dia lakukan, karena ia tahu kakinya pasti sakit.

Araifa merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil menghela nafas lelahnya. Ponselnya berdering beberapa kali, menunjukkan pesan dari Joe, tapi ia anggurkan. Sungguh, ia benar-benar kesal pada lelaki itu. Bukan, faktor utama dari semuanya bukan karena Joe yang mengajak Ivy ikut latihan--sedikit, faktor itu hanya mempengaruhi 25 persen dari rasa kesalnya sore ini--melainkan dia yang harus menunggu lebih lama dari Ivy. Mungkin orang-orang akan berpikir bahwa dia terlalu berlebihan, tapi perlakuan tidak adil dari Joe yang ia rasakan sungguh berpengaruh buruk untuknya.

Abaikan perasaan Araifa terhadap Joe, yang sudah pasti cemburu melihat kedekatannya dengan Ivy, tapi perlakuan itu membuatnya kecewa. Setidaknya, bukan ia yang merengek-rengek untuk ikut latihan dengan Joe, melainkan Joe yang mengajaknya. Ia rela menunggu hampir dua jam penuh, tapi justru didahului begitu saja oleh orang yang baru menunggunya beberapa menit.

Ponselnya berdering lagi, kali ini bukan nada pesan yang masuk melainkan nada panggilan, dari orang yang sama, Joe. Awalnya ia berniat mengacuhkannya lagi, ia terlalu malas untuk mendengar suara laki-laki itu. Tiga kali panggilan dan ia masih mengabaikannya. Satu pesan masuk lagi.

Lo benar-benar marah sama gue ya, Fa? :(

Arandy Johari

Araifa menghela nafasnya pasrah. Kenapa laki-laki itu selalu membuat satu hal yang membuatnya tak bisa terlalu lama marah padanya, yang membuatnya akan menyerah pada rasa marah dan kembali memaafkannya?

Araifa mengangkat panggilan tersebut, "Halo."

"Ah, syukurlah lo mau ngangkat telepon dari gue," jawab Joe sambil menghela nafasnya lega. Araifa hanya diam dan tak mau membalas ucapan itu, masih ingin berpura-pura kalau ia masih marah.

HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang