[UPDATE KAMIS]
Aisa Almãr, seorang gadis muda yang terjebak dalam rutinitas kerja membosankan, berkenalan dengan selegram kondang yang memperkenalkannya pada dunia baru yang jauh dari kehidupannya yang biasa. Ketika sebuah perjalanan singkat membawa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Story 31
Telunjuk Isa menunjuk monitor, "Lihat, di situ, di antara semak-belukar. Ada orang, kan?"
Gen memperhatikan dengan saksama, tangannya sibuk memainkan keyboard. Video yang sedang jeda di-zoom in. Menampilkan pepohonan menjadi lebih dekat. Gen bergumam lirih. Dia mulai melihat apa yang dilihat Isa. Memang benar. Ada orang di sana. Dan area itu sama sekali bukan kebun. Hanya semak belukar dan kumpulan pohon liar.
"Siapa mereka ini?" Tanya Gen. Tangannya masih bergerak di atas keyboard. Zoom in hingga resolusi maksimal.
Gambar di monitor tampak kabur karena zoom in maksimal. Tapi jelas sekali dua sosok itu adalah manusia. Yang tampak menempel satu sama lain. Gen tidak menyerah. Zoom in lagi. Isa terus memperhatikan. Sesaat dia blank. Lalu pelan-pelan dia mulai sadar. Hei. Bukankah itu ...?
"Ini, kan ..., kalau tidak salah ..., Si Agha itu, kan? Dan yang bersamanya ..., bukannya itu Vim? Apa yang mereka lakukan di sini?" Gen bergumam keheranan.
Isa mengginggit bibir. Jangan bilang kalau. Tangkapan video itu memang buram, tapi Isa cukup yakin kalau sosok laki-laki berambut hitam dan panjang itu adalah Agha, dan wanita berambut pirang yang tengah telentang itu adalah Vim. Keduanya seperti ...., seperti ..., tidak mengenakan pakaian.
"Apa yang mereka lakukan?" Gen mengerutkan kening, lalu tangannya menekan tombol play pada keyboard. Video kembali berputar. Dan semua menjadi jelas. Gen tertegun sejenak, lalu matanya terbelalak,
"Astaga!!"
Isa langsung menutup mata. Meletakkan kedua tangannya di seluruh wajah. Cepat-cepat Isa berpaling dari monitor.
Gen seketika panik. Video langsung dimatikan. Suasana kontan menjadi canggung. Hening sesaat.
"Ehh ..., kurasa cukup untuk videonya." Ujar Gen dengan nada bingung.
Isa masih membelakangi monitor. Uh. Dasar Si Agha. Isa mencoba menghilangkan rasa terkejutnya. Uh. Menurunkan ekpekstasi memang kunci kebahagiaan terbaik.
Suasana masih hening. Monitor berubah menjadi hitam. Tidak aktif. Kata-kata Gen barusan mungkin masuk akal. Tapi tetap saja, mereka harus menyelesaikan durasi video. Tidak ada pilihan. Gen bersiul tidak jelas, sementara Isa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Oke, rasanya kita harus melangkahi bagian tadi." Gen kembali mengutak-atik keyboard. Video kembali tampil. Tayangan yang normal tersaji. Fokus dan Isa segera kembali.
Beberapa menit berlalu, video terus menampilkan landscape Pulau Mala'ea, sampai akhirnya Gen dan Isa menemukan satu pergerakan yang tidak biasa. Video pause dan segera zoom in.
"Hei, aku tidak pernah bertemu mereka di pulau ini." Gen menunjuk monitor yang menampakkan sekelompok manusia di pinggir jalan. Berjumlah empat orang. Mereka berpakaian serba hitam, tidak terkecuali topi yang menghalangi wajah.
"Hmm, benar-benar mencurigakan." Isa berkomentar.
"Aku tidak punya bayangan soal identitas mereka." Gen berujar sembari menggeleng, "Mereka bukan penduduk pulau."
"Apa kau sudah memeriksa di sekitar sini?" Isa menunjuk monitor.
"Tidak intens. Tapi ini benar-benar informasi berharga. Menurut saksi, orang-orang yang membawa Mister Dippet, juga berpakaian serba hitam. Kemungkinannya sangat besar." Suara Gen terdengar bersemangat.
Video kembali diputar, dan orang-orang misterius itu kembali muncul. Di tiga lokasi yang berbeda. Gen tampak antusias.
"Got you." Gen tampak gemas dengan apa yang dilihatnya.
"Yah, setidaknya kita punya area prioritas." Imbuh Isa.
Gen tersenyum, "Aku akan mengabari Sahabi dan yang lain. Kita harus segera bergerak." Gen menoleh sejenak kepada Isa,
"Terima kasih, Isa."
Isa tidak merespon. Matanya masih menatap monitor.
"Hei, apa drone itu memantau semua wilayah pulau? Secara keseluruhan tanpa terkecuali?" Isa bertanya memastikan.
Gen mengendikkan bahu, "Tidak juga. Jangkauannya tetap terbatas. Ada beberapa area yang merupakan blind spot. Selain itu, drone perlu diturunkan untuk pengisian daya ulang." Responnya.
"Apa kau tahu di mana saja lokasi blind spot itu?" Tanya Isa lagi.
Gen tampak heran, lalu menjawab, "Ya ..., aku sudah mencatatnya. Paling tidak ada lima titik."
"Bisakah kau memberiku koordinatnya?" Tanya Isa lagi.
"No problem." Jawab Gen lagi, masih terheran-heran.
***
Gen dan Isa kembali ke lantai atas, kantor utama TEV. Gen sudah menghubungi Sahabi. Mereka akan menuju ke empat lokasi yang potensial.
"Semoga ada hasil baik." Gen berujar sambil berkemas, menyandang ransel.
Rencananya, mereka berkumpul di titik pertama. Sementara Isa masih berdiri tegak di depan pintu masuk kantor. Gen agak heran melihat Isa yang tampak belum bersiap.
Isa sedang berpikir. Sementara Gen memandanginya dengan ekspresi wajah, hei, kau tidak mau ikut? Semua orang menunggu kita.
"Hmm, setelah dipikir-pikir, ada baiknya kita berpencar. Lebih menghemat waktu." Isa angkat bicara. "Aku cukup tertarik dengan blind spot itu. Mungkin lebih baik aku yang ke sana."
Gen terlihat kaget sekaligus sangsi, "Kau yakin? Kita sedang buru-buru. Lagipula kita punya petunjuk yang lebih penting."
Isa mengangguk, "Ya, kau benar. Tapi kita harus mencoba segala kemungkinan. Jangan khawatir. Blind spot tidak terlalu jauh dari sini."
Wajah Gen terlihat tidak nyaman, "Menurutku berpencar bukan ide yang bagus untuk saat ini." Ungkapnya.
"Tapi kita kehabisan waktu, Gen." Isa membalas.
"Tapi ...," Gen masih belum yakin.
"Tenang saja." Isa tersenyum, "Jika terjadi sesuatu, aku akan langsung menghubungimu. Janji." Kali ini Isa nyengir.
Gen tampak mempertimbangkan. Lalu dia menghela napas.
"Baiklah. Tapi ingat. Jika kau melihat keanehan, sekecil apapun itu, segera hubungi aku. Oke?"
"You have my word." Jawab Isa. Aku bisa menjaga diri.
Gen mengangguk. Lalu melambaikan tangan, lalu melangkah meninggalkan halaman depan markas TEV, menghilang di balik tikungan yang menurun. Menyisakan Isa sendirian. Semua orang telah pergi. Tidak ada partner untuk jalan.
Isa menoleh kiri dan kanan. Ya. Saatnya berangkat.