Kini Cerita Kita di Halaman Yang Sama

1 0 0
                                    

Sabtu, 19 Dzulhijjah 1444 (8 Juli 2023). Akhirnya hari itu tiba. Hari gue berikrar, berakad untuk menerima tanggung jawab besar... Gue belajar kalau akad nikah itu artinya "Saya terima baiknya, buruknya, anehnya, setiap kekurangannya, lupa-an nya, random-nya. Saya terima untuk sabar membimbingnya, sabar dalam mendidiknya, menemaninya, menafkahinya, menjaganya."

Gue naik mobil bareng bokap, kakek dan nenek gue. Tapi kita convoy, sama rombongan nyokap kandung gue dan saudaranya. Deg-deg-an? Hmmm... Awalnya sih enggak, tapi ketika gue liat janur kuning dan ada tulisan "Rahma & Miftah" pas masuk gang menuju tempat acara nikahan, di situ janutng gue mulai deg-deg-an.

Saat jabat tangan wali dari Rahma dan akad terucap, sejujurnya gue gak sampe nangis, ada rasa terharu iya, tapi kaya agak bingung dan kikuk. Apalagi waktu Rahma secara sah sudah jadi istri gue, didatangkan dan duduk di sebelah gue. Itu kikuk banget... Gue difoto bareng dia itu kaku, bahkan waktu dia diminta salim sama gue dan di foto... Buat saling pegang tangan aja kita kaya agak ragu dan kagok. Iya laah... Kita belum pernah jalan bareng, ketemu baru beberapa kali, bahkan gue lamar dia dihari pertama ketemu.

Proses akad nikah selesai... Tapi gue masih gak langsung "sebelahan" sama istri gue. Loh kok gitu? Iya, karena acara resepsi pernikahan kita dijalankan secara infishol, di mana laki-laki dan perempuan dipisah untuk menghindari berkhalwat* antara tamu laki-laki dan perempuan. Termasuk mempelai pengantinnya. Kalau akad nikah, cuma dihadiri sama keluarga tapi duduk antara laki-laki dan perempuan dibedakan dan berjarak.

Terus gimana foto-foto untuk acara pernikahannya?... Tentu saja ada foto grafer dan video grafer, ada laki-laki dan perempuan. Kalau foto kita berdua, ya kita lakuin setelah acara resepsi. Jadi acara resepsi gak sampai terlalu sore dan setelah itu kita foto-foto--walaupun masih kaku dan kikuk untuk pegang-pegangan dan pandang-pandangan--.

***

Malam pertama. Jangan kalian bayangin ini "gimana-gimana" guys... Sejujurnya gue gak tau kalau teman-teman yang lain yang nikah juga dengan cara ta'aruf gimana mereka di malam pertam.

Kalau gue sih... "Hubungan" itu terjadi di malam pertama itu. Jangankan mau "begitu", Gue waktu pertama kali pulang ke rumah istri gue (cieee... istri) setelah nikahan dan sempet ngobrol dulu ama temen gue yang telat dateng... Sampe rumah, istri gue habis dari kamar mandi dan tiba-tiba lari ke kamar karena gak pakai kerudung. Gue sempet termenung sambil agak heran "Lah kan gue udah suaminya... Ngapain ngacir dia?".

Gue samperin lah dia ke kamar, terus gue tanya... "Kamu kenapa lari sambil tutupin kepala?", dan dengan nyengir malu-malu dia jawab "hehehe... Lupa". Setelah itu gue taruh tas gue, ambil baju dan mandi.

Malam itu gue habisin waktu dengan ngobrol aja sama dia.

"Kamu... Kenapa waktu itu, pas nadzhor berani langsung bilang siap lanjut ? Apa yang buat kamu yakin sama aku?" Tanya gue, setelah gue bersih, rapi, wangi dan duduk di tepat tidur sama dia.

"Soalnya yang komendasiin kamu, 2 guru yang aku anggap hebat. Ustadz Hidayat dan ustadz Nain"

"Cuma karena itu?"

"Iya... Soalnya pandangan mereka itu penting. Aku sempet ragu emang di tengah-tengah proses dengan banyak hal yang terjadi sama kamu. Tapi ustadz Nain dan ummi Lia bisa nguatin lagi aku yang ragu waktu itu"

Gak lama dari situ sih... Kita tidur. Iya tidur... Paling nanya dulu... "Kamu kalau tidur, biasa gelap atau terang"

"Gelap" jawabnya. Dan setelah itu, gue matiin lampu dan tidur.

***

Pernikahan itu merubah semua. Semua yang tadinya soal "gue" dan "dia", menjadi "kita".
Karena sejak hari setelah akad... Cerita kita berada di halaman yang sama.

kita nikah hari Sabtu dan hari Seninnya, istri gue udah masuk kerja. Iya, dia belum bisa ambil cuti karena kita nikah itu pas waktunya mau masuk sekolah. Iya sih buat anak-anak memang masih liburan sekolah... Tapi buat guru-guru apalagi jajaran di atasnya harus raker.

Gue yang masih belum mulai ngajar nganterin istri gue ke sekolahnya. Sekalian gue ambil ambil motor gue di rumah nenek gue dan kita pulangnya convoy.

Besoknya gue nganter dia pakai motor gue, dan... "Motor kamu gak enak. Joknya kecil... sempit." itu kata dia. Lalu besokannya lagi, ya gue anter dia pakai motor dia. Lalu ada kata-kata "Aku gak mau diboncengin lagi pakai motor kamu ah. Ganti aja motornya".

Sejujurnya emang nyesek, itu motor impian yang gue bangun pakai uang sendiri... Dengan mimpi dan kerja keras. Tapi pernikahan ya bukan lagi soal "gue" dan "dia"... Ini soal "Kita". Toh mau dijelasin gimana pun, saat ini, kayanya gak akan sampai ke dia... Gimana perasaan gue sama motor gue ini.

Sejak hari itu. Gue posting foto motor gue itu di marketplace facebook. Dan gue pun ganti motor, walaupun tetep motor laki. Tapi setidaknya istri gue nyaman dan aman kalau gue bonceng.

Gue belajar kalau segala sesuatu itu pelan-pelan, perlu waktu dan sebagai suami lu harus siap ngalah dalam hal apapun. Pernikahan itu artinya kita rela waktu kita buat nongkrong ama temen-temen, waktu buat hal-hal receh kaya main game itu berkurang atau harus nyolong-nyolong untuk itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kita & ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang