bab 17| Tempat

2 0 0
                                    

Sejak kejadian kemarin, pikiran Aksara masih dipenuhi oleh setiap kata yang keluar dari mulut Abelia. Kata-kata yang menyakitinya, kata-kata yang membuat hatinya nyaris remuk.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Aksara tidak mencari Abelia. Bahkan, tadi pagi dia tidak datang ke rumah gadis itu untuk berangkat bersama seperti biasanya. Tidak ada langkah tergesa menuju rumah Abelia, tidak ada suara ketukan di gerbang kecilnya, tidak ada obrolan ringan sepanjang perjalanan menuju sekolah.

Rasanya … hampa.

Di kelas, Aksara hanya diam. Kepalanya tertunduk, matanya kosong menatap buku yang sejak tadi tak berubah halamannya. Teman-temannya bercanda seperti biasa, tapi dia tak menghiraukan mereka. Suara tawa, gurauan, bahkan panggilan yang menyebut namanya terasa jauh.

Semua terasa asing.

Sepanjang pelajaran, pikirannya hanya terfokus pada satu hal, kapan bel pulang berbunyi? Dia ingin segera keluar dari sini. Ingin cepat-cepat pulang. Ingin menghindari Abelia.

***

Bel pulang akhirnya berbunyi.

Aksara dengan cepat mengemasi bukunya, memasukkannya ke dalam tas tanpa peduli seberapa berantakan isinya. Dia berjalan keluar kelas dengan langkah gontai, menuju tempat favoritnya—parkiran VIP di samping pos satpam.

Tangannya menaikkan jagang sepeda dengan gerakan lelah. Dia mengayuh pedalnya perlahan, merasakan angin sore menyentuh wajahnya.

"Aksara, tunggu!"

Aksara terkejut. Tangannya spontan menarik rem dengan kuat, membuat sepedanya berhenti mendadak. Dia menoleh dan seketika dadanya terasa sesak.

Abelia.

Gadis itu berlari kecil ke arahnya. Sore ini, Abelia terlihat berbeda. Rambut panjangnya sedikit berantakan diterpa angin, tapi justru membuatnya semakin cantik di mata Aksara. Langkahnya ringan, wajahnya teduh, seolah tidak ada yang terjadi kemarin.

Aksara tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Haruskah dia tersenyum, seolah tak ada yang terjadi? Atau justru tetap mengingat bahwa hatinya masih terluka?

Sesampainya di hadapan Aksara, Abelia menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu.

"Gue mau main ke rumah lo, boleh?" tanyanya tiba-tiba.

Aksara melotot, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Abelia? Ke rumahnya?

Seumur-umur mereka berteman, Abelia tak pernah sekalipun tertarik untuk menginjakkan kakinya di rumah Aksara. Bahkan, dulu saat Aksara bercerita bahwa rumahnya hanya beralaskan semen tanpa karpet, Abelia hanya tersenyum tipis tanpa memberi tanggapan.

Sekarang?

"Beneran, Mbak?" tanya Aksara, memastikan dia tidak salah dengar.

Abelia mengangguk cepat. Namun, sedetik kemudian, wajahnya berubah murung. Mata indahnya sedikit meredup.

"Gue lagi sedih," katanya pelan. "Gue butuh tempat selain di rumah. Gue harap … tempat itu adalah lo, Aksa."

Aksara terdiam.

Kalimat itu, entah bagaimana, seperti angin yang menyapu puing-puing hatinya yang sempat hancur. Seperti embun yang turun perlahan, menghapus debu kepedihan yang sempat mengendap di hatinya.

Gadis itu membutuhkannya.

Dari sekian banyak tempat yang bisa Abelia datangi, dari sekian banyak orang yang mungkin bisa menemaninya, tetapi dia memilih Aksara.

Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang