Pagi itu, suasana di kelas begitu hangat, dihiasi oleh senyum dan tawa ringan. Hari Valentine telah tiba, dan seperti yang sudah diduga, Deandra tak melewatkan kesempatan untuk menunjukkan perhatiannya pada sang kekasih.
Dengan senyum penuh cinta, ia menyodorkan sebungkus cokelat berbalut pita merah dan setangkai mawar yang masih segar. "Untukmu, Sayang," ucapnya lembut.
Raina menerima hadiah itu dengan wajah berbinar. "Deandra, kamu romantis banget! Aku terharu, lho!" katanya dengan nada penuh kebahagiaan.
Di belakang mereka, Aksara diam-diam memperhatikan pemandangan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Namun, tanpa sadar, pikirannya terucap dalam sebuah bisikan, "saya juga terharu lihatnya ..."
Ucapan lirih itu ternyata cukup untuk membuat Deandra dan Raina menoleh dengan kening berkerut. Mereka baru sadar bahwa ada seseorang yang sejak tadi menyaksikan kemesraan mereka.
"Kapan, ya, saya bisa kayak kalian?" lanjut Aksara dengan nada setengah bercanda, meskipun ada kesedihan samar yang tersembunyi di dalamnya.
Raina tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. "Cari dong, Aksa! Pasti suatu saat kamu bisa nemuin seseorang yang cintanya setara, sama kayak kita."
Deandra mengangguk setuju. "Iya, jangan pesimis gitu. Kamu pasti juga bakal dapet kisah cinta yang manis."
Aksara menghela napas pelan, lalu mengedikkan bahunya. "Memangnya saya harus sama siapa? Nggak ada yang mau sama saya," gumamnya, sedikit miris. Jelas sekali, kenangan pahit dari beberapa hari lalu masih terasa menyakitkan—tentang perasaan yang dia ungkapkan, namun berakhir dengan penolakan.
Tiba-tiba, Amel duduk di sampingnya dan dengan nada menggoda, dia berkata, "bukannya kamu lagi PDKT sama Siti, ya?"
Sontak, Aksara melotot. "Sejak kapan saya dekat sama Mbak Siti?!" protesnya.
Namun, tanpa sengaja, pandangannya jatuh pada sosok Siti yang baru saja memasuki kelas. Gadis itu tersenyum lembut padanya—senyum yang menenangkan, penuh ketenangan.
"Selamat pagi, Mbak Siti!" sapa Aksara refleks, dengan senyum yang tak kalah manis.
"Tuh, kan!" seru Amel dengan ekspresi penuh kemenangan.
Aksara langsung menggeleng keras. "Saya bukan suka sama Mbak Siti," bantahnya cepat.
"Terus siapa?" Amel semakin penasaran.
Aksara hanya tersenyum samar, tidak menjawab. Namun dalam kepalanya, ada satu nama yang langsung muncul—Abelia. Mungkin dia tak perlu mengatakannya dengan lantang. Tapi hatinya tahu betul, hanya ada satu orang yang diam-diam ia harapkan.
Raina yang sedari tadi memperhatikan hanya terkekeh kecil. "Sudahlah, Aksara pasti punya pilihannya sendiri yang terbaik, kan, Dean?"
"Benar," timpal Deandra. "Kapan-kapan kita double date, ya?"
Aksara tertegun. Meski hanya lelucon, ada sesuatu dalam nada mereka yang terasa tulus. Entah kenapa, hari ini hatinya terasa lebih hangat. Ia harus mengakui satu hal—Deandra dan Raina memang baik padanya. Sangat baik.
***
Bel kejayaan sudah berbunyi lima menit yang lalu, menandakan istirahat telah tiba. Aksara masih sibuk merapikan buku-buku yang berantakan di atas mejanya. Namun, saat dia berbalik, jantungnya hampir copot.
Abelia berdiri di belakangnya dengan wajah penuh tekanan.
"Mbak Abel!" serunya kaget.
Tanpa basa-basi, Abelia menatapnya tajam dan berkata, "ke tempat biasa, Aksa. Sekarang!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Home
Novela JuvenilKata Aksara, hidup itu hanya butuh dua bekal utama: sabar dan tabah. Dengan keduanya, kamu bisa menjadi orang baik, katanya. Sebuah nasihat yang terdengar bijak-tapi tidak berlaku untuk Abelia. Sabar dan tabah? Abelia sudah menelan mentah-mentah itu...