✖ Prologue ✖

519 48 7
                                    

Bandung, 21 years ago ...

Marinka tersenyum memandangi perutnya yang sudah membesar, bahkan sebentar lagi akan segera melahirkan anak pertamanya.

Dirinya begitu antusias, sebab, berdasarkan USG beberapa bulan lalu, dirinya dinyatakan tengah hamil anak perempuan. Dan itu cukup membuat Marinka sering mengulum senyumnya sendiri.

Marinka menoleh begitu mendengar suara pintu yang dibuka secara kasar, lalu melirik jam dinding yang menempel dengan kokohnya di dinding berlapiskan wallpaper cantik. Baru pukul lima sore. Seharusnya, Matt, suaminya, baru akan pulang sekitar pukul delapan malam.

"BUN!"

Teriakan dari lantai bawah membuat Marinka tergesa-gesa merapihkan pakaiannya lalu segera turun ke bawah. Dilihatnya, Matt, sudah tergeletak lemas tak berdaya disofa ruang televisi sambil mengguman tidak jelas.

"Kok kamu udah pulang?"

Matt membuka matanya perlahan, melirik istrinya yang lebih kelihatan berisi semenjak kehamilannya menginjak delapan bulan. "Suntuk aja aku di kantor, mendingan di rumah. Bisa liat kamu."

Marinka tersenyum, lalu membantu melepaskan sepatu dan kaus kaki dari kaki suaminya. "Sama yang ini gak kangen?" Tanyanya sambil mengelus perutnya pelan.

Mendadak, raut wajah Matt berubah keruh. "Gak suka aku kamu bahas dia."

Gerakan Marinka terhenti, memandangi suaminya dengan bingung. "Maksud kamu?"

"Itu bukan anak yang aku pengen Marinka!"

Marinka bisa merasakan seperti dirinya baru saja ditenggelamkan ke dalam Samudera yang dalam. Air matanya hampir saja menetes. "Kenapa kamu baru bilang ini sekarang coba?"

Matt menghela napasnya. "Aku gak suka dan gak akan Sudi nganggep anak yang kamu kandung itu," dirinya segera bangkit, "karena dia perempuan."

Dan sore itu, diiringi matahari yang mulai kembali ke peraduannya, Marinka bisa merasakan air matanya menetes diikuti dengan cairan yang terasa menetes dari kakinya.

🍁🍁🍁

"Selamat pak, bayi anda lahir dengan selamat."

Matt menatap marah dan tidak suka pada bayi yang diserahkan oleh dokter yang menangani kelahiran istrinya.

Mendadak setelah memasuki kamar, dirinya merasakan firasat buruk tentang istrinya yang ia tinggal di ruang televisi. Dan dugaannya memang benar, istrinya terbaring lemah diikuti darah dan cairan yang sudah membasahi karpet lantai.

"Taro aja dia disana," liriknya sambil menatap box bayi disamping bekas kasur rumah sakit istrinya.

Setelah tiga hari—atau lebih tepatnya, kematian istrinya karena melahirkan anak pertamanya, Matt baru berani menunjukan wajahnya didepan keluarga besarnya. Keluarganya juga hanya memaklumi, bahwa dirinya mungkin butuh waktu untuk sendirian.

Matt menatap ponselnya, dibagian lockscreen, istrinya sedang tersenyum senang sambil menghadap kamera.

"Matt, ini ada surat yang Marinka titipkan sejak lama untuk kamu kalau kejadian ini beneran terjadi." Adiknya, Mayka, menyerahkan sepucuk surat dengan amplop biru laut yang meneduhkan pandangan bagi siapa saja yang melihat.

Matt segera mengambilnya, lalu memberi kode pada Mayka agar meninggalkan dirinya sendiri. Mayka yang menyadari kode itupun, segera keluar sebelumnya melirik box bayi yang menjadi daya tarik tersendiri untuk kamar bernomor 329 ini.

Matt membukanya perlahan, wangi parfum istrinya terasa sangat tajam diindra penciumannya.

Dear Matt, suamiku tersayang di dunia ini ...

Iya aku tau, sebaiknya aku gak boleh berpikiran yang macam-macam dulu tentang persalinanku nanti. Tapi sumpah! Ada saja firasat yang mengatakan bahwa aku harus segera menulis surat ini dan menitipkan pada adikmu, Mayka.

Matt, aku mau minta sesuatu sama kamu. Aku mau nanti, jika ada hal buruk tentang persalinanku, aku mau kamu jaga anak kita. Jangan pernah kamu sakitin hati anak kita sedikitpun.

Kamu mau kan Matt?

Oh iya, aku mau ada nama Asela dinamanya. Asela nama yang bagus, dan membuat siapapun yang mendengarnya nanti, akan merasa sejuk.

Makasih ya Matt, aku sayang sama kamu. Selalu.

With love,

Istrimu, Marinka.

Hampir saja Matt meneteskan air matanya, jika saja suara tangis bayi tidak terdengar dipendengarannya. Ia melirik box bayi itu dengan tidak suka, tapi surat terakhir dari istrinya segera menyadarkan dirinya, sedikit.

"Kaylana Asela ...."

selbirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang