o1 ✖

339 42 10
                                    

Asela tertawa riang, matanya sibuk mengamati jalan yang menuju ke suatu tempat yang jauh dari kota. Sekali lagi, dari bulu mata lentiknya, ia melirik laki-laki yang sedang mengemudi—terhitung dari tiga jam yang lalu.

Bukan perkara yang mudah sebenernya untuk dirinya berada satu mobil dengan lelaki ini. Semenjak pertemuannya minggu lalu, Asela belum lagi berkomunikasi dengan lelaki ini. Ia hanya tahu sebatas nama ... Biru. Nama yang indah, kebetulan biru adalah warna favoritnya.

"Biru, coba deh buka kaca mobilnya, udaranya seger banget!" Asela tersenyum lebar.

Biru meringis, tapi hanya diam tidak menjawab pertanyaan Asela. Dirinya masih fokus ke jalanan dihadapannya.

Biru melirik ke samping, melihat gadis itu masih asik tertawa riang sambil mengeluarkan tangannya ke luar jendela. Beruntung memang mereka berada di daerah pegunungan yang masih sepi, jadi Biru tidak perlu khawatir jika nanti ada yang menyerempet mobilnya.

Tunggu ... tadi ia bilang apa? Khawatir? Bahkan saat ini Biru sedang berpikir keras bagaimana menghindari sosok disampingnya.

"hm, Biru?" Asela Nampak ragu-ragu menyebut namanya, dilihat dari mata tajamnya yang fokus ke jalanan didepan, membuat Asela mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kalimatnya.

"apa?" Tidak terduga, ternyata Biru merespon panggilannya dengan mata masih fokus ke jalanan.

"ada toilet dekat sini?" sial, kenapa dirinya jadi seperti bocah lima tahun begini?! Seharusnya, Asela bisa menahannya tanpa mengikutsertakan Biru.

"gak." Singkat, jelas dan padat. Diam-diam, Biru melirik lagi gadis disampingnya yang kini sudah tidak seberisik tadi. Tangan perempuan itu terkepal diatas paha, apa Asela sedang berusaha menahannya? Berpikir seperti itu membuat Biru terkekeh kecil.

Lima belas menit kemudian, Biru membelokkan mobilnya kearah warung nasi kecil, setelah menempatkan posisi mobil kesayangannya pada tempat yang sudah pasti aman, ia melirik Asela yang sama bingung sedang menatap dirinya.

"turun," tanpa repot-repot membukakan pintu untuk Asela, Biru langsung melangkahkan kakinya menuju pedagang warung nasi yang sumringah menatapnya. "mau buang air kecil kan? Sana gih ke belakang," ucapnya pada Asela begitu gadis itu berdiri di dekatnya.

"eh Nak Biru, apa kabar?"

Biru tertawa, menyapa Bu Rum—pedagang nasi itu—dengan hormat. "alhamdulillah baik saya bu, ibu sendiri apa kabar?"

"ibu baik kok—" Bu Rum menatap gadis cantik yang tadi diperintahkan Biru agar segera buang air kecil yang sekarang sudah disamping Biru. "tumben Nak Biru bawa perempuan, pacarnya ya?" tuduh Bu Rum langsung.

Asela yang merasa bingung hanya menunduk hormat sambil tersenyum manis. "Asela, Bu," Bu Rum dengan senang hati membalas sapaan Asela, "nama ibu, Rum."

"hm yaudah deh Bu, nanti saya mampir ya, keburu siang Bu. Lama juga gak ketemu bunda." Pamitnya setelah ia rasa cukup berbasa-basi sebentar, dirinya memang tidak suka berbasa-basi. "sama bungkusin perkedel ya bu, buat bunda."

Setelah membayar makanan dan berjanji akan mampir dilain waktu, akhirnya Biru dan Asela kembali melanjutkan perjalan lagi. Kali ini, melewati tebing-tebing yang tinggi menjulang. Maka dari itu, ia tetap duduk manis ditempatnya agar tidak membuat Biru kehilangan keseimbangan dan konsentrasinya—memangnya sejak kapan hidup Biru terfokus pada Asela?

Sebenarnya, dengan menyerahkan diri pada Biru—anak pemilik perusahaan terkenal yang merupakan teman dekat ayahnya—sama saja membuat Asela mati perlahan. Semenjak bertemu dengan Biru seminggu lalu, dirinya sudah memiliki firasat aneh tentang kelangsungan hidup dirinya selanjutnya.

selbirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang