Z I A N
"Pa.. ganti channelnya dong! Nomer delapan, Papa!. Ada sulee!!" Rengek Ziana saat aku duduk di sebelahnya.
Kami berempat sedang berkumpul di ruang keluarga, kegiatan rutin kami setiap hari sepulang Papa bekerja.
"Ha? Apa? Nomer berapa, Ana?. Sembilan? Sebelas? satu?" Tanya Papa seraya mengulurkan remote mendekat ke layar televisi, tak lama Papa terkikik melihat Ziana mendengus kesal.
"mulai deh haji bolotnya keluar." Sindirku lalu mencomot potongan buah semangka di piring yang di bawa Mama.
Mama menampar punggung tanganku sehingga potongan semangka itu jatuh mencium lantai. "Ih..Mama ah" Ucapku, menekuk alis.
"Cuci tangan dulu Zian."
Ziana yang semula menempel pada Papa seperti koala, kini beranjak, berlari ke arah dapur lalu beberapa detik kemudian kembali dengan air yang menetes dari jemari tangannya.
"Ma.. Ana udah cuci tangan" Ucapnya lalu melirik ke arahku.
Dasar, Bongil.
Saat aku melangkah menuju dapur, pergerakanku terhenti. Telingaku menangkap sinyal tanda musuh memulai perang.
"Ma.. tau gak? Kak Zian gak pernah cebok, tangannya bau, Ma." Ziana mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung. "Mending semangkanya buat aku aja semuanya."
Aku melanjutkan langkahku seraya mengendikkan bahu, Ziana memang pintar ngerayu, keturunan Papa.
"Aku denger lo, Bongil" Teriakku dari arah dapur.
Tak lama setelah mencuci tanganku, aku kembali, duduk di sofa samping Papa yang tegang karena tim jagoannya tertinggal skor sebanyak dua gol.
Apalagi kalau bukan sepak bola.
"Makanya punya hidung jangan deket-deket sama mulut. Jadi kan bau terus bawaannya." Ucapku santai seraya merebut potongan semangka dari piring dalam kuasa Ziana.
"Ma, kakak nakal! masak ngatain aku pesek!."
Dia tau maksudku, Bongil pintaaar.
"Kakak, jangan gangguin Ana, dong." Ucap Mama, mengelus puncak kepala Ziana seraya tersenyum.
"Entar Ana sunat baru tau rasa!!"
Eh?
Mama mengerutkan dahi."Kamu darimana belajar ngomong sunat sunat gitu?"
Ziana mengerjap, "Kata temen aku di sekolah, Ma. Jadi pas aku main masak-masakan, temen cowok aku bilang kalau cowok itu bukan main masak-masakan, tapi main sunat-sunatan. Terus katanya sunat itu rasanya kayak di gigit harimau. Biar kak Zian kesakitan, kan harus di sunat dulu."
Mama membuang muka, menahan tawanya dengan pipi mengembung.
Sementara aku pura-pura menutup mulut, mengunyah semangkaku cepat-cepat lalu tertawa lepas.
"Zi.." Panggil Papa, keliatan serius.
Aku menoleh ke arah Papa yang duduk di sebelah kananku, begitu juga Mama dan Ziana.
"Gimana kabar, Mecca?"
Ohh.. Mecca.
"Baik, Pa. Dia juga termasuk siswa jenius di sekolah, masuk kelas bilingual." Jawabku antusias. Papa mengangguk-angguk berapa kali.
"Kamu kapan, Zi?"
Aku menoleh ke kiri-ke arah Mama-,lalu menaikkan alis. "Kapan apanya, Ma?"
Sebelum menjawab, Mama menyuapkan sepotong semangka lagi ke mulut Ziana. "Kapan masuk kelas bilingual lah."