chapter 2- Tokoh Masa Lalu

5.9K 305 1
                                    

Surya menunggu kepulangan kakaknya dengan cemas. Bagaimana tidak, dalam perjalanan ke sekolah kemarin Lunara tiba -tiba jatuh pingsan di gerbang kata Pa Hari, satpam sekolah. Kecemasan dimana -mana dan Surya pun nyaris pingsan karena tidak kuat mendengarnya.

"Aku pulang! Suryaaaa!"

Lunara meneriaki Surya yang sedang mondar mandir tidak jelas, sedikit tersenyum geli saat melihat adiknya yang siscon alias sister complex memeluknya seperti beruang teddy. Hangat dan nyaman, secara tubuh Surya memang lebih tinggi dari Lunara beberapa belas centi.

"Benar hanya kecapekan?"

"Hooh." Balas Lunara sambil melepaskan diri dari pelukan Surya yang serasa mencekiknya.

"Kalau begitu, mulai besok aku yang anter jemput kamu, Nara. Jangan protes dan ngilang sebelum aku jemput!" Tegas Surya dengan wajah tegas.

"Aku...."

Surya memotong ucapan kakaknya. "Jangan bilang gamau!"

Lunara menjulurkan lidahnya. "Sewot banget sih! Aku baru mau ngomong 'aku mau' udah disela. Tch."

"Lha?? Kenapa sih? Kepalamu terbentur? Kata dokter sakit apa? Jangan -jangan kau ini kena penyakit kejiwaan atau disorder personality apalah itu."

Lunara menoyor lengan adiknya. "Hush! Kurang ajar! Boleh aja kan kalo aku pengen punya supir pribadi..."

"Supir kepalamu, ngomong -ngomong, mana Papa Mama?"

Surya menggiring Lunara duduk di sofa, lalu menyodorinya segelas es teh manis.

"Kantor."

Papa Mamanya memang selalu sibuk, terutama berhubungan dengan kantor. Jujur saja, mereka jarang ada di rumah dan kebanyakan meninggalkan Lunara dan Surya sendirian di rumah. Tak aneh lagi saat nenyadari orangtuanya tak berada di rumah.

"Nara, kamu beneran kecapekan doang? Serius nih? Gak kenapa -kenapa kan?"

Saat Surya menatapnya, Lunara tak bisa berpaling. Adiknya memang paling tahu semua tentang dirinya, terutama saat dia berbohong. Orang orang bisa dikelabuinya, kecuali adik lelaki kesayangannya itu.

"Sur, ak..."
Ucapan Lunara terpotong saat telepon genggam Surya yang berada di atas meja berdering. Pemuda itu mengisyaratkan pada Lunara untuk menunggu sementara dia mengangkat telepon.

Dalam hatinya ,Lunara merasa lega. Dia belum siap mengatakannya pada pemuda itu. Dan yang pasti Surya takkan siap mendengar perkataannya.

Kanker

Hidupnya takkan bertahan lama, terutama setelah menolak pengobatan medis.

Gadis itu menatap langit -langit ruang tamunya dengan tatapan menerawang.

"Waktuku terlalu singkat untuk hidup, dan mungkin takkan cukup untuk menikmati apa yang tersisa. Tapi, aku akan mencoba."

***

"Suryaaaa!! Kamu ngapain sih?!"

"Sabar dong kakakku tersayang! Salahmu karena tak membangunkan aku!"

Tak berapa lama Surya muncul dengan tergopoh -gopoh. Di hadapannya, Lunara sudah bersiap dengan seragam sekolahnya. Sekolah mereka terpisah beberapa blok karena Surya memilih masuk ke SMU berlainan dengan Lunara yang memiliki tim basket andalan.

"Gimana kalau aku telat? Ada test matematika nih jam pertama.."

Surya melotot melihat penampilan kakaknya yang tidak berbeda dari biasanya. Kalau rambutnya disisir rapi, dia memakai seragamnya dengan benar, melepas kacamata 2 cm nya dan menggantinya dengan softlens, memang Surya yang agak kepedean, tapi dengan penampilan begitu, Lunara akan jadi Surya dengan versi cantik, bukan ganteng lagi.

"Apa liat liat?" Dengus Nara sambil tersenyum jahil. "Kakakmu mempesona kan??"

"Tetep kaya gembel sih. Coba deh berdandan dikit kaya pas wisudaan, dasar gak normal." Balas Surya sambil mengeluarkan motornya Ninjanya dari garasi, warisan kakak sepupu yang pindah sekolah ke luar negeri 4 bulan setelah membeli motor itu.

"Gembel gembel gini juga kakakmu tahu, udah deh ayo buruan pergi!"

Tekad Lunara sudah kuat, sampai waktunya nanti, dia akan melakukan apaaun yang dia bisa dan diinginkannya.

***

"Aku turun ya, bos! Jemput nanti jam setengah 5!"

Surya mengangguk dari balik helm-nya, lalu menatap punggung gadis itu yang mulai menghilang di balik gerbang sekolahnya.

"Something is wrong..."

Lunara menyembunyikan sesuatu darinya. Sikapnya memang biasa, tapi ada sesuatu yang menggelitiknya. Surya menghela nafas, lalu memacu motornya. Dia akan mencari tahu.

***

Seperti biasanya, Lunara adalah gadis paling tak menarik, paling tak kasat mata dan paling terpencil di kelasnya. Tak punya banyak teman dan hobinya membaca buku atau melamun.

Dia tidak seperti Surya yang supel dan gaul, penampilan ala aktor korea, dan digandrungi semua orang. Lunara hanyalah gadis biasa tanpa kelebihan yang selalu menjalani kehidupannya setengah-setengah.

Diagnosis itu membuatnya menata kembali hidupnya. Kehidupan yang dia inginkan adalah kehidupan yang menyenangkan dan memompa jantungnya dengan cepat. Hari dimana dia bisa menjadi matahari dalam hidupnya sendiri.

"Lunara, ada yang mau ketemu kamu. Murid pindahan."

Kania berjalan mendekati Lunara sambil mengedikkan bahunya pada pemuda tampan yang berdiri di samping pintu. Gerombolan perempuan mengikutinya, membuat dirinya teringat pada Surya.

Lunara melangkah dari tempat duduknya, lalu menyapa pemuda itu tanpa memperdulikan desisan dan tatapan sinis yang lain.

"Siapa kau?"

Pemuda itu menjabat tangan Lunara, lalu tersenyum. Senyuman yang membuat percikan dalam benaknya meluncur seperti kembang api.

"Kau tak ingat? I'm Devon. Devon Aditya Lesmana."

Jantung Lunara meluncur dari rongganya. Gadis itu meneguk ludah sebelum menyebut namanya dengan suara tercekik.

"Devon...??"

One Last Wish (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang