Pernah merasakan seseorang memandangimu? Dipandangi dengan cara yang bukan menyenangkan?
Seseorang menatapku. Tatapannya membakar. Tentu saja itu menganggu konsentrasiku dalam menyampaikan pendapatku dalam seminar.
Aku ingin sebagai seorang lulusan S2 yang baru saja selesai dari fakultas hukum, aku dapat menyampaikan aspirasiku sebelum dikotori oleh dunia kerja yang penuh intrik bak drama korea saeguk (drama korea yang bertema kerajaan yang dipenuhi intrik politik demi uang dan kekuasaan).
Dalam seminar ini aku ingin menyampaikan bahwa UU KDRT itu belum bisa dikatakan terlaksana. Entah mengapa sejak dikeluarkannya UU KDRT tahun 2004, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga malah bertambah tiap tahunnya.
Persamaan hak untuk wanita. Wanita bukan lagi orang yang hanya diletakkan di kasur, dapur, dan sumur. Bukan berarti wanita menjadi orang yang menguasai suami dan rumah tangganya. Tapi wanita dapat menjadi partner yang setara bersama suami untuk mencapai suatu keluarga yang bahagia. Itu mimpiku sebagai perempuan yang belajar hukum.
Tatapan itu semakin membakar. Aku merasa risih.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah orang yang menatapku sesudah aku selesai menyampaikan orasiku dan dikembalikan ke MC.
Dia masih menatapku. Terang-terangan. Biasanya orang akan malu bila ketahuan sedang memandangi orang lain. Tapi dia masih terus menatapku. Seolah menantang. Dasar gila, batinku.
Aku masih menatapnya. Berharap dia akan sadar bahwa perbuatannya tidak sopan.
Aku tahu tipe laki-laki seperti dia. Hanya satu kata. Cassanova.
Aku tahu bahwa dia tidak akan mengalihkan pandangannya dariku. Tidak tahu darimana keyakinanku. Hanya aku tahu.
Aku mengalihkan pandanganku dari dia. Kembali berkonsentrasi pada jalannya sesi diskusi ini.
Aku melihat dia sedang berdiri di depan pintu ruangan seminar. Tadinya aku sudah mau pulang, tapi tertahan karena berjumpa dengan salah seorang dosenku dulu yang banyak membantuku dalam penulisan disertasi.
Sesudah menyapa dosenku, aku menghampiri dia. Bertanya kepadanya mengapa dia memandangiku.
Dia hanya tersenyum, malah mengajakku berkenalan lagi. What the hell.
Namanya Altara Tan. Jelas sekali dari kulitnya yang putih dan matanya yang agak sipit dia adalah etnis tionghoa.
Sialnya adalah dia tinggi sekali. Aku harus mendongak untuk melihat wajahnya.
Bajingan tampan,pikirku. Salah satu dari jenisnya yang akan kuhindari kalau tidak mau berakhir dengan mata bengkak, tisu kotor bersebaran, dan hibernasi berminggu-minggu.
Kenangan pahit itu muncul lagi sesaat dalam pikiranku.
" Kan sudah kubilang kalau aku kira kamu orang yang aku kenal, makanya aku memandangimu" Katanya menyadarkanku. Kuhalau kenangan itu dari memoriku.
Dasar penipu. Kamu kira bisa menipuku. "Aku bukan orang bodoh. Kamu memandangiku cukup lama dan cukup jelas. Jadi aku tahu bahwa kamu ga kenal ama aku." geramku.
Dia berusaha untuk mengelak. Lucunya dia jadi gugup. Ah... Mungkinkah seseorang setampan ini tertarik padaku. Mimpi pun aku tak pernah, lagipula sudah sejak lama mimpi-mimpiku adalah mimpi buruk.
" Baiklah aku mengaku. Aku tertarik padamu. Kamu kok cantik banget sih?" Katanya.
Aku terkejut. Sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Perasaan seperti jantung berdebar dan wajah memanas sudah tidak pernah lagi kualami sejak peristiwa terakhir.
Kulihat dia tersenyum penuh kemenangan. Aku ingin memakinya. Tapi dia pasti akan merasa senang.
Brengsek, makiku dalam hati.
Tidak ada lagi yang harus kusampaikan. Dari pada mempermalukan diri sendiri. Lebih baik aku pergi saja.
Rumah orangtuaku yang kutempati sendiri dulu semasa kuliah sendirian kini sudah ditempati lagi oleh kedua orangtuaku.
Papa dipindahtugaskan ke medan. Sebagai Hakim memang setiap beberapa tahun akan dipindah tugaskan. Anehnya kali ini Papa pindah ke Medan sebelum periode waktu kerja di kota sebelumnya habis.
Sejak kepindahan orangtuaku ke rumah, aku memutuskan untuk pindah ke sebuah rumah yang kubeli secara kredit. Kreditnya masih akan berjalan sampai beberapa tahun lagi.
Aku tidak tahan serumah dengan orangtuaku, terlebih aku tidak tahan tinggal di rumah yang banyak kenangan dengan dia yang namanya tidak bisa kusebut. Aku tidak akan menyebut namanya. Tidak lagi. Itu akan membangkitkan sisi sentimentilku yang kusudah kukubur dalam-dalam.
Aku hampir sampai di rumahku. Setelah membuka pintu gerbang, aku memasukkan mobil picantoku ke pekarangan.
Rumahku kecil. terdiri dari Ruang tamu. Satu kamar, satu kamar mandi, dan dapur. Aku beruntung karena pekarangan rumahku cukup luas untuk dijadikan parkir mobil.
Aku duduk di sofa di ruang tamu. Menyalakan TV dengan volume yang lumayan keras. Rutinitas yang selalu kukerjakan untuk mengusir sepi. Berpaku pada TV, sampai aku tertidur di sofa. Lalu bangun keesokan harinya terbangun dengan tubuh yang pegal.
KAMU SEDANG MEMBACA
A love story about Tara and Tere
Storie d'amoreapakah kamu percaya kalau kukatakan aku mencintaimu? (Tara) aku benci laki-laki yang romantis. Ugh...yang gitu ke laut aja deh (Tere)