Cinta Diantara Pucuk Pinus : Chapter 2

999 54 2
                                    

Sisi adalah gambaran salah satu dari sekian banyak pembantu rumah tangga yang berperangai baik, penyabar, penurut, rajin bekerja tanpa mengenal lelah.
Matanya tajam berkilat, tetapi akan menunduk bila di pandang orang. Ciri khas orang kampung yang lugu.
Dalam hati Digo menilai gadis lugu itu, Sisi tidak pantas menjadi seorang pembantu. Karena pemikirannya lebih luas bila di bandingkan pembantu pembantu lainnya. Padahal saat sekarang ini banyak pembantu hanya memiliki pendidikan sekedarnya, bahkan tidak jarang yang buta huruf.

Pukul delapan malam Ghina baru pulang. Wanita itu menghempaskan tubuhnya yang lelah ke atas sofa yang empuk di ruang tengah. Semula niat Ghina adalah ingin membantu sang suami, ternyata kini penghasilannya jauh melebihi penghasilan Digo. Kita harus memakkuminya walau Digo seorang sarjana tetapi dia bekerja sebagai pegawai biasa. Berapa penghasilan seorang pegawai seperti Digo? Biar pun lelaki itu bekerja di sebuah bank swasta yang basah oleh objekan, tetap saja penghasilan isterinya jauh lebih besar. Padahal Ghina hanya mengandalkan ijazah sekolah menengah saja, namun ia bekerja di sebuah perusahaan asing dan ditambah lagi Ghina bekerja sebagai sekretaris salah satu direktur di tempatnya bekerja. Maka sudah dipastikan penghasilannya cukup besar. Sedangkan Digo bekerja hanya sebagai salah satu kepala bagian di bank swasta itu gajinya jauh lebih kecil.

Mereka kini memiliki sebuah rumah sendiri, kendaraan pribadi, bahkan penghasilan mereka tidak dirong rong oleh pembayaran barang kredit.
Tabungan mereka di bank pun tiap bulan semakin bertambah. Namun begitu Digo bukanlah lelaki tamak sebagian besar uang gajinya diserahkan kepada Ghina. Dan dia hanya menabung di rekening miliknya, uang jabatan dan uang lain yang di hasilkan dari mengobyek sana sini.

Ghina POV

"Mam, kau sudah mandi?" tanya Digo ketika kami duduk di ruang tengah. Ia sengaja menunggu ku untuk makan malam bersama. Kebiasaan itu sengaja Digo pertahankan sejak kami menikah beberapa tahun lalu.

"Sudah Pap" kata ku.

"Ayolah aku sudah lapar nih Mam" kata dia lagi.

Aku melangkah menuju meja makan semuanya sudah siap sejak sore tadi Sisi tau makanan yang paling kami sukai dan ia memang pandai memasak dan aku akui itu. Apa yang dibuatnya selalu habis kami makan.

Author POV

Diantara suapan sesekali keduanya bercakap cakap.

"Mam" pnggil Digo.

"Hm.." gumam Ghina dalam.

"Kalau tidak salah kita menikah sudah empat tahun lebih" ucap Digo.

"Ya mengapa Pap?"

"Selama itu pula rumah ini sepi dari tangisan anak"

"Pap, apakah kita sudah siap untuk menerima kehadirannya?" Ghina menoleh menatap wajah Digo menghentikan kunyahannya.

"Mam, mengapa tidak? Petani saja sudah siap begitu mereka menikah. Mengapa kita tidak?" balik Digo menatap istrinya.

"Kau harus mengerti Pap, bila aku punya anak aku lebih banyak berada di dalam" kata Ghina menolak dengan alasan.

"Berhenti pun tidak apa apa Mam".

"Tidak aku tidak akan keluar dari pekerjaanku. Tetapi bila kau sudah siap, Pap aku siap untuk membuka spiral KB. Bila aku melahirkan langsung mengambil cuti. Kemudian aku mencari baby sister. Tapi Pap kita jadi sibuk mengurus anak"
kata Ghina mencoba memberikan sebuah keputusan pada suaminya.

Digo menghabiskan makanannya di atas piring. Meneguk air minum dalam gelas. Menyeka mulut dengan sehelai serbet. Perutnya terasa kenyang.

Digo POV

"Mam, menurutku lebih baik kita mempunyai anak saat ini. Bila tidak akan berakibat buruk buat kita. Kau sendiri akan mendapat kesulitan melahirkan dengan usia meningkat" ucapku dengan nada serius.

"Pap, dulu ekonomi kita belum dapat menunjang. Tetapi sekarang semuanya telah kita miliki" balas dia datar.

"Jadi kau setuju dan siap untuk mempunyai anak?" tanya ku padanya.

"Ya daripada aku disuruh berhenti bekerja".

"Aku harap kau bisa mengatur waktu Mam" ucapku sambil tersenyum.

"Baiklah Pap mulai besok aku akan membuka KB" balasnya.

"Apa kau tidak merasa rumah ini begitu sepi Mam?"
Ghina tersenyum mendengar pertanyaan ku.

"Baiklah Pap, kita harus merencanakan dari sekarang"

"Mama yakin kalau bisa punya anak?"

"Lho aku normal kok Pap. Kalau Papa tidak percaya sebaiknya kita periksa ke dokter. Tentunya kau juga di periksa" kata istriku mengusulkan.

"Tidak perlu deh, Mam. Rasanya kita normal ya" tolak ku dengan halus.

"Besok kita akan refreshing dan perusahaan mengizinkan bawa suami atau istri Pap"

"Aku tidak ikut Mam, karena besok aku ingin menemui salah seorang temanku yamg katanya hendak dimutasikan" tolakku lagi.

"Besok aku ingin berangkat pagi pagi Pap. Apa kau perlu dibangunkan?" tanya dia kemudian menoleh ke arah ku.

"Mam, kalau besok aku masih tidur tidak perlu dibangunkan. Dan kalau bangun sendiri kita bisa makan pagi bersama. Oke?" ucap ku bijak.

¶¶¶¶¶¶

Hallooooo author balik lagi :D

Maaf ya baru bisa next skrang alna sibuk kerja trus hehe

Oiy mkasi buat readers yg udah baca dan yg udah setia menunggu lama yaa :)

Dan author ngucapin mkasi skali lagi udah vote dan comment story ini :)

Lovee uu so muchh :D

Tunggu next chapter ya readers ksyangan aku :)

Salam sayang dari aku :* :* ({})

Cinta Diantara Pucuk PinusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang