Hanya itu yang terjadi setiap hari, pembicaraan yang terlalu menonton. Membuat perasaan Digo terlalu jenuh tidak ada sesuatu yang lain. Digo segera beranjak menuju meja kerjanya membawa selembar surat kabar yang belum sempat dibacanya. Pekerjaan yang tertumpuk di kantor membuat lelaki sering tertidur di ruang kerjanya. Begitu juga dengan Ghina, ia tidak jarang tertidur lelap di sofa ruang tengah sehingga Sisi membangunkannya.Digo mengakui bila hubungannya dengan Ghina terasa kurang harmonis bahkan terkesan hambar. Komunikasi terjadi karena terpaksa dan dipaksakan. Digo selama ini mencoba memberi pengertian pada Ghina, setiap istri boleh saja mengembangkan kariernya setinggi mungkin tetapi harus ingat kodratnya sebagai seorang wanita.
Malam itu Digo tertidur di kamar kerjanya sampai larut malam tak ada yang membangunkannya. Ghina kalau sudah tidur sudah seperti bangkai. Bila saja Sisi tak membangunkannya, Digo akan tidur disana sampai pagi tiba. Pembantu yang setia itu dengan wajah polos tanpa dipoles make up sedikit pun melihat ruang tengah masih terang benderang. Seharusnya ruang itu gelap karena tak ada yang duduk di sana. Sisi dengan sabar mematikan lampu satu per satu, lalu meneliti semua pintu. Takut kalau kalau belum terkunci lampu di halaman ia nyalakan sehingga kelihatan terang benderang dari jalanan di depan rumah.
Mata Sisi tertumbuk pada pintu ruang kerja Digo. Di sana masih terlihat terang berarti tuannya masih ada dan dipastikan tertidur dengan pulas. Maka dengan hati hati Sisi membuka pintu ruang kerja itu. Betul saja, Sisi melihat majikannya tertidur di sofa dengan pulasnya.
"Pak....bapak...bangun.." ucap Sisi sambil mengguncang guncangkan tubuh Digo yang tertidur pulas. Tampak wajah lelaki itu cukup tampan menurut pandangan Sisi. Pembantu itu menjadi tergetar melihat kegantengan majikannya. Nalurinya sebagai wanita dapat membaca kalau Digo tidak bahagia dengan istrinya yang menjadi wanita karier.
Entah apa yang membuat mereka bersikap dingin, hambar tak ada tawa cerah di antara mereka. Yang Sisi lihat adalah wajah wajah dingin yang penuh ego. Sering Sisi mencuri pandang ke arah majikannya kasihan sekali pasti ia jarang mendapat pelayanan di tempat tidur dengan baik. Terkesan Ghina terlalu banyak mengatur bahkan sampai pelayanan ranjang.
"Pak, bangun..." ulang Sisi sambil memegang lengan Digo. Akhirnya Digo terbangun dia sedikit terkejut.
"Ada apa Si ?" tanya lelaki itu keheranan.
"Bapak tertidur di ruang kerja. Sebaiknya pindah ke kamar"
"Memangnya sudah jam berapa, Si ?" tanya lelaki itu sambil mengucek ngucek matanya.
"Jam satu dini hari, Pak"
"Apa Ibu sudah tidur, Si ?"
"Ya sudah sejak tadi Ibu tidur. Saya yang menyuruh karena tadi ia tidur di ruang tengah" balas Sisi sekali lagi.
Digo tersenyum membelai lengan pembantunya lembut."Sisi, kau memang baik sekali" puji Digo pada Sisi.
"Semuanya sudah menjadi kewajiban seorang pembantu, Pak rasanya tidak ada yang istimewa bukan?" balas Sisi merendah mencoba tersenyum manis pada sang majikan.
Mata Digo menatap Sisi membuat gadis itu bagai terpanah api asmara pedih namun memabukkan.
Memang dirinya selalu bergetar bila pandangannya beradu dengan tatapan majikannya. Tetapi ia mencoba bersikap biasa seakan tidak ada perasaan apa apa."Si, maukah kau menolongku?" tanya Digo.
"Maksud Bapak?" tanya Sisi tidak mengerti.
"Apakah kau bersedia, Si?"
"Mau saja kan saya pembantu Bapak"
"Aku minta dipijiti punggungku" pinta Digo.
"Tapi...bagaimana kalau Ibu tau?"