Panas. Siang ini panasnya memang luar biasa. Seperti biasa, aku hanya bisa menahan dan memendam rasa lelah, lapar, dan haus dilubuk hatiku yang paling dalam.
Kembali kulanjutkan langkahku yang sempat terhenti karena aku beristirahat sejenak. Sebetulnya, aku tidak niat untuk pulang. Tapi mau bagaimana lagi, kalau aku bermain terus aku pasti akan dimarahi Ibu.
Tak lama kemudian, sampailah aku dirumah kecil yang diwariskan kakek untuk Ibu. Jujur, rumahnya sudah tidak layak huni. Tembok luarnya banyak yang sudah berlumut dan keropos. Apalagi catnya. Yang sebetulnya berwarna putih bersih, sekarang berubah menjadi putih gading.
Kubuka pintu rumah dengan perlahan. Puluhan butir keringat membanjiri kerahku.
"Itu Dewi?" tanya Ibu lemah dari dalam kamar.
Aku tak menyahut. Malah aku dengan asyiknya duduk bersiul dikursi kayu. Tak lama kemudian, terdengar seretan langkah Ibu keluar dari kamar.
"Kamu sudah pulang, Nak?" tanya Ibu. Aku menoleh. Kulihat Ibu yang sepertinya sedang sakit. Dikepalanya tertempel koyok.
"Sudah tahu pake nanya lagi!" jawabku ketus. Aku lalu masuk kedalam kamar tanpa memperhatikan Ibu. Sesampai dikamar, segera kurebahkan tubuhku.Sejenak aku berpikir, "Apa salah Ibu? Apa salahnya padaku? Kenapa aku begitu membenci Ibu? Apa karena Ibu tidak pernah memenuhi semua keinginanku? Iya sih, aku sadar. Aku cuma anak pedagang gorengan dan supir angkot! Tapi apakah ada larangan kalau anak supir angkot sama pedagang gorengan tidak boleh bahagia! Ibu terlalu menekangku. Aku benci Ibu!" kataku dalam batin.
Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Ibu datang membawakanku sepiring nasi berlaukkan tempe tadi yang digoreng pagi.
"Nak, kamu masih marah ya sama Ibu? Gara-gara Ibu nggak bisa membelikanmu sepeda?" tanya Ibu pelan.
Aku diam saja.
"Ibu minta maaf kalau Ibu belum bisa membahagiakanmu Nak. Sabar sebentar ya, nanti kalau ada uang, pasti Ibu belikan," kata Ibu sambil tersenyum.
"Halah, Ibu ini dari dulu cuma bisa omong doang. Mana buktinya, Bu? Mana buktinya kalau Ibu mau membahagiakanku? Aku minta itu nggak dibelikan, minta ini nggak dibelikan. Aku capek, Bu, kalau suruh sabar.. sabar.. dan sabar terus..," seruku setengah membentak.Mata Ibu berkaca-kaca, "Maaf Nak, Ibu benar-benar tidak punya uang. Bapakmu saja penghasilannya pas-pasan," kata Ibu, "Ini kamu makan ya, kamu pasti lapar sekali," kata Ibu sambil menyodorkanku sepiring nasi.
Kusenggol dengan kasar tangan Ibu hingga piring itu terjatuh.
"Aku nggak suka makan nasi basi, Bu! Nanti perutku sakit," seruku. Aku pun meninggalkan Ibu sendirian didalam kamarku.
Tanpa sengaja, saat berjalan aku memijak tempe yang terjatuh sehingga menjadi hancur.Keesokan paginya, aku hendak pergi kerumah Ema. Aku, Ema, Qori dan Ayu hendak mengerjakan tugas sekolah.
"Kamu mau kemana, Dewi?" tanya Ibu sambil duduk disampingku. Sembari mengenakan sepatu, aku menjawab.
"Pergi!" jawabku singkat.
"Iya.. Kemana, Nak?" tanya Ibu sabar sambil membelai rambutku.
"Mau ngerjain tugas lah, Bu! Ibu ini apa - apaan sih? Curiga amat sama anak sendiri," jawabku ketus.
"Bukan begitu. Ibu titip.. Hukk.. Uhukk," kata Ibu terputus karena batuk, "Ibu titip belikan obat ini di apotek sebentar bisa?" tanya Ibu sambil memberiku sampel plastik obat.
"Aku nggak punya duit, Bu!" sahutku.
"Ini! Ini uangnya," kata Ibu. Dikeluarkannya uang dua puluh ribuan, "Tolong belikan sebentar ya, Nak!" pinta Ibu.
"Mckk.. Ya sabar lah, Bu! Dikerjain aja belum," sahutku, "Aku berangkat dulu."
"Hati - hati dijalan ya, Nak! Pulangnya jangan sore-sore, nanti Ibu mau pergi," pesan Ibu. Ibu menjulurkan tangannya, namun tidak aku hiraukan.Aku tersenyum sembari melangkah keluar dari rumah, "Asyik, dapat tambahan uang jajan," batinku.
Selesai mengerjakan tugasnya, Qori - yang anak seorang pejabat- mengeluarkan handphone keluaran terbaru berwarna hitam elegan.
"Wiss, baru ni ye," celetuk Ema.
"Ya iyalah, siapa dulu dong," jawab Qori bangga.
"Berapa harganya Qor?" tanya Ayu tiba-tiba.
"Murah kok, cuma tiga jutaan aja," jawab Qori enteng.
"Waahh, bagus ya," kataku sambil mengelus handphone milik Qori tersebut.
"Hati hati lho, nanti lecet," canda Qori.
"Kalo aku sih, kemarin habis dibeliin laptop komplitan, masak sekarang udah mau minta lagi?" guman Ayu.
"Ya nggak papalah, lagian kan kamu anak tunggal. Kalau enggak buat kamu buat siapa lagi coba?" kata Ema.
"Iya ya," ujar Ayuk.
"Ahh, nanti sampai rumah minta handphone kayak miliknya Qori ini ah," gumanku dalam batin.
Tak lama kemudian, Ema dan Qori sudah pulang. Mereka dijemput mobil pribadi masing-masing.
"Wi, anterin aku beli bolpoin sama penggaris dimini market yuk," kata Ayu.
"Yuk, sekalian aku mau beli bolpoin juga," jawabku. Tak lama kemudian, kami sudah sampai dimini market tersebut.
Segera aku dan Ayu membeli barang yang kami maksud.Selesai membeli bolpoin, kami melangkah menuju deretan boneka. Kami asyik menonton koleksi boneka.
Keluar dari mini market, aku mengajak Ayu untuk membeli obat pesanan Ibu diapotek yang letaknya tak jauh dari mini market.
Kubelikan separuh saja, karena sebagian uangnya sudah aku gunakan untuk membeli peralatan sekolah tadi.
Jam menunjukkan pukul dua siang. Akhirnya, aku pulang diantar Ayu.
"Rumah kamu kok ramai, Dew?" tanya Ayu kaget, "Ada bendera kuningnya lagi," tambah Ayu.
Aku menggeleng tak mengerti.
"Aku pulang dulu ya," kata Ayu. Ayu kemudian pulang meninggalkanku yang masih dilanda kebingungan.Aku kemudian berjalan masuk kedalam rumah. Diluar rumah banyak tetangga yang mengenakan baju berwarna hitam.
Sampai didalam rumah, aku terkejut. Seperti tersambar petir disiang hari. Kulihat tubuh Ibu terbujur kaki terbungkus kain kafan. Hidung dan telinganya sudah tersumbat dengan kapas. Disamping Ibu, ada Bapak yang tengah membacakan surat yasin untuk Ibu.
Aku berdiri sambil melongo tak percaya. Sungguh.
Tubuhku tiba-tiba terjatuh tanpa kendali. Kudekap tubuh Ibu. Air mataku meleleh dan tidak bisa berhenti.
"IBUUUU....," jeritku. Kudekap erat tubuh Ibuku, serasa tak ingin melepasnya.
"Bangun Ibu.. Ibu bangun.... Jangan pergi, Buu....," isakku. Dadaku tiba-tiba sesak. Sulit untuk bernafas.
"Ibuuu... Jangan tinggalkan aku Ibu... Aku nggak ingin sendiri," isakku lagi.
Tangisku semakin menjadi-jadi.
***Pemakaman baru saja selesai. Pelayat juga sudah pulang. Aku dan Bapak masih setia didepan makam Ibu.
"Dewi.. Ini ada surat untuk kamu. Tadi Bapak menemukan ini diatas meja ruang tamu," kata Bapak sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku.
Kuseka air mataku dan kemudian menerimanya.
"Bapak pulang dulu ya, kamu jangan lama-lama disini," pesan Bapak.
Aku mengangguk sambil membuka surat itu.
"Untuk anakku yang paling cantik, Dewi Sekarini.
Dewi, melalui surat ini, Ibu hendak minta maaf padamu sayang. Ibu minta maaf sekali karena Ibu belum bisa mencukupi kebutuhanmu. Belum bisa membuatmu bangga menjadi anak Ibu. Ibu sebenarnya malu karena Ibu belum bisa membuatmu bahagia, Nak. Ibu minta maaf karena belum bisa membelikanmu sepeda.
Nak, Ibu punya sedikit tabungan. Sebenarnya uang itu hendak Ibu gunakan untuk membayar hutang Ibu, tapi Ibu pikir, tak apalah jika uang itu digunakan untuk membelikanmu sepeda. Ambillah di almari Ibu.
Dewi anakku sayang, sepeninggalan Ibu, kamu jangan nakal ya. Kamu jangan suka melawan sama Bapak.
Percaya, Nak. Ibu akan selalu melihatmu dan menjagamu, walau kamu tidak bisa melihat Ibu, karena Ibu ada dihati kecil kamu.
Ibu sayang Dewi.
Dari, Ibumu..."
Kulihat dikertas surat itu, ada beberapa titik bekas tetesan air mata Ibu.
Air mataku kembali meleleh.
"IBUUU.. Ibu bangunnn, Ibu bangunn...," jeritku. Tanganku mengelus batu nisan Ibu.
"Ibu.. Ibu nggak perlu minta maaf. Yang salah aku, Buu..," kataku. Kuseka air mataku.
"Aku nggak perlu sepeda, Bu. Aku nggak ingin sepeda. Aku cuma ingin Ibu disini," ujarku lirih.
Aku kemudian berdiri sambil kembali menyeka air mataku. Aku berjalan gontai meninggalkan makam Ibu.Angin berhembes sepoi sepoi, membuat rambutku yang panjang melambai-lambai. Kurasakan seseorang tengah berdiri didekat makam Ibu.
Kutengok siapa dia.
Ternyata Ibu. Ya, itu Ibu. Ibu ada disana. Ibu tersenyum manis padaku. Akupun membalas senyuman Ibu.
Ingin rasanya aku berlari dan memeluk Ibu. Kemudian berkata, "Ibu jangan pergi. Aku sayang Ibu. Aku minta maaf karena telah membuat Ibu sering menangis. Terima kasih Ibu, sudah mau menjagaku selama 15 tahun ini."
Namun itu tidak mungkin.
Kulihat kembali Ibu yang masih tersenyum padaku, akan tetapi lama kelamaan Ibu menghilang terbawa angin.
Terbesit penyesalan yang mendalam dihatiku. Ibu, aku sayang kamu.....
---------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Inspiration Story
General FictionMerupakan sekumpulan kisah Inspiratif yang Author punya.. ..Hope you like it.. Don't Forgot to give me Votes and Comments... Stay Tune And Keep Read all Story...