bab empat

2.4K 130 8
                                    

"Paman lu? Emangnya..."

"Iyah, waktu gua di kelas 2 SMP, paman gua dateng jenguk gua. Waktu itu masih jomblo baru umur 27 taon. Dia nginep di kamer gua. Satu malem kita ngobrol soal begituan, dia cerita macem - macem ampe gua tegang, terus yah gitu deh..."

"Paman lu ... eh..."

"Iyah, gua di raba - raba, awalnya aneh, cuma dia pinter caranya jadi gua keenakan. Hari ke tiga baru dia berani telanjangin gua."

Willly mendengar penuturan Narendra dengan takjub.

"Trus lu di tusuk...?"

"Gak lah, paman gua demen ama barang gua yang gede, jadi gua yang tusuk."

"Edan..."

Willy pulang ke rumahnya diantar oleh Narendra, nekad dengan mengendarai mobil yang lebih kecil, duduk di sebelahnya dengan otak kacau. Di dalam benaknya, ia tidak habis berfikir, mengapa Narendra menikmati semua ini kalau ia menautkan cintanya dengan Nabila. Otak Willy seolah baru saja diracuni oleh sperma Narendra, membuatnya tidak mampu mencerna gabungan yang ganjil ini, seorang hetero yang bermain kenikmatan dengan pria, yaitu dirinya. Ia merasa berada di atas angin, serasa telah merengkuh Narendra. Willy sang Ganymed telah bermain api dengan Narendra sang Adonis.

Setibanya di resto, ia berusaha untuk bersikap biasa dihadapan ibunya. Di kamarnya, ia merenung sendiri, memikirkan kejadian paginya. Entah itu di bilang pucuk dicinta ulam tiba atau mendapat durian runtuh atau serasa menggapai bulan, entahlah... Itu membangkitkan fantasi seksualnya secara dasyat, menjadikan Narendra jadi sosok fantasi seksualnya. Setiap kali ia terangsang secara seksual, terpampanglah sosok Adonis di hadapan mata batinnya, merangsang seluruh syaraf- syaraf di otaknya yang memompa berliter- liter darah ke senjatanya, membuat nafsunya berbuih menggelora. Semakin gambaran sang Adonis menjadi nyata dalam imajinasinya, semakin sang Adonis itu mengaduk- aduk isi hatinya.

Sepanjang sore itu Willy hampir tidak mampu mengerjakan apapun. Tugas sekolah tidak ia pikirkan. Ia masih terbius oleh keperkasaan Narendra, fisiknya yang sempurna. Di setiap centi di tubuhnya masih terasa gesekan setiap bagian tubuh Narendra, cengkraman tangannya yang buas masih terasa panas, himpitan tubuh Narendra yang seperti monster meluluh lantahkannya sepanjang pagi itu. Ia hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sore itu. Memejamkan matanya tak bisa. Membuka matanya pun serasa salah. Ia membayangkan Narendra berbaring di sampingnya, mendekapnya, menciumnya, mencumbunya, menindihnya.

"Willy... Bangun... Yuk sholat dulu, makan malem." ibu Reni membangunkan Willy.

'Heh... Udah magrib yah...' guman Willy sambil masih mengantuk.

"Ya mah... Willy udah bangun."

Matanya ingin sekali di rapatkan lagi. Keadaan kamar sudah gelap. Remang- remang cahaya mentari yang baru saja terbenam menyisakan sedikit cahaya, dari balik lubang udara di atas pintu kamar, masuk seberkas cahaya dari ruang makan. Ia menyalakan lampu belajarnya. Suasana kamar yang temaram mulai di terangi cahaya lampu. Ia bangun, keluar dari kamar,

"Asik amat itu tidurnya. Udah magrib tuh, sholat dulu yah."

"Ya mah..."

Setelah sholat dan makan malam bersama ibunya, ia pun harus mengerjakan semua tugas yang siang tadi ia abaikan.

Besoknya, ia datang ke sekolah seperti kebiasaan barunya, 5 menit sebelum bel. Melewati kelas 10.2 ia melihat Narendra sedang merangkul pundak Nabila sambil tertawa, dengan mata dua sejoli itu terkunci satu sama lainnya. Jiwa Willy bergetar saat melewati kedua pasangan itu. Ia tidak tahu apakah ia ingin menangis, ataukah langit yang sedang akan menangisi dirinya, hari itu cuaca mendung setelah seharian kemarin cerah.

2 Sisi Koin 2 Sisi Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang