TIGA

58 2 0
                                    

"Thanks," Kara masih sempat mendengar suara Elma begitu mereka sampai di halaman parkir RS. Pattimura dan bergegas cabut dari mobil Benji. Cewek itu segan mau bilang terima kasih, malu parah. Jadi yang dilakukannya malah langsung melompat dari mobil dan berlari kecil ke dalam rumah sakit seakan hendak mengambil hadiah undian kartu togel.

Dovi menyambut Kara dengan wajah lesu bercampur bingung dan khawatir di kursi tunggu yang terletak di depan kamar Mbak Oli sedang menjalani proses lahirannya. Kara duduk di samping Dovi dan menepuk bahunya untuk memberi dukungan.

"Gimana keadaan Mbak Oli?" tanya Kara hati-hati, merasakan napasnya tersengal-sengal karena berlari. Dia baru ingat eksistensi Elma dan Benji yang lenyap, mungkin sekarang mereka sedang kelimpungan mencarinya. Semoga Elma bisa tahu nomor kamar Mbak Oli, kalau Benji sih biarin aja, sekalian deh Kara berharap Benji langsung pergi. Cewek itu ogah dekat dengan makhluk berjenis kelamin cowok yang namanya Benji itu, dia itu berandal, kelihatan seperti anak nakal dan badung yang sering bikin ulah. Bisa-bisa hidupnya tambah kacau.

Tiba-tiba Kara kangen dengan papanya, sejak keberangkatan Papa berdinas di Surabaya yang artinya sudah empat hari berlalu, dia belum berbicara dengan papanya melalui media elektronik. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan muka menye-menye kangen Papa.

"Kata suster tadi Mbak Oli lagi bukaan berapa gitu, gue lupa dan nggak ngerti. Sekarang Mbak Oli lagi siap-siap," Dovi mengusap wajahnya. "Mas Revan baru perjalanan pulang dari Singapura, Bunda sama Ayah juga otw dari rumah Mbah Putri, keluarga Mbak Sashi liburan ke Bali dan balik besok katanya, terus Axel ada kuliah tambahan. Gue nggak ngerti kenapa kebetulan ini nimpa gue yang nggak ngerti apa-apa soal lahiran,"

Kara tersenyum. Dovi yang konyol bisa berubah jadi sedemikian serius dan khawatir. Namun senyumnya tidak bertahan lama kala Dovi kembali berucap dengan santai,

"Gue tadi sempat telepon nyokap lo juga, katanya dia otw sekarang. Mungkin lima menit lagi,"

Kara melotot, seketika teringat peristiwa semalam yang mengguncang hati kecilnya. Susah payah dia bangun pagi-pagi sekali dan berangkat sekolah dengan perasaan galau demi menghindari mamanya, dan sekarang mereka harus bertemu. Kara belum siap bertemu mamanya lagi, beradu mata dan mulai membicarakan masalah semalam. Semuanya. Namun ia tidak bisa terus menghindar, bukan? Apalagi mereka tinggal seatap, dan mamanya tetap akan jadi orang yang paling berjasa karena telah melahirkannya.

"Gue... ke toilet dulu, mau pipis," Kara membasahi bibir, memaksakan nada suaranya tidak terdengar berat. Dovi hanya mengangguk dan nggak terlalu mencerna ekspresi palsu Kara. Cewek itu lekas bangkit dan berderap ke lift tanpa sepengetahuan Dovi. Dia hanya beralasan, ingin bersembunyi terlebih dahulu dari mamanya.

Usahanya hampir berhasil kalau saja kedua matanya tidak menangkap sosok yang kini sedang bercakap-cakap ringan dengan Elma, agak mengejutkan sobatnya itu dan juga—Kara benci mengakui ada Benji yang masih menunjukkan kepeduliannya, berdiri di sampingnya. Mama ada disana, tersenyum lebar bersama seorang pria dengan wajah yang dalam sekejap langsung dikenali Kara. Pria yang membuatnya harus kena tamparan Mama semalam. Kara meringis, meraba sebelah pipinya bekas tamparan Mama. Cepat-cepat ia bersembunyi di balik tembok lobi. Kemudian gerombolan kecil itu, minus pria yang membuat Kara naik darah karena dia lalu pergi setelah sebelumnya memeluk singkat Mama yang sama sekali nggak keberatan, berjalan melewati lobi dan masuk ke dalam lift.

Kara menghela napas panjang, kepalanya berdenyut. Mamanya sudah kelewatan. Dia harus berbicara pada papanya, nggak peduli resiko yang akan dituainya.

Karantika Kinesvari: Vi, sori gue balik duluan. Kepala gue mendadak pusing. Gue doain bayinya cepet lahir. Kabarin gue klo Mbak Oli udh ngelahirin.

Jari Kara menggeser tombol send, dan BBM untuk Dovi bertanda delive.

MISS CHOCOPIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang