Winter - Arnold 2

77 4 0
                                    

Aku tidak bisa menyalahkan Arnold yang mengirimiku pesan, karena memang aku yang memberikan nomor kepadanya.

To: Arnold
Arnold? Saved.

Entah mengapa itu yang kubalaskan kepadanya.

From: Arnold
Mind to spare your time, tomorrow?

Demi Neptunus, Arnold. Dua minggu lagi kau menikah.

To: Arnold
Busy tomorrow. Maybe next time. Gotta go now, good night!

Aku tahu itu terlihat, yah memaksakan untuk menghentikan surat menyurat elektronik itu. Namun aku tidak ingin menjadi sorotan media dengan judul "Merebut Tunangan Orang, Wanita Ini Ditemukan di Basement dengan Keadaan Mengenaskan". Terkesan horror dan melebih-lebihkan.

Entah mengapa aku menunggu bunyi ponsel untuk mendapatkan balasan good night, atau mungkin sweet dream.

Ting.

From: Arnold
Ok.

Lelaki memang mengerti benar cara menghentikan percakapan.

Atau barangkali wanita lah yang susah untuk dimengerti.

**

"Ya. Oke. Baik, Sir. Ya, bye." Rasa untuk melempar ponselku makin melambung tinggi setelah aku mendapat panggilan dari atasanku.

Segera setelahnya, aku menghadap komputer, dan kembali bergelut dengan angka.

Mengingat posisiku sekarang, aku kembali memandang masa laluku. Di mana aku mengira kesuksesan adalah meraih nilai tinggi, lulus, dan mendapat pekerjaan.

Aku mengira bekerja di depan komputer dengan setelan blus serta kacamata berbingkai hitam adalah impianku selama ini.

Lalu aku dapat menyimpulkan aku salah besar.

Semua yang kuinginkan untuk saat ini adalah kembali ke masa SMA dan mengulang sejarah konyol masa mudaku. Bersama teman-teman, tentu saja.

"Lea!"

"Ya?" Mungkin suaraku terdengar membentak. Namun, aku tidak peduli.

"Seorang temanmu sedang menunggumu di resepsionis." Balas George. "Ia mengatakan kepadaku agar kau segera turun."

"Terima kasih, George."

Sejujurnya aku memikirkan mengenai siapa yang rela datang di musim dingin ini untuk menemuiku. I mean, selama aku bekerja di kantor, tidak ada satu temanku yang mengunjungiku.

Aku mulai berpikir tentang Arnold.

"Hemmingsworth." Panggil orang yang kusangka adalah "temanku".

"Hey." Aku tersenyum tanpa mengenali lawan bicaraku.

"Dari caramu melihatku, kurasa kau melupakanku." Ujarnya sedikit tertawa. Jenis tertawa yang dipaksakan.

"Matt? Ray?" Tebakku asal.

"Tyler." Jawabnya yang sukses membuatku menepuk dahi. Berpura-pura mengerti.

"Ah benar. Tyler. Ya."

"Bercanda. Aku Tony. Kita belum pernah bertemu sebelumnya." Ia tersenyum tipis, dan miring ㅡlebih seperti smirk dibandingkan senyuman yang tulus.

Firasatku buruk.

"Aku adik Arnold." Tambahnya.

Dan firasatku benar.

**

"Kau pasti sudah tahu kakakku akan menikah dua minggu lagi." Ia memulai percakapan.

"Ya. Tentu saja." Persetan dengan cafè yang kudatangi untuk kesekian kalinya.

"Dan, yah, aku tahu kedekatanmu dengan kakakku." Ia mengangguk sendiri.

Aku mengerutkan alis dan kuharap Tony, atau siapalah itu tidak menyadarinya. "Lalu?"

"Jauhi dia."

"Apa?"

"Jauhi. Dia."

Aku mulai berpikir hal yang macam-macam, bahwa adiknya merupakan adik yang protektif, atau bahkan ia menyukai kakaknya sendiri? Siapa tahu?

Oke kuputuskan untuk menghentikan imajinasiku.

Eh, jangan-jangan tunangan Arnold adalah adiknya sendiri? Memikirkannya saja membuatku mual.

"Kurasa aku tidak memiliki alasan untuk menjauhinya?" Tanyaku dengan kesan memberi pernyataan.

"Apa kau bodoh atau semacamnya?" Nadanya mulai meninggi dan aku tidak suka itu.

"Biar kuterangkan padamu Tony, Tyler, Paul, Rick, siapapun itu. Aku dan Arnold adalah teman SMA. Kami bertemu kemarin. Apakah itu merupakan masalah?"

Menurut teman-temanku, aku adalah orang yang sabar. Aku tidak mengerti dari segi mana mereka melihatku sebagai orang seperti itu.

"Tentu saja, Miss. Setiap pertemuan dengan teman SMA akan menimbulkan sebuah perselingkuhan."

Cih, telenovela lover.

"Oke, aku memahami perasaanmu, adik. Aku akan menjauhinya. Terserahlah." Kataku pada akhirnya. Namun sebenarnya aku bukan orang yang mudah mengalah. "Sekarang pulanglah temui kakakmu. Katakan padanya tidak usah menghubungiku lagi."

"Tidak perlu sampai segitunya, Tony." Sahut suara lain yang seharusnya tidak ikut dalam percakapan.

"AㅡArnold?" Kami berdua ㅡaku dan Tony, ternganga hampir bersamaan.

Entah waktunyalah yang tepat, atau Arnold memang sengaja memahami topikku dengan Tony agar ia dapat keluar di saat yang pas.

Kau tahu, seperti dalam drama.

Kurasa pilihan kedualah yang benar.

"Urusi urusanmu sendiri, Dik," Lanjut Arnold. "Kurasa umurku sudah cukup banyak untuk diatur oleh sang adik." Ia mengedikkan bahu.

"Tapi, Arrㅡ."

"Sudahlah, kau pulang saja."

Terdiam sejenak, Tony menarik dan menghembuskan nafasnya besar. Tanpa ba-bi-bu, ia berbalik menuju pintu keluar cafè dan berniat untuk membeli ice cream, mungkin.

"Kau," Tudingku kepada Arnold begitu Tony menghilang dari pandangan mata. "Sedang apa di sini?"

"Berjalan-jalan." Jawabnya.

"Haha, benarkah?"

"Untuk menemuimu, tentu saja."

"Kau bahkan tidak tahu bahwa aku di café." Nyataku mencibir.

"Aku memiliki banyak mata-mata." Ia tersenyum.

Manis. Lebih dari cotton candy.

"Ya, terserah."

Dan kami terdiam, menyelami pikiran masing-masing.

**

Hey, guys! Been busy for times. School kills me, honestly. 미치겠당~ ㅠㅠ 진짜요오오오오옹

Anyways, gonna update as soon as possible! I know this part is kind of menggantung.

And I'm gonna use "Arnold 3, 4, 5, etc" for the title in frw next chapters hehehe.

This story is such a boredom but I will do my best, still! <3 thank you for reading so far and please comment!

4 SeasonsWhere stories live. Discover now