Winter - Pertemuan Pertama

109 5 0
                                    

"Astaga, mataku."

Aku mengucek mataku, perih. Kurasa aku baru saja melewati 4 jam di depan komputer bergelut dengan angka.

"Beristirahatlah, Lea. Tidak baik untuk kesehatan matamu."

George menyodorkan segelas kopi panas lalu meletakkannya di meja kerjaku setelah sekian detik aku tidak mengambilnya.

"Jangan melamun." Ujarnya lagi.

"Thanks, George." Balasku singkat.

Drrrt... drrrt...

"Ya, ini Lea Hemmingsworth." Jawabku menempelkan ponsel di telinga.

"Lea..." Terdengar suara memanggil namaku dari sana. Sedikit terdapat kesan horror dari caranya memanggilku.

"Ya, ini siapa?"

"Arnold."

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku lebih memilih untuk memasukkan data penjualan ke komputer dibanding menjawab panggilan dari telepon.

**

Udara di musim dingin memang tak dapat dikalahkan. Aku menyesal menuruti permintaan Arnold untuk bertemu di café seberang.

Meskipun hanya perlu berjalan sekitar 10 meter, aku tetap akan meminta ganti rugi padanya jika tulang rusukku mengering -karena dingin.

Aku memasuki café, café yang baru saja kutinggalkan 6 jam lalu, dan kini aku berjumpa lagi dengan bartender yang menatapku seakan mengatakan bahwa aku tidak boleh masuk lagi karena aku baru saja dari situ. Aku tidak peduli.

Sekarang tugasku adalah mencari Arnold dan... ketemu. Aku berjalan ke arahnya, ia memunggungiku, tetapi aku tahu itu ia.

Arnold memiliki punggung kokoh dan tegap, cara duduknya dari SMA memang tidak berubah. Aku masih tidak percaya akan bertemu dengannya.

Bukankan ini sebuah kebetulan -err, aku tidak suka memakai kata serendipity karena terlihat terlalu... dramatis, baru saja aku dan Ethan membicarakan Arnold. Dan di café yang sama, aku bertemu dengannya, dengan Arnold.

"Hemmingsworth!" Dan kurasakan wajahku memerah karena tertangkap memandangi punggungnya sejak tadi, tidak langsung menghampirinya.

"A -Arnold?" Tanyaku memastikan meskipun aku tahu pasti itu dia.

"Oh, Lea. Apa kabarmu?" Ia memelukku. Tubuhku terasa hangat di udara sedingin ini. Atau mungkin memang café ini memiliki pemanas. Entahlah.

"Aku baik. Seperti yang kau lihat. Bagaimana kabarmu? Kurasa sudah sangat lama kita tidak bertemu."

Aku tersenyum, dan kuharap Arnold tidak menyadari keterpaksaanku menarik kedua ujung bibirku.

"Aku sangat senang bertemu lagi denganmu," Ia tidak menjawab pertanyaanku.

"Kupikir kau sibuk, jadi aku sangat ragu-ragu untuk menelfonmu."

Sangat terlihat jelas kegugupannya, dari caranya menggigit bibir.

Seharusnya kau tidak menelfon.

"Ah- tidak. Kau tidak menganggu. Sungguh."

Aku memilih untuk duduk daripada berdiri berhadap-hadapan dengannya, berharap pertemuan ini akan berakhir segera.

Arnold duduk dan memberiku buku menu. Tanpa melihatnya terlebih dahulu, aku memanggil waitress terdekat dan memesan caramel macchiato. Aku tidak ingin memesan capuccino untuk yang kedua kalinya. Setelah pelayan itu pergi, Arnold memulai pembicaraannya.

"Jadi... apa yang kaukerjakan sekarang?" Basa-basi.

"Sekretaris. Di gedung depan." Aku menunjuk tempat kerjaku tanpa menoleh. "Kau?"

"Freelancer. Aku memotret semua yang kuanggap bagus." Lantas ia mengeluarkan bridge cameranya dan memotrektu.

"Kau tahu, kau bisa terkena pasal karena mengambil gambar orang sembarangan tanpa meminta izinnya." Ujarku.

"Bercanda." Arnold terlihat syok.

"Memang." Jawabku sedikit tersenyum.

Kurasa senyumku menular kepadanya, karena ia tersenyum lebar dan memajukan tangannya, mengarahkannya ke rambutku.

Namun tangannya berhenti di udara, menggenggamnya dan menariknya kembali. Ia tersenyum canggung, begitu juga aku.

Beberapa waktu berlalu, dan terasa sangat lama tanpa pembicaraan antara aku dan Arnold.

"Kita tidak seperti dulu, Lea. Kau tahu itu. Banyak hal yang berubah, bukan?" Ia bertanya.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

Dan sore yang dingin itu berubah menjadi sore yang suram, dilanjutkan dengan obrolan canggung yang hanya sekedar basa-basi. Lalu kami pulang menyelami pikiran kami masing-masing.

4 SeasonsWhere stories live. Discover now