20:00, 27 Juli 2014
Gerimis kecil membungkus kota ini. Seperti biasa layaknya malam-malam lalu. Tidak cukup membuat suhu ruangan turun, hanya membuat kakiku dibalik selimut terasa dingin.
Aku menghela napas perlahan, menatap kosong beberapa cap putih perawat yang hilir mudik dibalik pintu.
Aku meraih pinggir tempat tidur, berjalan tertatih menuju jendela dengan bertumpu pada standar infus. Biasanya aku memanggil Suster Zelova, untuk membantuku duduk di kursi roda.
Menatap damai kaca jendela yang berembun. Dingin seketika menyergap dari ujung jari naik keatas bahuku, lalu menerobos masuk ke hatiku.
Waktuku hampir habis.
Aku rasa ia takkan pernah datang.
Aku benci percaya pada orang lain.***
Dari lantai tujuh rumah sakit terbesar di kota ini, kalian bisa melihat dengan leluasa jalan besar beserta puluhan ruko diselingi gerai makanan, atau melihat ribuan lampu mobil yang terlihat kerlap kerlip akibat gerimis.
Sebuah mobil putih menepi, seorang lelaki keluar dan berlari ke sisi kanan, memayungi wanita yang tersenyum mesra menatap lelaki tersebut. Tersenyum bahagia berjalan cepat sembari merengkuh si wanita, masuk ke salah satu bangunan, hilang diantara puluhan pejalan kaki lainnya.
Atau kalian bisa bebas menatap papan reklame yang terkadang menghibur di seberang rumah sakit.
Kota ini sudah begitu berbeda dengan 3 tahun lalu. Meski terkesan lambat pembangunannya.
Tiga tahun lamanya aku menatap dibalik jendela. Saksi hidup revolusi bangunan sekitar rumah sakit. Semenjak stasiun televisi diujung sana berlantai tiga hingga berlantai tujuh.
Aku menggigit bibir menahan nyeri dari luka pemasangan alat pacu jantung, menatap risau perban yang mulai basah oleh darah.
***
Suster Zelova, perawat berhidung mancung dengan mata biru itu datang cepat setelah aku menekan belnya. Cekatan mengganti perban dan berwajah resah menatap jahitan yang tak kunjung menyatu. Tak bosan menasehatiku untuk menekan bel sehingga ia bisa membantuku duduk di kursi roda jika ingin menatap keluar jendela.
Aku tahu ia baik, ia selalu tersenyum ramah menyapa setiap pasien dan rekannya sepanjang lorong sembari mendorong kursi rodaku menuju kamar kecil. Juga cerita motivasinya yang terkadang membuatku berkaca-kaca ketika mengganti infus milikku.
***
Suster Zelova mengangkat telepon, aku tahu pasti, itu pasti ayah. Ia menyodorkan gagang telepon padaku, aku menolak berbicara dengannya. Aku ingin sendiri, menatap kosong rinai gerimis yang mulai membentuk hujan.
***
Kalian tahu bagaimana rasanya dihadapkan pada dua keputusan yang sama-sama berat?Dan kalian tahu pada akhirnya kedua pilihan itu bermuara pada sesuatu yang buruk.
Mungkin kalian menganggapku menyedihkan, di umur yang seharusnya sedang bersenang-senang berkawan, aku terbaring di rumah sakit, menahan nyeri dan selalu menenggak obat setiap saat. Bukan hanya kalian yang berpikir seperti itu. Aku menganggap hidupku menyedihkan, bahkan membencinya.