Polaris : Awal dari Pertemuan

207 18 5
                                    

10:00, 28 Agustus 2014

Ayah mengambil ijazahku siang ini, dengan nilai yang termasuk sepuluh besar itu. Suster Zelova menceritakan yang ia dengar dari telepon tadi. Menatapku bangga, kembali menyodorkan empat buah pil yang sama seperti dua jam yang lalu.

"Kau cerdas" Ia berkata saat aku minum. Berbinar menatapku.

"Tetapi jika aku sakit seperti ini, tak ada gunanya menjadi cerdas. Pada akhirnya aku akan mati" Malas menatap Suster Zelova, menyerahkan gelas tanpa menatapnya.

"Semua orang mempunyai bebannya masing-masing, sebagian dibebankan oleh kenyataan pahit garis masa lalu, beberapa dibebankan oleh kekacauan diri sendiri. Tergantung bagaimana kau mengubah sebuah kegagalan menjadi loncatan keberhasilan" Mata Suster Zelova tentram, tak bosan kembali menasehatiku.

"Aku ingin bertemu mama" Aku tak mengindahkannya. Memilih mencari topik lain.

"Ayahmu bilang akan menjemputmu sore ini" Ia membetulkan posisiku, kembali berbaring.

"Apa ada seseorang yang datang mencariku?"

"Mungkin dia tak tahu dimana kau dirawat" Suster Zelova berkata sembari mengecek infusku.

Seseorang menangis, dan aku tak akan pernah heran. Pasien yang berada di ruangan ini pada akhirnya akan berakhir seperti itu.

Seseorang yang menggantung stetoskop di lehernya menghampiri Suster Zelova, mengajaknya keluar dengan isyarat.

Sekilas aku melihatnya.
Seseorang yang ditutupi kain hingga kepala didorong keluar oleh beberapa suster. Diikuti oleh seorang ibu paruh baya yang menangis hebat.

***

Awalnya aku biasa saja. Bukan salah satu dari pasien tetap bangsal lantai tujuh itu.

Begitu menikmati masa SMP-ku, riang mengobrol dengan siapapun.

Pada akhir tahun ajaran, mendekati ujian, entah aku sering mimisan. Namun kuanggap normal, karena sebelumnya Sael menjadikan hidungku sasaran bola basketnya.

Terlalu lama jika itu akibat terbentur bola, dengan darah yang kurasa makin banyak, hingga merasa pusing.

Orangtuaku sepakat membawaku ke rumah sakit daerah kami tepat setelah ujian nasional dilaksanakan. Dokter itu berwajah mendung setelah menyerahkan surat rujukan untuk datang ke rumah sakit yang lebih besar, tak bosan berkata secepatnya, menatapku iba saat melangkah keluar tempat prakteknya.

Mama menangis hebat setelah membawaku ke rumah sakit untuk yang kedua kalinya, lama dan sedih, memelukku sangat erat seakan aku akan pergi jauh. Hanya mimisan setiap waktu, apa salahnya?

Dan kurasa aku salah, jika menganggapnya tak masalah sekalipun.

Dokter Lukman, pria berstetoskop yang sebelumnya menghampiri Suster Zelova, satu-satunya orang yang akhirnya menceritakan penyakit sialan ini berkata, meskipun tak ada obatnya, ia akan berusaha sebaik mungkin.

Semua dokter akan bilang begitu bukan? Maksudku, dengan berkata seperti barusan mungkin bagi pasien adalah sesuatu yang menenangkan mereka.

Tapi, dengan pernyataannya bahwa tak ada obat, tak akan sembuh, dan hanya bisa memperlambat, tentu saja dengan drastis menurunkan semangat hidupku. Memperlambat laju dribel bola basket di class meet terakhir, membiarkan musuh memasukkan bola berkali-kali.

Di bangsal tujuh tempatku dirawat, ayah sedikit berargumen dengan mama tentang sekolahku nanti. Beliau akan memasukkanku ke sekolah asrama. Dan tentu saja aku tak menyukai usulnya.

Keputusan ayah diikuti dengan herannya wali kelas SMP ku, dengan nilai seperti itu, sekolah manapun akan senang hati menampungku.

Tapi, akhirnya sekarang ini aku didepan asrama, menenteng koper dikanan dan kiri, berat hati melangkah.

"Jangan lupa obatmu, ingat dua jam sekali. Tak boleh telat. Dan ingat, jangan terlalu sering meminum pereda rasa sakit, atau pembeku darah. Itu akan membuat efek obat pada tubuhmu menurun, kau akan sering sakit, itu normal. Jangan berolah raga juga jangan terluka" Ia tahu aku ceroboh. Dokter Lukman ikut mengantarku, menepuk pelan bahuku, menyerahkan secarik kertas berisi jadwal minum obat.

"Letakkan tabung pil itu dalam jangkauanmu, atau penyamaranmu terbongkar" Ia meremas tanganku.

Mama tak berhenti menatapku. Menyeka sudut matanya, ia terlihat berat melepasku. Ayah tak begitu berbeda dengan mama. Ekspresinya tak dapat kujelaskan.

"Kalian berdua harus memarahiku jika aku mengambil rapor nanti karena akan banyak kehadiranku yang kacau" aku berkata sekali lagi pada mereka.

"Buatlah seperti aku malas sekolah, dan hobi berpura-pura sakit" tertawa getir lalu memeluk mama.

"Dokter akan datang setiap satu minggu sekali" Ayah menunjuk Dokter Lukman.

"Jangan, itu terlalu sering. Datang dua minggu sekali" Tak boleh ada yang curiga.

"Jika ada yang tanya mengapa membawa banyak obat, bilang saja ibumu protektif" Dokter tiga puluhan itu tertawa menunjuk pouch polkadot berisi obatku.

Aku mengangguk mantap. Menatap orangtuaku terakhir kalinya sebelum masuk ke dalam asrama.

Asrama ini tidak terlalu luas seperti bayanganku. Yang terbagi dua di kiri dan kanannya.

Dan disini begitu berantakan.

Aku berdiri di depan lemariku, memindahkan isi tasnya. Beberapa anak perempuan ada disini. Mengobrol.

Beberapa terlihat akrab. Mungkin kenalan dari SMP.

"Hei. Aku yang akan tidur di bawahmu. Namaku Xall" lelaki berambut agak jarang itu mengulurkan tangannya. Menenteng beberapa tumpuk baju ditangan satunya.

"Ikhsan. Aku di atasmu" Menyambut uluran tangannya.

"Hidungmu berdarah kawan" ia menunjuk hidungku, menawarkan kotak tisunya.

Tersentak melihat jam. Harusnya lima menit sebelumnya kuminum.

"Terima Kasih" menarik beberapa lembar tisu. Membuang pandangan ke koper-koper bawaanku.

Ia kembali berkutat dengan lemarinya.

Kuambil pil dari kantungku diam-diam. Meraih botol mineral besarku lalu meneguknya.

***

Suster Zelova meletakkan parcel buah berisi apel dan jeruk di meja, tersenyum sebelum akhirnya mengecek kembali infusku.

"Kemarin siapa yang pergi?" Aku tak tahu siapa yang kemarin akhirnya pergi, karena wajahnya sudah ditutup kain.

"Roe. Orangtuanya mungkin sudah menguburnya" Suster Zelova terlihat enggan bercerita. Meraih tangan kananku.

"Aku tahu kau kuat. Dan akan terus hidup"

"Ya, semoga" Menghela napas panjang.

Suster bermata biru itu mengelus lembut pundakku, tersenyum kembali sebelum akhirnya melangkah keluar. Sepertinya ia sedang buru-buru.

Kalian harus tahu.
Menunggu itu menyebalkan.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang