Part 2

153 8 0
                                    

Liana POV

Drrttt...Drrrttttt...

Aku menghela napas kasar sembari melirik ponselku. Aku berdecak kesal melihat nama yang muncul di layar ponselku.

Kenapa dia menghubungiku?

Sambil mengedarkan pandangan ke arah yang lain aku mengabaikan panggilan itu. Tak lama kemudian layar ponselku pun kembali menyala serta bordering dengan hebohnya. Dan nama itu kembali muncul di layar ponselku.
Dengan malas aku menekan tombol diall up.

Aku menjauhkan ponselku dari telingaku setelah aku menekan tombol dial up.

"Annn...!!!!!!!!" teriaknya dengan suara cemprengnya.

Nah, sudah kuduga pasti ini akan terjadi.

"Ngapain pake teriak-teriak segala? kayak kuping gue udah gangguan aja, pelanan dikit napa Del!" Teriakku tak kalah kerasnya dari ucapannya.

"Jangan dimasukin hati napa, sensi amat lo akhir-akhir ini.. PMS lo?" kekehnya di seberang sana.

Aku pun memutar bola mataku. Sebal dengan sikapnya yang sedari dulu tak pernah berubah.

Ya, dia adalah Adellia Guiava. Seorang gadis blasteran Australia dan Indonesia yang juga sebagai sahabat karibku sejak kecil.

Awalnya aku dan Adellia adalah hanya sebatas teman karena rumah kami bersebelahan tapi setelah kami merasa cocok maka aku mulai bersahabat dengannya, Dulu bukan hanya aku dan Adellia saja yang bersahabat bahkan orang tua kami pun teman akrab.
Dunia memang sesempit daun kelor. Ya itu memang benar.

Adellia dilahirkan di negeri kanguru, tapi karena papanya harus melanjutkan pekerjaan bisnisnya yang ada di Indonesia akhirnya mereka sekeluarga menetap di Indonesia.
Adellia adalah gadis yang sangat cantik, badannya yang tinggi dan ramping, rambutnya hitam legam pendek sebahu, bahkan kalau boleh aku buka suara, aku sangat mengagumi manik mata miliknya. Mata itu berwarna hijau terang yang pasti akan menghipnotis semua orang agar tergila-gila kepadanya. Tapi yang pasti dia adalah bukan gadis manis yang mungkin saat ini ada dipikiran kalian.

Dia adalah gadis tomboy.

"Annn..??? lo masih disana kan?? Lo masih nafas gak?" oloknya diujung sana.

Duh aku jadi lupa sama keberadaan sahabatku yang satu ini.

"Iya, gue masih ada nih" ucapku sambil mencubit pelan pipiku.

Terdengar kekehan lagi disebelah sana.

"Ann.." ucapnya lirih.

"Hmmm.."timpalku pelan.

"Lo... baik-baik aja kan?" Tanyanya lagi.
Aku mendengar nada ke khawatiran dari suaranya.

Aku tak langsung menjawab. Tapi kembali merenung dan menatap secarik kertas merah maroon itu.

Aku tidak baik-baik saja Del.

Air mataku mulai menggenang di pelupuk mataku. Tak terasa aku kembali meneteskan butir-butir air mata. Air mata itu kembali membuka luka yang ada di dalam hatiku. Luka itu menganga dengan lebarnya dan perih yang sedemikian hebat kurasakan saat ini.
Sendiri.

Aku sedikit berdeham mencoba menetralkan kembali suaraku supaya sahabatku yang satu ini tidak curiga dengan keadaanku saat ini.

"Hahaha.. Lah lo pikir gue kenapa-napa? I'am fine Del.." Dustaku sambil mencoba memaksakan seulas senyum dari sini.

"Ann, lo gak bisa ngebohongin satu orang disini ADELLIA GUIAVA " ucapnya penuh penekanan pada namanya sendiri.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas dengan keras dan kasar.

"Asal lo tau ya Ann.. gue itu udah jadi sahabat lo sejak kita lahir..." belum selesai bicara langsung kusela

"Sejak kecil" Ujarku membenarkan.

"Terserah deh ya.. mau sejak kecil kek, mau sejak bayi kek.. sama aja, jadi lo gak usah dusta deh sama gue.. Ann, gue itu udah tau elo luar dalam tau gak, masa lo tega gak mau ngebagi beban lo sama sahabat lo sendiri. Emang gue pernah ya buka aib lo sama orang lain?" Timpalnya lagi, nada kesal tambak dalam gaya bicaranya.

"Gak gitu Del..." aku menggantungkan kalimatku.

"Gue mau kok ngebagi beban gue sama lo, tapi bukan sekarang Del waktunya.. waktunya gak tepat" Ucapku menahan sesak yang sedari tadi membayangi dadaku.

Ya tuhan.

"Gue tau elo sekarang lagi gak baik-baik aja" Titahnya.

"Di rumah elo sekarang ada nyokap sama bokap lo gak?" Tanyanya dengan nada berharap.

Tuh kan pasti dia ngerencanain sesuatu hal yang bakal bikin hidup gue jungkir balik dengan sejuta pertanyaan yang ada di kepala cantinya.

"Gak ada Del, kenapa emang?" Tanyaku pura-pura.
Padahal aku sudah tau dia pasti akan segera mendatangi rumahku untuk menjalankan rencananya.

"Nahhh kebetulan nih.. gue boleh main kan ke rumah lo? Bosen nih di rumah.. Joe rese mulu kerjaanya gue gak bias konsentrasi main gitar nihh ck.." Ucapnya pura-pura sebal.

Dasar gadis licik. Hahaha, apakah aku baru saja mengatainya licik?

Mau tak mau pun aku mengiyakan permintaannya. Kalaupun aku menolak dia pasti akan melontarkan beribu-ribu alasan lagi supaya bisa kabur dari rumahnya.

"Terserah elo Del.. kalaupun gue nolak gak ngebolehin elo dateng ke rumah gue, lo mungkin bakalan ngebangunin tetangga gue dengan suara cempreng lo itu dan mungkin lebih parahnya lagi, lo bakal ngebakar rumah gue kalau gue gak cepet-cepet ngebukain pintu buat lo! Bisa-bisa nyokap bokap gue kaget ngeliat rumah mereka cuma tinggal nyisain abu aja" Titahku panjang lebar padanya.

"Siapp.. gue bakal dateng dalam waktu setengah jam" ucapnya girang dan penuh semangat.

"Iya udah, buruan gih kesini" perintahku padanya.

Setelah menucapkan salam perpisahan dan memutuskan panggilan telepon. Aku meletakkan kembali ponselku di atas meja.

Aku kembali menatap nanar kepada secarik kertas itu. Air mata kembali menetes.

Tetes demi tetes membasahi pipiku. Aku menangis dalam diam menahan semuanya sendiri.

Ya tuhan, kenapa cobaan yang kau berikan padaku begitu berat?

Tak bisakah aku memutar kembali waktu?





Liana AlexanderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang