Bagian 14

2.1K 129 0
                                    

Sinar mentari yang memaksa masuk membuatku dengan cepat menutup mata dengan telapak tangan. Perlahan kubuka kedua mataku menyesuaikan silau cahaya yang masuk dengan mengedip-ngedipkan mata.

"Tuan putri sudah bangun ternyata"

Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi mengabaikan ucapan Rio barusan.

"Kakak tunggu di bawah ya.." teriaknya yang hanya kujawabi dengan gumaman pelan yang aku yakini tak didengarnya.

Beberapa menit membersihkan diri. Menyegarkan otak juga pikiran dari masalah yang datang silih berganti. Aku menghampiri Rio yang telah duduk manis di meja makan. Kududukkan tubuhku di depannya.

"Siapa yang masak?" Tanyaku heran melihat dua piring nasi goreng cantik tertata rapi di meja. Setahuku laki-laki ini tak punya keahlian memasak.

"Sandra tadi kesini, tapi pulang lagi. Ada urusan penting katanya" jawabnya yang lagi-lagi kujawabi dengan gumaman pelan.

Sandra, sahabat yang sudah mengenalku luar dan dalam. Mengerti akan sifat dan sikapku. Tapi itu dulu, karena sekarang dia lebih mempercayai sahabat yang dikenalnya empat tahun lalu. Dan menjadikanku sebagai musuhnya.

"Hey, kakak berangkat dulu. Kalau kamu mau jalan-jalan telpon kakak, biar kakak antar" pesannya sebelum meninggalkanku.

Kevin, dimana kamu. Mengapa sampai detik ini belum juga menghubungiku. Aku butuh kamu. Aku rindu.

Deringan ponsel hampir saja membuatku terjungkal. Gila saja, hanya orang tuli yang mengatur volume dengan kencang seperti itu. Sambil menggerutu aku mendekati meja tempat ponsel sialan itu berteriak-teriak. Kurasa Rio lupa membawa benda ini.

Sandra Calling

Ku geser layar berwarna hijau itu.

"Sayang, aku sudah sampai di depan apartemen kamu nih" suara lembut Sandra menyapa indra pendengarku.

Aku gelagapan. Menyesal sudah mengangkat telpon dari tunangan kakakku itu.

"Hallo, Rio kenapa kamu diam saja. Buka pintunya dong" kutekan tombol merah dengan cepat. Apa yang harus kulakukan sekarang. Membuka pintu dan menemuinya atau berdiam diri dikamar mengabaikan keberadaannya. Ugh, bingung sekali.

Merasa berjalan mondar mandir tak akan menemui jalan keluar akhirnya aku membuka pintu perlahan. Aku meringis melihat raut terkejut yang ditampilkan Sandra berubah menjadi ekspresi marah.

Tekunjuknya mengarah padaku dengan wajah merah padam "jadi lo juga selingkuhan tunangan gue? Kurang ajar, berapa lo jual tubuh lo sama Kevin dan tunangan gue? Berapa?!"

Emosiku tersulut. Aku sungguh tak mengira mulut sahabat lamaku menjadi bertambah pedas. Pikirannya sungguh dangkal "gue bukan sahabat lo yang doyan merayu laki-laki mapan. Pikirkan dulu sebelum ucapan lo menambah rumit semuanya" aku berjalan masuk ke dalam. Memijit pelan dahiku yang terasa berputar.

Sebuah tarikan di bahu membuatku terpaksa membalikkan badan. Tamparan keras mendarat di pipi kiriku "jalang. Dasar teman tidak tau diri. Kalau lo bukan simpanan Rio terus apa? Sudah jelas lo tinggal disini."

Aku menatapnya tajam. Beginikah sifat asli wanita yang kusebut sahabat. Tak pernah ku kira "tamparan ini bahkan tidak lebih sakit dari apa yang lo lakuin ke gue beberapa bulan lalu." Air mata membasahi pipi seiring dengan ingatan tiga bulan lalu.

"Seharusnya gue yang ngelakuin ini ke elo, memaki lalu menampar lo sampai lo tau betapa sakitnya hati gue melihat laki-laki yang saat itu masih berstatus kekasih gue berpelukan sama lo." Sambungku sambil terus menatapnya dengan mata sembab.

"Apa maksud lo?"

Aku tertawa disela tangisku. Tersenyum sinis padanya yang menatapku horor "Rio, tunangan yang lo cintai itu mantan kekasih gue yang merangkap sebagai kakak gue"

"Lo bercanda kan Ri?!" Aku tersenyum mengejek mendengar ucapannya yang lebih mirip dengan jeritan tak percaya.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai membuat kami terdiam. Bersamaan menoleh ke asal suara. Rio menghampiri, berdiri tegap sambil menatap kami satu persatu. Aku meringis saat tangan besarnya menyentuh pipiku yang terkena tamparan Sandra tadi.

Tanpa berkata tubuhnya berbalik menatap tunangannya yang hanya berdiri kaku "kamu yang melakukannya?" Suaranya membuatku merinding.

"JAWAB AKU SANDRA!" Teriaknya mengisi seluruh ruangan.

Sandra mengangkat kepalanya dengan berani menatap Rio yang sedang di kelilingi atmosfer menyeramkan "iya, aku yang melakukannya. Berapa Rio? Berapa harga yang dia tawarkan sampai membuatmu membawanya kemari? Berapa Rio? BERAPA!" Aku hanya terdiam. Menyaksikan perdebatan mereka.

Rio mencengkram bahu tunangannya "dengar, Rika adalah adikku. Wajar saja kalau dia tinggal disini. Ini juga miliknya"

"Adik?" Pertanyaan bodoh dilontarkan Sandra.

Kuputar bola mataku. Menatap seorang wanita yang berdiri tak jauh dari kami. Emosi yang awalnya menyurut kini kembali naik ke permukaan. Wanita itulah awal dari semua masalahku.

Kulangkahkan kakiku mendekatinya. Entah apa salahnya aku sampai membuatnya membenciku dan mencelakiku sampai membuatku lupa ingatan.

"Dengar Via, apapun alasan yang membuatmu membenciku jangan libatkan sahabat dekatku. Jangan libatkan mereka. Selesaikan semuanya denganku" bibirku bergetar saat mengucapkan kalimat itu.

Matanya melirik pasangan dibelakang yang terdiam mendengar suaraku "apa maksudmu Rika? Aku sama sekali tidak mengerti" ucapnya membuatku serasa ingin mencakarnya.

"Kamu.." jariku menunjuk wajahnya "kamu yang mencelakaiku hingga membuatku koma dan amnesia. Kamu orangnya" ujarku berapi-api

"Dengar Rika, aku tidak tau apa yang kamu bicarakan. Ak-aku.."

"Rika, kecelakaan itu murni karena kelalaian pihak taksi. Bukan karena Via atau siapapun" bola mataku beralih menatap Rio yang kini ada di sebelahku. Aku tidak mungkin salah lihat, dan Friska tidak mungkin salah memberikan informasi semalam. Itu tidak mungkin.

"Sudahlah. Kita sudahi saja perselisihan ini. Lebih baik kalian bersiap dan kita makan siang diluar" tegas Rio menatap kami satu persatu.

Dalam diam aku terus berpikir. Friska adalah teman dekatku waktu kuliah yang berprofesi sebagai mata-mata. Dia orang terpercaya, tidak mungkin dia salah memberikan informasi itu.

"Setelah ku selidiki, kecelakaan itu bukan karena kelalaian supir taksi melainkan ada seseorang yang mencoba mencelakaimu Ri."

Rika's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang