Dia, lelaki yang telah menghancurkan hidupku juga hidup keluargaku. Pertama, ia telah membuat perusahaan keluargaku mengalami kebangkrutan. Dia menggagalkan proyek besar yang dimenangkan ayahku dan mengambil alih proyek tersebut untuk keuntungannya. Ia juga membuat keluarga kami harus menjual hampir semua asset demi membayar kerugian juga penalti akibat proyek yang gagal dijalankan.
Namun ada alasan kedua dan hal ini membuatku sangat membencinya sampai kapanpun. Lelaki itu telah menghilangkan nyawa adikku yang baru berumur 13 tahun. Aku tahu itu kecelakaan, tapi aku sangat yakin adikku tidak melakukan kesalahan hingga dapat menghilangkan nyawanya sendiri.
Dan alasan ketiga yang membuatku tidak habis pikir, ada orang setidak malu dirinya hidup di dunia ini. Dengan santainya tanpa merasa bersalah pada keluargaku, ia meminta kepada keluargaku untuk menikahi ku dan memberikan penghidupan yang layak untuk kami semua. Dia pun membeli kembali rumah yang telah kami jual untuk kami tempati kembali.
Mama dan papa ku awalnya menolak, ia tidak mau anak perempuan satu-satunya dinikahkan dengan lelaki yang sudah menghancurkan hidup kami semua. Tetapi entah mengapa, kedua orang tuaku akhirnya setuju dan meminta ku untuk menikah dengannya. Bahkan orang tuaku pun bersikap sangat baik terhadap lelaki yang aku anggap sebagai penghancur.
***
Dari semua hari yang telah aku lalui. Aku dapat mengclaim bahwa hari ini adalah hari yang sangat aku benci. Hari di mana aku harus menikah dengannya. Kalau bukan karena tidak ingin membuat orang tuaku kecewa, aku tidak akan sudi menikah dengannya. Menikah dengan orang tidak aku kenal dan yang ku tahu membuat duniaku jungkir balik.
Ia mengatakan kepada orangtua ku bahwa ia membebaskan aku untuk tinggal dimanapun. Tentu saja, aku tidak ingin tinggal dengannya. Melihat wajahnya saja aku muak, bagaimana bisa aku menghabiskan waktu untuk tinggal berdua dengannya. Namun, herannya, kenapa lelaki itu tidak memaksa aku tinggal dengannya sehingga dengan mudah ia dapat menjadikan ku pembantunya?
aku tidak peduli, selagi itu tidak menyusahkanku dan membuatku tertekan tiap harinya karena harus melihat dia.
Beberapa sahabat datang ke pernikahanku, tidak banyak. Mereka yang pertama kali tahu tentang kebangkrutan usaha papa dan juga rencana pernikahan ini, tentu saja mereka prihatin dengan keadaan kami.
Tapi demi Tuhan, aku sangat senang memiliki sahabat seperti mereka yang selalu ada bukan hanya saat aku senang tetapi juga saat aku sedang dalam keadaan sesusah apapun. Mereka ada untuk terus menyemangati ku.
Chika, Alita dan Wina, tiga wanita yang sudah duduk di bangku tamu dan memerhatikan ku dengan tatapan memberi semangat dari awal aku memberitahu mereka tentang apa yang terjadi padaku dan keluargaku. Mereka temanku sejak di bangku SMA dan kami selalu bersama hingga kuliah walau kami tidak di jurusan yang sama.
Aku mendengarnya mengucapkan akad dengan suara yang tegas dan tenang. Kenapa semua ini terjadi padaku? Kenapa semuanya terasa sangat tidak adil. Aku bahkan tidak mengetahui apapun mengenai orang yang sekarang sudah resmi jadi suamiku. Selain dia penyebab kebangkrutan perusahaan papa dan kematian Orion.
Lelaki ini sangat tenang, seperti tidak ada beban sama sekali yang ditanggungnya. Ia terus berada di sisiku sepanjang acara. Tidak membiarkanku jauh darinya, walaupun aku sudah berusaha menjaga jarak darinya.
Pernikahan kami tidak dirayakan besar-besaran. Hanya ada ayah dan ibuku juga sahabat dan beberapa kerabat dekat. Aku tidak peduli dengan keluarganya dan aku tidak mau tahu tentang itu. Bahwa di hari penting bagi anaknya tidak ada satupun dari pihaknya yang datang. Ah ada satu, Pamannya. Itupun langsung tidak terlihat setelah akad selesai.
Aku yakin dia memang dibenci oleh banyak orang bahkan mungkin keluarganya. Aku bersyukur ada keluarga yang mencintaiku, juga sahabat yang sayang padaku.
Selesai makan bersama, ketiga sahabatku pamit untuk pulang duluan. Aku berharap mereka bisa lebih lama bersamaku. Tapi aku tidak boleh egois dan membiarkan mereka tinggal.
Ayah dan ibuku juga berniat untuk pulang terlebih dulu, tapi aku menahannya untuk menungguku berganti baju dan pulang bersama mereka. Aku ingin secepatnya meninggalkan lelaki ini, rasanya sudah tidak tahan lagi untuk terus berada di dekat nya. Aku ingin jauh darinya, toh ia juga tahu kalau aku tidak menginginkan adanya pernikahan ini. Pernikahan yang penuh paksaan dan aku yakin ini juga hanya alat untuknya menjadikanku pembantu.
Sepanjang acara aku tidak berbicara sepatah pun dengannya. Dia pun sama halnya hanya berbicara pada mama dan papaku. Manusia macam apa dirinya, sangat tidak punya hati dan perasaan.
Kembali merefresh segala yangtelah kulalui, begitu banyak yang terjadi di umurku yang baru saja menginjak angka 27 tahun. Aku bekerja di sebuah perusahaan advertising selama 3 tahun belakangan ini. Tentu saja sangat menyenangkan,i bless my life. Dengan keluarga yang bahagia dan pekerjaan yang kusuka.
Aku lebih memilih bekerja di luar dibanding meneruskan usaha Papa. Pertama, tidak sesuai dengan majorku. Kedua, bukannya lebih baik aku menimba ilmu di luar dahulu dibanding langsung terjun dengan ilmuku yang masih pas-pasan.
Ayahku pemilik perusahaan pengadaan barang dan jasa konstruksi. Namun, usahanya harus gulung tikar karena ulah seseorang yang sekarang aku sebut sebagai suami.
Keisuke Ryotaro Hamidjaya. Lelaki keturunan Jepang yang memiliki ibu Indonesia. Ia berumur 32 tahun. Informasi yang baru aku dapat saat menandatangani buku nikah di depan penghulu. Ia pemilik salah satu perusahaan konstruksi yang lumayan terkenal dan memiliki cabang di Jakarta. Head Officenya sendiri berada di Jepang sana.
Aku pertama kali bertemu dan bertatap muka dengannya saat pemakaman adikku, Orion. Adikku lebih dahulu mengenalnya. Begitupun dengan papa dan mamaku.
***
Acara selamatan pernihakan kami yang hanya diisi oleh makan bersama keluarga dan sahabat akhirnya berakhir. Aku memutuskan untuk pulang dan meninggalkan Keisuke yang masih duduk di dalam ruang ganti pengantin sendirian.
Mama dan papa memintaku untuk pulang dengan lelaki itu, tetapi tentu saja aku menolak dan memilih menuju mobil orangtuaku yang sudah siap di depan hotel.
Aku menunggu lumayan lama hingga mama dan papa muncul di ambang pintu hotel bersama lelaki itu. Aku hanya mendengar lelaki itu mengatakan hati-hati di jalan untuk kedua orangtuaku.
Namun, tidak lama aku mendengar suara kaca pintu mobil diketuk, enggan rasanya untuk menurunkan kaca mobil, saat tahu siapa yang mengetuk barusan. Tapi apa daya, Papa dan mama yang duduk di bangku belakang memberikan kode untuk segera membukanya.
"hati-hati dijalan, Nad" ucapnya yang lebih seperti bisikan pelan di telingaku. Dimana suara lantangnya saat tadi melafalkan akad dan suara tenangnya menghadapi beberapa tamu keluargaku.
Aku hanya mengangguk dan menutup kaca kembali, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku jahat? tidak, itu hanya sebuah penolakan dan pertahanan yang sedang aku lakukan. Saat mobilku melaju menjauh, aku melihatnya masih berdisi di tempat yang sama.
Mana ada pengantin baru yang pulang ke rumah masing-masing setelah selesai acara pernikahan? itu bukan yang kalian pikirkan? me, im exist.
***
