Tiga

91 3 0
                                    

Biarkan Saja Tiada Kata Antara Kita

Tak mengapa jika kita hanya berdiam
Tak mengapa walau kita cuma saling menatap
Keheningan kadang lebih menenangkan
Kesepian justru memberi banyak makna
Antara dua sanubari yang saling merasa asing
Dengan begitu, kita punya seribu bahasa
Dalam hening yang bergema

Vivit berjalan dengan kening berkerut. Dalam hati dia bertanya, benarkah Melvin tidak marah padanya ? Padahal, suaranya saat di telepon benar-benar tidak ramah. Ketus dan bernada ancaman. Vivit masih bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Bahkan tadi lelaki itu menutup telepon tanpa basa basi sama sekali. Namun, sikapnya barusan ?

"Aku nggak sedang mimpi, kan ?" Tanya Vivit dalam hati. Pertanyaan bodoh yang ditujukan pada dirinya sendiri.

Vivit hapal betul wajah Melvin. Dia pernah melihat lelaki itu berkunjung ke kantornya. Namun, mereka berdua memang tidak pernah diperkenalkan secara khusus. Sebenarnya, yang akan bertemu Melvin malam ini bukan dirinya. Melainkan Lionel, copywriter senior. Namun, Lionel berhalangan dan meminta Vivit menggantikan tugas tersebut.

Awalnya, Vivit enggan dengan dua alasan kuat. Pertama, dia belum pernah menangani klien secara langsung. Vivit memang sudah cukup tahu pekerjaan seorang copywriter, karena Lionel mengajarinya dengan sangat baik dan detail. Selama ini, dia hanya mendapingi Lionel jika memang diperlukan. Namun, sekarang tiba-tiba Vivit dilepas untuk bertemu klien sendiri. Seharusnya Ryan ikut menemaninya. Ryan, seorang art direction. Akan tetapi, masalah jadwal menjadi kendala. Hingga Melvin akhirnya meminta agar mendapat kesempatan bertemu dengan copywriter dulu.

"Kamu sudah sangat mampu melakukan pekerjaan ini. Ayolah, percaya pada kemampuanmu !" Tukas Lionel tegas, menghadapi penolakan Vivit.

"Tapi aku belum berpengalaman. Apalagi Ryan nggak bisa ikut menemani," keluhnya.

"Ryan punya pekerjaan yang tak kalah penting, kamu kan tahu itu. Ayolah, Melvin ingin tahu konsep apa yang kita tawarkan. Setelahnya, baru bertemu dengan Ryan juga."

Alasan kedua adalah karena Melvin sendiri. Selama ini dia sudah mendengar reputasi Melvin yang membuat bulu kuduk meremang. Lelaki itu selalu digambarkan sebagai orang yang dingin, sinis, kaku, ingin serba sempurna, disiplin. Tipikal manusia mengerikan yang tak suka berkompromi karena sangat menyadari kekuatan yang dimiliki oleh uang dan posisinya.

"Aku dengar Melvin itu bahkan nggak pernah tersenyum. Jangan-jangan dia menganggap itu akan diganjar dosa besar ?" Vivit tiba-tiba merasa terserang demam misterius.

Lionel terkekeh. "Jangan berlebihan. Dia tidak seburuk itu. Disiplin dan agak kaku, masih bisa diterima. Dingin ? Rasanya tidak. Biasa saja, cuma memang irit senyum."

Kini, Vivit bisa seidikit lega dan membenarkan penilaian Lionel. Meski sudah terlambat, Melvin tak melakukan apa pun yang mencelakai pekerjaannya. Barusan lelaki itu malah tersenyum, walau sangat tipis. Membuat wajahnya yang seperti pahatan seorang seniman genius itu pun semakin menawan.

Melvin adalah lelaki jangkung yang atletis. Tinggi badan dan berat tubuhnya cukup proporsional. Pakaiannya selalu rapi dan berkelas. Terlihat sekaki bahwa dia sangan hati-hati dengan penampilan. Kaum hawa di kantor Vivit sangat sering bergurau bahwa Melvin tetap akan bersinar meski cua memakai pakaian compang-camping.

Secara fisik, postur gagahnya bukanlah satu-satunya kelebihan yang dimiliki Melvin. Wajahnya adalah harta yang tak kalah berkilaunya. Hidungnya tinggi dan tegas, dagunya persegi, bibirnya tipis, matanya selalu menyorot tajam, rambutnya tebal dan selalu rapi. Keningnya yang tinggi membuat Melvin kian berkharisma. Dia tampil sebagai sosok yang memegang kendali. Senyumnya yang mahak menambah kesan misterius. Tidak heran kalau banyak perempuan yang terpesona olehnya.

Run to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang