Lima

92 4 0
                                    

Magnet Itu Bernama Jenna

Kamu adalah magnet paling magis
Yang membuatku tak mampu menggerakkan bola mata
Semua inderaku hanya menujumu
Menjadi demikian sensitif berkiblat padamu
Dan tidak pernah sanggup berpaling
Meski cuma sedetik

"Apa ? Makan malam ?" Tanya Jenna kaget.

Vivit menganggukan kepalanya tanpa merasa perlu bangkit dari ranjang Jenna.

"Aku tidak berselera untuk makan malam," gumam Jenna.

"Aku percaya, kok," balas Vivit tanpa rasa bersalah. "Kamu kelihatan kurus, lesu dan jelek," akunya terus terang. Jenna cuma mampu tersenyum tipis. Dia harus membenarkan ucapan Vivit.

"Aku masih merasa semua ini tidak nyata. Aku..."

Vivit tertuduk di ranjang dan memasang wajah memelas. Dia mengangkat tangannya.

"Stop ! Tolong jangan mulai lagi ! Apa kamu nggak kasihan sama telingaku, Jen ? Sudah dua jam aku dengar tentang Ernest dan hubungan lima tahun kalian. Tolong, jangan tambah durasinya. Aku benar-benar nggak akan sanggup".

Jenna menutup wajahnya dengan tangan, menahan tawa geli yang tidak bisa dia cegah melihat ekspresi memohon ampun di wajah Vivit. Setelah seminggu berlalu, Vivit sengaja datang untuk melihat kondisi Jenna. Tanpa sungkan, Jenna menceritakan kecurigaannya tentang Ernest agar pengkhianatannya ketahuan. Vivit merasa kecurigaan Jenna sangat masuk akal. Jenna sempat menangis, menyesali mengapa cara itu yang dia pilih Ernest untuk berpisah darinya. Kalau sudah bosan, mengapa tidak mengatakan terus terang saja ? Bukankah itu akan lebih baik ?

"Dia mungkin nggak mampu seperti itu. Jangan tanya kenapa, manusia banyak yang aneh. Dan kamu akan kaget andai tahu keanehan apa aja yang pernah dilakukan seseorang," ulas Vivit.

Jenna menangis, memaki-maki, marah dan menangis lagi. Vivit harus ikhlas membiarkan telinga dan matanya menjadi saksi semua emosi yang dirasakan sahabatnya. Mati-matian dia menahan lidahnya agar tidak mengingatkan Jenna bahwa teman-temannya sudah tahu akan seperti ini akhirnya. Namun, ketika topik obrolah beralih ke subyek lain dan mendadak nama Ernest kembali disebut, Vivit benar-benar menyerah kalah.

Vivit melakukan apapun yang dia mampu untuk menghibur Jenna. Meski dia tahu kadang hasilnya tidak sesuai harapan. Namun yang pasti, frekuensi penyebutan nama Ernest saat mereka bersama, mulai berkurang. Vivit terpaksa menebalkan telingan dan menahan lidahnya meneriakkan kata makian untuk mantan kekasih Jenna itu. Saat ini, dia hanya ingin meringankan rasa sakit sahabatnya. Lima tahun bukanlah waktu yanh singkat, Vivit menahan diri untuk mengeluarkan kotbah yang panjang, menahan diri untuk mengingatkan Jenna pada semua perkataannya di masa lalu. Juga pada ucapan teman-teman mereka. Ini bukan saat yang tepat melakukan itu. Jenna sudah membuktikan sendiri kekeliruan yang dibuatnya bertahun-tahun. Dan, Vivit yakin, sahabatnya tidak membutuhkan tambahan beban.

Malam itu, Vivit membawa Jenna ke sebuah restoran Spanyol yang sedang populer, La Barcelona. Ini adalah satu-satunya restoran yang menyediakan makanan Spanyol di Kota Bogor. La Barcelona mungkin diambil dari nama bekas perkampungan nelayan di kota Barcelona.

"Aku bisa sakit perut karena menyantap hidangan yang aneh. Jangan makanan Spanyol ya, Vit. Yang lain saja..." Jenna memohon. Membayangkan akan menyantap makanan yang bahkan namanya saja tidak pernah didengarnya, membuat perempuan itu bergidik ngeri.

Vivit enggan dibantah. Dengan keras kepala, dia menggeleng dan memaksa sahabatnya turun dari mobil.

"Dalam hidup, kadang kita perlu melakukan hala-hal yang bertentangan dengan keinginan. Melakukan sesuatu dengan berani," ocehnya beralasan. Jenna menyeringai mendengar argumen sahabatnya.

"Keberanian yang kamu maksud itu nggak ada hubungannya sama makanan. Nggak apa-apa dibilang pengecut, tapi aku nggak pernah mau makan sembarangan memasukkan sesuatu ke mulutku," bantah Jenna geli.

"Ini bukan sesuatu, Jen ! Ini namanya ma-ka-nan," eja Vivit. Perempuan itu menggandeng Jenna dengan antusias, menutup semua celah yang memungkinkan Jenna kabur.

"Vit..."

"Makanannya hala, Jen ! Semua memakai bahan yang tidak akan membuat dosamu bertambah banyak," kelakar Vivit. Dia setengah menyeret Jenna menuju salah satu meja yang masih kosong. Vivit buru-buru memesan makanan saat pramusaji menghampiri. Jenna pun tahu, dia tidak punya pilihan. Sebuah pemikiran menembus benaknya. Andai semua rasa sakit hatinya bisa disembuhkan dengan makanan, alangkah bagusnya. Saat itu, dia baru mengerti mengapa banyak perempuan yang 'melarikan diri' pada makanan ketika menghadapi kekecewaan.

Jenna terkejut saat menyadari bahwa makanan Spanyol ternyata memiliki cita rasa yang lezat. Pertama-tama, mereka menyantap salmorejo cardobes, sup krim dengan aneka bahan. Mulai dari tomat, minyak zaitun hingga roti. Hidangan ini dilengkapi dengan potongan daging asap dan telur rebus. Vivit bahkan menertawakan Jenna yang makan dengan lahap.

"Lihat dirimu ! Siapa tadi yang nggak mau makan di sini ?"

Jenna mendorong mangkuknya sambil berkilah, "aku terpaksa menghabiskan apa yang kamu pesan. Kalau tidak, mubazir, Vit."

Tawa Vivit meledak mendengar argumennya.

Mereka juga menyantap baquerones en vinagre, semacam acar ikan. Dan, robo de toro bersama kentang goreng yang menjadi makanan utama. Itu adalah menu yang direkomendasikan oleh pramusaji tadi. Pastry khas dari Cordoba menjadi hidangan penutup, pastel cordobes.

"Bagaiman ?" Tanya Vivit setelah keduanya menghabiskan semua makanan tanpa sisa.

"Enak." Jenna tidak mampu berdusta lagi.

Begitulah, Vivit menghibur sahabatnya. Selama sebulan penuh, dia menghabiskan akhir pekan berdua bersama Jenna. Mendatangi restoran-restoran yang menunya belum pernah mereka cicipi. Menonton film di bioskop, hingga mengunjungi tempat-tempat wisata yang bisa dicapai dengan mobil. Seakan ingin memperkenalkan 'dunia' pada Jenna.

Vivit dan Jenna mencicipi stamppot, lekkerbekje, hingga stroopwafel di sebuah restoran Belanda di kawasan Kemang. Jenna juga ketagihan setelah menyantap pho, mi khas Vietnam yang disajikan dengan irisan daging sapi bersama tauge, jeruk nipis, kemangi, dan.. daun mint. Namun, entah mengapa, Jenna tidak suka dan bahkan nyaris muntah saat mencicipi makanan di sebuah restoran Yunani. Dia hanya mencicipi sedikit tyropitakia, pai keju yang konon sangat terkenal dan langsung menyerah.

Mereka bermalam di Sukabumi, berlibur ke Bandung dan menjelajahi entah berapa banyak factory outlet di sana. Vivit juga tidak mengomel meski perjalanan ke Kawah Putih cukup melelahkannya. Mereka hanya sanggup bertahan selama kurang dari lima belas menit, sebelum menyerah pada aroma belerang dan udara yang terasa menyesakkan dada.

"Aku tahu apa yang kamu katakan," goda Jenna begitu mobil yang dikemudikan Vivit melaju menuju Bogor.

"Apa ?"

"Perjalanan berjam-jam, cuma untuk melihat Kawah Putih lima belas menit saja !" Jenna menirukan ekspresi muram ala Vivit. Perempuan itu tertawa geli melihat ulah sahabatnya.

"Yah, inilah pengorbananku demi melihatmu tertawa lagi," balasnya enteng. "Aku senang karena sepertinya tidak sia-sia."

Jenna melekukkan bibirnya, mengumbar senyum tipis di sana.

"Terima kasih ya, Vit. Aku nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak ada," ucapnya tulus.

Vivit malah nyaris berteria saat berucap," hei, sesi cengengnya kan udah lewat. Aku nggak mau melihat kamu nangis lagi. Sekarang ini kita hanya perlu menikmati hidup."

Jenna tidak bicara apa-apa, tapi memang rasa panas mulai menusuk-nusuk matanya. Kali ini, bukan untuk menangisi Ernest. Melainkan karena terharu untuk semua upaya Vivit.

※※※※※

Run to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang