002

20 3 14
                                    


Aku menunggu bel masuk berbunyi sambil mencorat-coret halaman belakang buku tulisku. Rasanya waktu berjalan lambat sekali, padahal aku datang ke sekolah tidak terlalu pagi, kok.

Tiba-tiba perutku terasa sakit. Dammit! Aku baru ingat semalam ibu membuatkanku nasi goreng yang sangat pedas. Karena tak tahan lagi, aku segera berlari ke wc yang berada di ujung lorong.

Aku segera duduk di wc yang kosong dan mengeluarkan isi perutku yang rasanya tertahan sejak tadi malam. Tetapi di tengah-tengah aku buang air, bel masuk berbunyi.

Sial. Mana sepertinya perutku belum bisa diajak kompromi untuk berhenti sekarang. Masa aku harus bolos kelas pertama?

Tetapi dari pada malu ketika nanti menjelaskan kepada Mr. Howell mengapa aku terlambat masuk kelas, lebih baik aku bolos. Aku tidak mau menjadi bahan pembicaraan teman-teman sekelas bahwa aku terlambat karena buang air besar.

Akhirnya setelah selesai dengan urusanku yang "satu ini", aku segera berlari ke rooftop yang berada persis di atas lantai ini (The perks of having a class in the 3rd floor, I guess?).

Sebelum aku sempat membuka pintu menuju rooftop, aku mendengar suara gitar samar-samar dari luar sana. Tapi kan ini sudah jam masuk kelas? Atau mungkin dia juga bolos pagi ini? 

Baguslah aku ada teman. Aku segera mendorong pintu tersebut dan melihat sesosok laki-laki yang sedang menghadap ke arah yang berlawanan dari tempatku berdiri. Aku tidak bisa melihatnya secara jelas.

Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba lelaki tersebut mengalihkan pandangannya ke arahku, mungkin dia mendengar footstepku.

Shitshitshitshit. Calum.

Aku segera membalikkan badanku untuk kembali ke bawah sebelum ia melihat wajahku. Tetapi sepertinya aku terlambat.

"Hei," Serunya.

Aku membalikkan badanku pelan-pelan, sambil tertawa kecil, "Ehe. Hai!"

Sebelum aku berpikir untuk mencari topik pembicaraan, dia ternyata sudah menyiapkan pertanyaan untukku. "Kamu anggota Music Club juga kan?"

"...Iya," Aku berjalan ragu menuju ke arahnya.

"Kamu yang memberiku applause kemarin juga, kan?" Tanyanya ragu. Ya Tuhan aku harus jawab apa?

"Engh, maaf," Jawabku sambil menunduk. Ia terlihat bingung dan segera berdiri. "Untuk apa?" Tanyanya sedikit bingung.

"Aku pikir aku mengganggu waktu tenangmu dengan tepukan tanganku. Maaf aku benar-benar..."

"Terima kasih," Serunya di tengah-tengah pembicaraanku. Aku mengangkat wajahku ragu untuk melihat ke arahnya.

"Aku senang ketika orang lain mengapresiasi kemampuan bermusikku," Jawabnya lagi sambil tersenyum. Dia benar-benar terlihat seperti orang yang berbeda ketika ia tersenyum. Ia terlihat sedikit.... Manis.

Ah! Apa-apaan! Tanpa ku sadari aku menampar pipiku pelan. Membuatnya melihatku dengan wajah bingung. He probably thinks that I'm a creep now.

Karena tidak ingin membuat suasana menjadi lebih awkward lagi, aku segera membalasnya. "But your skill is amazing and your voice is so smooth, it's... calming."

"Thanks, I guess?" Jawabnya sambil tersenyum pelan. Argh! Rasanya Negara harus membuat pasal yang berisi: Calum dilarang tersenyum! Senyumannya membuatku pusing.

"Siapa namamu?" Tanyanya. "Aku Dee," Jawabku pelan. Aku hampir keceplosan menyebutkan namanya.

Aku tidak mau ia berpikir bahwa aku adalah seorang stalker, jadi aku basa-basi menanyakan namanya.

"I'm Calum. But just call me Cal."

Ia mengajakku duduk di bench tua yang berada di rooftop tersebut, lalu aku bicara panjang dengannya. Soal hobi berpianoku, hobinya memainkan gitar, dan pengalaman-pengalaman bermusik kita yang lainnya. 

Padahal sebelumnya kita belum pernah berbicara sama sekali, tetapi rasanya aku sudah mengenalnya sejak lama karena hobi kita yang sama.

Tiba-tiba aku mengingat satu pertanyaan yang stuck di dalam benakku sejak minggu lalu. "Kenapa kamu tidak pernah masuk kelas?"

Ia hening sebentar, lalu menjawab, "Rasanya aku malas berada di kelas. Aku lebih suka berada di rooftop ini, sendirian."

"Apa kamu tidak khawatir dengan hasil studimu nanti?" Tanyaku heran.

"Na ah," Jawabnya cuek.

Tiba-tiba bel tanda berakhirnya pelajaran pertama berbunyi, aku segera berdiri dan menunggunya, tetapi ia hanya melambaikan tangannya.

"Hm?" Tanyanya ketika aku memasang raut wajah bingung.

"Kamu tidak kembali ke kelas?" Tanyaku heran. Ia menggaruk kepalanya. "Nanti saja," Jawabnya santai.

"Yasudahlah," Seruku sambil melambaikan tanganku. "Talk to you later," Teriaknya tiba-tiba. Aku segera membalikkan badanku dan memberikannya senyuman. Ia membalas senyumanku.

Sesampainya di lantai bawah, aku menaruh kedua tanganku di pipiku. Aku tidak tahu kenapa pipiku terasa panas. Yang jelas sekarang yang ada di pikiranku hanya senyuman Calum.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Your Love Feels Like Music to MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang