"Jika dibilang pendaki pemula kau lumayan juga," ujar Rama yang berada tepat dua meter di depan Angin. Setiap lima menit sekali lelaki itu tidak pernah absen menanyakan apakah Angin lelah atau tidak, namun gadis itu berkali-kali berkata tidak, walau sebenarnya ia terus menahan rasa sakit di kakinya akibat seringkali ia terjatuh. Untungnya, para pendaki--yang bisa dikatakan mahir-- yang berada di belakang Angin bersedia membantunya.
Gadis itu meraih tangan Rama yang mencoba membantunya mendaki. "Aku terlalu bersemangat kali ini," ujar gadis itu.
Ia tentu saja begitu, luapan kerinduanya begitu besar.
"Sebenarnya apa yang kau cari di sini?" tanya Rama. Sedikit kagum atas kegigihan gadis itu.
"Mencari keindahan yang seseorang di masa lalu sering menceritakannya."
Rama hanya tertawa mendengar penuturan gadis itu, namun Angin mengabaikannya. Sebut saja ia gila, namun ini caranya untuk melepas kerinduan tersebut.
"Ini namanya rindu," Rama tersenyum tipis. "Siapa yang kau rindukan?"
"Kau kenal Abiel?"
Rama tertegun. "Abiel yang tinggal di kaki Gunung Rinjani?"
"Ya, benar. Katakan padaku di mana dia?!"
Rama menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. "Dia hilang saat menjadi pemandu wisata setahun yang lalu, sampai sekarang entah di mana. Aku selalu iba jika bertemu ibunya saat hendak mendaki, wanita itu selalu menatap Gunung Rinjani. Rindu."
Masih adakah kesempatan untuknya bertemu Abiel?
Hanya saja perasaannya selalu mengatakan Abiel masih ada, di suatu tempat di gunung ini, entah di mana.
Setelah mendaki selama empat jam, gadis itu masih sanggup untuk terus menuju puncak, katanya begitu. Ia ingin segera mencapai puncak, tak sabar melihat seberapa indahnya puncak rinjani yang sering Abiel ceritakan padanya, namun hari itu mereka tidak bisa secara langsung mencapai puncak karena Rama tidak mau terlalu memaksakan Angin, bagaimanapun dia adalah pemula. Lalu mereka membentangkan kemah dekat dengan Danau Segara Anak.
"Ram, apa aku bisa kesana?" ujar gadis itu menunjuk ke arah bukit yang mengelilingi Danau Segara Anak.
"Tidak, Angin. Terlalu berbahaya, treknya sangat sulit untuk pemula. Ditambah lagi kau jarang melakukan latihan fisik sebelum datang kesini."
Mereka berniat berkemah sampai pagi datang, kemudian akan melanjutkan perjalanan saat matahari sudah terbit. Rama harus lebih berhati-hati, walaupun Angin terlihat kuat, ia tahu gadis itu sudah pada ambang batasnya.
Angin bangun saat subuh datang, keluar dari tenda ingin melihat bintang yang masih menggantung di angkasa. Bintang, lagi-lagi yang ia ingat justru sosok Abiel. Lelaki itu maniak bintang, suka sekali dengan astronomi dan hal-hal yang berbau dengan alam.
"Rama, aku jalan-jalan sebentar!" Teriak gadis itu pada Rama yang sedang duduk dekat api unggun, menghangatkan tubuhnya yang kedinginan.
"Jangan pergi terlalu jauh!"
Angin ingin menuju Danau Segara Anak, danau yang pernah Abiel ceritakan dulu. Tidak tahu hal apa yang membuat Angin menjadi pemberani, yang ia tahu; dia harus kesana. Hatinya mengatakan seperti itu. Kakinya terus melangkah meski pergelangannya sudah membiru dan ia hampir mati kedinginan. Ia kira ia kuat, namun detik kemudian Angin mulai oleng dan terjatuh entah kemana, yang pasti ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terbentur batu, tergores ranting-ranting pohon. Ia kira ia akan mati saat itu, namun tidak, ia masih selamat dan terbangun tepat saat matahari mulai muncul di ufuk timur. Pemandangan yang amat menakjubkan sehingga membuatnya kembali merasakan kerinduan yang amat menusuk hatinya.
Biel, mengapa keindahan ini justru sangat menyesakkan? Aku hampir tak bisa bernapas melihat ini semua.
Abiel... Abiel... di mana kau?
Kedua matanya dapat menangkap seorang lelaki sedang duduk di atas batu besar menatap matahari terbit, sejurus kemudian lelaki itu menoleh saat Angin yang mulai bangkit.
Gadis itu terhenyak, tenggorokannya tercekat. Tak bisa mempercayai seseorang yang ia temukan saat ini. Disanalah Abiel, dengan senyum manis miliknya. Tepat di hadapannya dan kini sedang berbicara padanya.
"Kau tak apa-apa Angin?" Lelaki itu tersenyum tipis, senyum yang sangat ia rindukan.
Rindu. Satu kata itu terucap beribu-ribu kali di dalam lubuk hatinya, ia rindu dengan suara itu. Suara yang kerap hadir sebelum ia tidur, suara yang kerap hadir di lamunannya. Tanpa sadar matanya mulai mengabur, cairan hangat mulai membasahi pipinya.
Angin bisa mengingat setiap detil wajah lelaki yang ia cintainya, rindu ini sudah terpendam sekian lamanya. Dan kini, fakta bahwa ia bisa menumpahkan segalanya membuat hatinya meluap-luap. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri Abiel, namun lelaki itu segera berkata:
"Tunggu di sana."
Abiel mulai turun dari batu besar dan melangkah menghampiri Angin, wajahnya tak banyak berubah, kini hanya terlihat lebih dewasa karena kumis tipis miliknya.
"Naik ke punggungku." Ujar Abiel berjongkok tepat di hadapan Abiel.
Dan Angin hanya mengiyakan, sungguh ia sangat rindu dengan lelaki itu.
Rasanya bagai mimpi, begitulah yang ia rasakan. Seperti ilusi, namun di sinilah Abiel sekarang tepat di hadapannya, sedang menggendongnya.
"Aku akan mengantarmu kembali. Jangan menangis."
"Tidak, bawa aku bersamamu Abiel. Bawa aku." Ia menenggelamkan wajahnya di punggung lelaki itu, menghirup aroma pohon pinus dari lelaki itu. Aroma yang ia rindukan juga.
"Aku tak akan pernah bisa, karena tempatmu bukan bersamaku, Angin."
"Beri aku suatu alasan mengapa."
"Karena aku telah tiada."
"Kau bercanda, pasti bercanda." Gadis itu mulai mengeratkan tangannya lebih kencang, seolah tak ingin melepaskan Abiel.
"Tidak, Angin. Tidak. Seiring dengan keinginanmu untuk tak melepasku kau akan mati. Tidak boleh, kau masih punya masa depan, Angin."
"Aku hanya ingin bersamamu," ujar gadis itu.
"Ingatkah kau Angin? Kau masih memiliki kedua orang tua yang begitu sayang padamu, apa kau akan membiarkan mereka menyesal setelah ketiadaanmu? Kau ingin melihat mereka menangis? Menggores luka kemudian meninggalkan sesuatu yang bernama kerinduan kembali? Kumohon kali ini, aku memohon padamu."
Angin mulai menangis kembali, sungguh tak sanggup ia jika harus melepaskan kaitan tangannya di tubuh Abiel, tak mampu lagi ia melepas lelaki itu, namun kemudian ia berkata.
"Aku mencintaimu, Biel. Maka dari itu kuturuti apa maumu, dan karena aku juga menyayangi kedua orang tuaku, seberapapun mereka torehkan luka terhadapku, terhadap kita. Aku menyayangi mereka."
"Angin kau tahu makna kerinduan? Rindu justru adalah ingatan yang menemanimu, rindu adalah aku dalam ingatanmu, dan itu semua bukanlah sesuatu yang patut kau ratapi. Ingat aku. Ingat kisah manis kita, jangan yang lain."
===
Rama bersama pendaki yang lain mulai khawatir karena Angin tak kunjung kembali padahal matahari sudah sepenggalah, pada akhirnya mereka membuat kelompok kecil untuk mencari Angin. Ia kira Angin akan pergi ke Danau namun tak ada siapapun disana.
"Rama! Rama! Gadis itu disini!" Teriak Gona-lelaki dengan tubuh gempal yang berada di dekat pos pendakian ketiga
Dan di sanalah mereka temukan Angin dengan luka di sekujur tubuhnya bersama tumpukan tulang belulang, di bawah sebuah pohon besar tak jauh dari Danau Sengara Anak.
Esok harinya muncul sebuah berita.
"Pendaki tewas bernama Abiel di Gunung Rinjani setahun yang lalu akhirnya dapat ditemukan."
=The End=
Yosh. Selesai juga, cerpen ini inspirasi berdasarkan sebuah novel yang pernah saya baca di perpus dan saya lupa judulnya:"(
Vomments pls>.<

KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari di Rinjani
RomansNamanya Angin, terdengar sedikit aneh. Tapi namanya Angin, seorang gadis yang menganggap bahwa dunia ini menjemukan. Tak ada yang menarik. Meski namanya Angin, namun dirinya tak seperti definisi angin, justru sebaliknya. Ia selalu masa terpenjara...