Angin. Namanya Angin, gadis yang selalu menganggap bahwa dunia ini menjemukan. Tak ada yang menarik.
Meski namanya Angin, namun dirinya tak seperti definisi angin, justru sebaliknya. Ia selalu masa terpenjara, terpenjara dalam sangkar emasnya, terpenjara dalam ketakutannya.
Kini ia duduk termenung. Menatap garis horizon terbentang di hadapannya. Lelaki yang berada di sampingnya juga diam saja, menikmati setiap detik menjelang matahari tenggelam. Setidaknya ini adalah kebiasaan mereka.
"Kau tahu? Mitos yang mengatakan jika degup jantung seseorang berdetak bersamaan itu berarti mereka berjodoh?" Si lelaki mulai mengeluarkan suaranya. Namanya Abiel, lelaki yang tawanya sangat menyenangkan itu.
Angin jelas tidak tahu apa maksud Abiel saat itu. "Heh? Masa iya?" ujarnya ragu-ragu.
Angin merasakan angin bertiup sedikit kencang, menampar wajahnya, menerbangkan beberapa daun kering di sekitarnya sampai Abiel kembali mengeluarkan suaranya. "Angin mau mencoba?" Ia tak menoleh, hanya melemparkan semburat senyum tipis.
Bohong kalau Angin mengatakan tidak mau. Jelas bohong besar, hanya saja ia terlalu takut. Takut degup jantungnya tak akan senada dengan irama milik Abiel. Takut. Takut Abiel bukan untuknya.
Angin menoleh, kakinya yang telanjang terasa gatal di antara tumpukan daun kering. Abiel ikut menoleh, untuk beberapa saat tatapan mereka terpaku satu sama lain. "Angin, jangan takut untuk mencoba. Kalau kita jodoh, pasti akan bertemu. Kalaupun tidak, percaya padaku aku selalu berada di sampingmu."
Gadis itu menghela napasnya, menatap lamat-lamat kedua bola mata teduh milik Abiel. "Jangan terlalu banyak berjanji, Abiel. Janji yang tak dapat kau tepati."
Lelaki itu tertawa lagi. Namun lama kelamaan tawanya menghilang digantikan dengan keheningan. Ia sadar, mereka sedang berbicara dengan serius kali ini.
Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Coba lihat tanganmu," ujarnya.
Angin menjulurkan tangannya. "Kau mau apa?"
Abiel tak menjawab. Ia menelusuri setiap garis tangan milik Angin. "Menurutku kita berjodoh, Angin." Ia berkata seperti itu dengan senyum jenaka miliknya. "Entah sekarang atau suatu saat nanti."
Angin tertawa. "Kau terlalu berharap!"
"Heh! Aku hanya ingin menenangkanmu tahu!"
"Gagal!"
"Tak apa lah, tapi kau tertawa kan? Itu lebih dari cukup."
Angin terdiam. "Abiel, jangan terus seperti ini. Jangan terus menenangkanku. Padahal kenyataan tak seperti yang kau katakan. Tak bisakah kau berbicara jujur saja? Aku tahu ada keraguan di matamu. Banyak. Banyak sekali."
Abiel tertegun. Memahami maksud Angin. Untuk beberapa saat mereka masih terdiam, Abiel masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk ia katakan.
"Kau ingin aku mengatakan yang sejujurnya?"
Angin mengangguk.
Abiel menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. "Kau dan aku terlalu berbeda, Angin. Kadang aku berbicara pada diriku sendiri, dirimu yang begitu sempurna pantaskah bersanding denganku? Saat kau menggenggam salju untuk pertama kalinya, saat itu juga aku masih di sini, tinggal di kampungku yang bahkan jauh dari lampu.
"Saat kau sudah jauh berada di depan dengan kecerdasanmu, aku masih tertinggal di belakang, mungkin sebentar lagi aku akan tergilas."
"Kalau begitu, biarkan aku berbicara sedikit tentangmu. Kau, Abiel adalah seseorang yang sudah membuat hidupku berarti dengan tawamu itu. Bagiku hidup adalah mimpi buruk, aku harus selalu berusaha untuk membanggakan orang-orang di sekitarku, terutama kedua orang tuaku, apalagi ayah. Tapi denganmu ,Biel, aku tidak perlu berkeluh kesah memikirkan hal itu. Kau menganggap dunia ini ringan, dengan leluconmu dan segala cerita-ceritamu. Aku suka itu."
Lagi-lagi Abiel tertawa. "Hidup bagiku adalah jatuh bangun. Daripada mengeluh terus menerus, memikirkan suatu hal berlarut-larut lebih baik kubawa ringan saja."
Sejak bertemu secara tidak sengaja dulu, mereka mulai berteman. Angin tahu perasaannya sudah melebihi dari teman saat ini, mereka saling tahu kalau mereka saling menyukai namun tak ada yang mau memulai berhubungan. Mereka takut akan berakhir dan merasa lebih baik seperti ini.
"Angin Shima," ujar Angin.
"Angin, namamu Angin?" begitu ucap Abiel saat Angin memperkenalkan dirinya.
"Ya, Angin. Dan bagaimana denganmu?"
"Abiel. Abiel saja, tidak ada yang lain." Jawabnya.
Singkat. Padat. Jelas.
Siapa sangka perkenalan singkat itu, menjadi sebuah percakapan bak teman lama baru bertemu kembali. Buku yang mereka pinjam di perpustakaan malah jadi tak terbaca, mereka sibuk mengoceh sampai petugas perpustakaan mengusir mereka. Dan mereka hanya tertawa.
Saat melihat tawa Abiel, Angin tahu Abiel telah mengeluarkan dirinya dari sangkarnya. Angin tak pernah mau begaul, tak pernah mau berteman, namun bersama Abiel segalanya berbeda. Abiel bisa membuatnya tertawa. Kagum, jelas ia sangat kagum dengan lelaki itu. Bagaimana tidak? Abiel selalu menghadapi semuanya dengan senyuman. Entah ia masih waras atau tidak. Yang pasti Abiel tak pernah menganggap dunia ini tidak menyenangkan dan satu hal lagi, ia tak pernah mengeluh.
"Angin, kau benci negerimu sendiri?"
Angin mengangguk dalam diam. "Penuh dengan korupsi, kejahatan dan apa juga yang harus aku banggakan?"
Abiel tertawa. "Benar juga ya? Lain kali aku ingin mengajakmu ke puncak Gunung Rinjani. Pada saat itu akan kutunjukkan kau hal yang menarik tentang alam kita ini. Setidaknya dengan hal itu kau masih bisa mengagumi tanah kelahiranmu ini."
Meski Angin benci dengan gunung akan tetapi ia mengangguk saat itu.
"Kau janji akan membawaku kesana, Abiel?"
"Aku janji." Ia tersenyum, Angin nyaris terpana. "Aku berjanji kau dan aku suatu saat nanti akan mendaki Gunung Rinjani."
Jemu. Padahal satu kata itu dahulunya selalu memenuhi pemikirannya. Namun kini? Hidupnya jauh dari kata itu. Dan lagi-lagi ini semua karena Abiel.
"Aku tidak keberatan, maksudku degup jantung itu." Balas Angin.
Abiel merengkuh tubuh Angin. Merasakan degupan jantungnya berdegup secara bersamaan, membentuk sebuah nada yang serasi. Angin terpaku merasakannya.
"Abiel, benarkah ini? Atau hanya mitos belaka?"
"Tidak tahu. Tapi aku yakin kita berjodoh." Abiel terkekeh.
Setelah beberapa menit, Abiel melepaskan pelukannya sedangkan Angin merasa jantungnya berhenti.
Jantung mereka senada.
Berdetak sama.
Berkali-kali Angin mengatakan hal itu.
Angin melengkungkan senyumannya. "Kau tahu aku benci naik gunung?"
"Heh? Masih bencikah kau?"
Angin mengangguk.
"Mengapa?"
"Karena aku mudah lelah, Abiel. Bayangkan saja, saat kau memelukku jantungku terasa lumpuh. Bagaimana jika naik gunung? Bisa-bisa aku mati muda."
Dan meledaklah tawa mereka.
TBC.
See ya in the next chapter!
vomments pls?

KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari di Rinjani
RomanceNamanya Angin, terdengar sedikit aneh. Tapi namanya Angin, seorang gadis yang menganggap bahwa dunia ini menjemukan. Tak ada yang menarik. Meski namanya Angin, namun dirinya tak seperti definisi angin, justru sebaliknya. Ia selalu masa terpenjara...