Kembali berpijak

136 9 6
                                    

Tangisanku mereda namun tanganku belum berhenti bergetar. Rasa marah dan kecewa menyelimuti perasaanku saat ini. Terkejut saat diperlakukan seperti tadi oleh orang yang ku cintai. Suhu di dalam mobil berhasil menenangkan pikiranku yang sempat kacau.

"Minumlah dulu." Sebotol air mineral disodorkannya kepadaku, aku tak bergeming masih memandangi jalan di depanku. "Supaya lebih baik" Ujarnya lagi kemudian aku menatapnya dan mengambil air mineral itu.

"Terima kasih" ujarku datar saat mengucapkannya. Kami kembali menjadi hening. Dia sama sekali tidak berbicara. Mungkin dia ingin memberiku ketenangan. Setelah menghajar Ardi, Angga langsung membawaku ke mobilnya dan segera pergi meninggalkan club itu.

Ya, dia Angga. Aku tak tau mengapa dia bisa berada disana. Namun aku bersyukur Tuhan mendengar doaku. Aku tidak tahu bagaimana nasib Ardi yang babak belur tadi. Sekelebat kejadian tadi kembali berputar dalam pikiranku. Mataku terasa panas. Lagi lagi aku menangis, bahuku bergetar. Isakanku kembali terdengar. Aku merasa sangat lemah saat ini.

Tepukan dibahuku bukan membuatku tenang tapi justru membuatku ingin menumpahkan segala perasaanku. Aku sudah lelah menahan sakit ini. Menahan rasa kecewa ini sungguh sesak rasanya. Tiba-tiba kurasakan tubuhku di rengkuh olehnya. Otak ku masih berkabut, tangisku kembali pecah di dadanya.

Usapan halus di punggungku membuatku nyaman dan perlahan meredakan tangisku. Namun justru mataku yg tidak bisa berkompromi. Mataku terasa sangat berat sampai aku merasa rileks dan tertarik ke alam mimpi.

Bukan mauku untuk jadi perempuan lemah seperti ini. Bukan keinginanku untuk merasakan sakit hati seperti ini. Jika hati bisa ditukar dengan hati baru aku akan dengan senang hati menukarkan hati baru saat sakit seperti ini. Masih sulit bagiku untuk kembali senormal dulu. Saat aku belum mengenalnya. Saat aku masih bisa ceria dan tertawa lepas dengan temanku. Saat belum ada bagian dari hatiku yang tersakiti lalu merasa kosong.

Sebenarnya aku lelah untuk mengeluh seperti ini. Menyalahkan takdir yang mempertemukanku dengannya dan malah memisahkanku dengan cara seperti ini. Ini mungkin lebih baik daripada patah hati saat ditinggal mati tapi tetap saja aku merasa sakit.

Sudah tiga hari setelah kejadian itu, sudah tiga hari juga aku tidak masuk kantor. Setelah hari itu tiba-tiba saja tubuhku drop seakan ikut merasakan kepedihan hatiku. Mungkin juga karena aku kurang memperhatikan kesehatanku akhir-akhir ini.

"Kak, makan dulu. Sudah Rizal buatkan bubur." Ujar Rizal dengan disertai suara ketukan pintu kamarku. Dengan badan limbung aku mencoba bangun dan membuka pintu kamar.

"Kakak harus makan, seharian ini perut kakak belum terisi apapun bukan?"

"Baiklah, tolong kamu letakkan makanannya di nakas saja. Nanti kakak makan." Jawabku lemah.

Rizal membantuku kembali ke tempat tidur saat tadi aku hampir terjatuh. Sekarang sudah jam 5 sore, tumben sekali Rizal sudah pulang dari kuliahnya. Biasanya dia baru akan pulang sehabis maghrib.

"Gak biasanya kamu sudah pulang jam segini." Tanyaku penasaran.

"Rizal gak mungkin ninggalin kakak lama di kampus saat sakit seperti ini kan?" Jawabannya terlihat jelas mengkhawatirkanku.

"Kakak baik baik saja. Kamu tidak perlu khawatir begitu."

"Sakit pun masih bersikap sok tegar" cibirnya yang hanya ku balas dengan senyum tipis.

"Kemarin Ayah menelepon." Dia berbisik namun masih terdengar jelas olehku, "Ayah sudah tau masalah kakak."

"Kamu bilang pada Ayah kalau-"

"Aku belum mengatakannya, tapi Ayah tau dari orang lain."

Ayahku memang selalu seperti itu. Beliau memang tidak akan pernah melepaskan anak-anaknya seutuhnya. Walaupun kami berjauhan, Ayah selalu memantau kami untuk memastikan kami baik baik saja. Tapi aku tidak menyangka Ayah menyuruh orang untuk mengintai kami, atau mungkin memang ada kerabat dekat yang memberitahunya

Aku mengusap wajahku, memikirkan Ibu yang akan khawatir setelah mendengar berita itu. Pasti sebentar lagi mereka akan datang kemari untuk menjenguk kami. Entah bagaimana aku akan menjawab pertanyaan mereka nantinya.

"Kakak tenang saja, Ayah dan Ibu pasti baik-baik saja. Kalau mereka datang kita jelaskan saja yang sebenarnya." Kata-katanya menenangkanku dari segala pikiran buruk. Aku tersenyum pada adik kesayanganku ini.

Kalau dilihat dia memang memiliki sifat yang lebih dewasa dibandingkan aku. Seharusnya dia yang menjadi seorang kakak disini. Dia selalu paling bisa diandalkan, sifatnya juga sangat bijaksana.

Hari ini sudah saatnya aku kembali ke rutinitas seperti biasa. Kembali menjalani pekerjaan yang menguras pikiran. Tubuhku sudah sehat dan sangat lebih baik setelah beberapa hari ini. Selain itu, sebenarnya pekerjaanku di kantor kemarin juga sedang menumpuk. Untung saja atasanku tidak memarahiku tapi yang ada malah terus mengingatkanku akan tugasku.

Sekembalinya dari cuti beberapa hari, aku terperangah dengan tumpukan berkas yang ada di mejaku. Semangat yang ku miliki sebelumnya langsung pudar digantikan dengan lesu. Ku hela nafas kasar dengan membanting tubuh ke kursi kerjaku.

"Tau jadinya seperti ini, ga akan mau sakit gue." Gerutuku spontan.

"Pagi-pagi mukanya udah lesu aja neng" Sahut Alena yang tiba-tiba ada di hadapanku.

"Ya lo lihat aja sendiri! Yang bener aja gak masuk dua hari kerjaan sebanyak ini?!" Balasku sewot.

"Santai kenapa neng? Gausah sewot gitu. Pantes aja jomblo." Ujarnya yang langsung ku hadiahi pelototan tajam.

"Udah tenang aja deh, ada gue kok." Sambungnya lagi sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ada maunya kan lo?" Tudingku langsung.

"Ya Allah, gue niat baik malah di dzuudzonin gitu". Alena tidak terima dengan tudinganku tadi langsung berlagak tersakiti.

"Ya elo gak biasanya sih,"

"Lagi baik nih gue, gue tau kalau lo abis sakit makanya gue bantuin. Kurang baik apa coba?" Seperti biasa dia memang selalu mengerti posisiku, walapun lebih sering mengesalkan.

"Yaudah gue balik dulu, nanti kalo udah selesai baru gue bantuin lo. Bye darl" ujarnya sambil berlalu.

Aku mulai menekuni pekerjaanku dengan serius, sampai jam makan siang sudah dua berkas yang berhasil ku selesaikan. Dua berkas yang lain sudah diambil Alena untuk dikerjakannya, tinggal satu berkas lagi. Tapi belum apa-apa cacing di perutku sudah mengeluh minta diberi makan. Jadilah aku di cafetaria sekitar kantor.

Aku memang tidak sendiri, ada beberapa temanku yang mengajak makan siang tadi jadi aku ikut dengan mereka. Selama menunggu makanan kami dihidangkan. Kami sedikit berbincang bincang masalah pimpinan baru perusahaan dan lainnya, sebenarnya aku kurang tertarik dengan bahasan ini. Jadilah aku hanya menjadi pendengar dan sesekali mengiyakan jika mereka memberi argumen.

"Kalian tau gak sih investor baru perusahaan kita? Ya Tuhan GM nya itu masih muda terus kayanya juga pacarable banget tau!!" Seru salah satu temanku yang bernama Fera.

"Oh, yang waktu itu pernah bantu Luna waktu pingsan kan?!" Sahut Gina bergantian. Mendengar namaku disebut-sebut membuatku menaikkan sebelah alisku.

"Pak Anggara?" Tanyaku ragu pada mereka semua.

"Nah, iya Pak Anggara. Ya Tuhan dia itu ganteng terus ramah juga!!!" Sahut temanku yang lain. Mereka bersahutan membahas tentang pesona dan kesempuarnaan Anggara. Membosankan pikirku. Tidak beberapa lama makanan pesanan kami datang.

Disela-sela makan mereka masih sempat membicarakan Anggara. Aku lebih memilih melanjutkan makan dan fokus dengan makananku. Sampai bunyi ponsel menghentikan aktivitasku. Dari nomor tidak diketahui.

"Hallo"

"..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

To Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang