[Part 12] Forgive you

4.5K 443 6
                                    

makenyem manis padidi
pacang ngantosan adi
sane ada di hati ngatos mati
dumogi adi enggal mawali

---

"Oh Tuhan...!!! hei...bangunlah...", Sinta memandang wajah yang pucat itu, ditepuknya pipi Puja, tapi pemuda itu masih saja terpejam, hati Sinta merasakan dingin yang tiba-tiba menyergap. "Puja...bangunlah...", diguncangnya lengan Puja, tidak ada reaksi. Dengan panik dia berteriak minta tolong, dia tidak mungkin meninggalkan Puja, dengan sedih ditaruhnya kepala pemuda itu di pangkuannya. "Kumohon, buka matamu...Tolong! siapapun...tolong kami!".

Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah tak jauh dari tempat itu membantu Sinta menggotong Puja. "Kenapa dia?", Jendra menyambut di ruang depan, dengan singkat Sinta menceritakan kejadiannya. "Kita harus cepat, kalau itu benar cobra, kita nggak punya banyak waktu lagi", lalu disambarnya kunci mobil Puja. "Kita ke rumah sakit...tapi kita juga harus telpon ambulance, dia harus ditangani secepatnya!". Jendra menyuruh orang-orang itu memasukkan Puja ke mobil. "Sinta, kamu tunggu di sini, nanti kukabari". Dengan cepat dia menyetir Jaguar hitam itu menuju jalan raya. Di tengah jalan mereka bertemu ambulance dan segera memindahkan Puja ke ambulance, racun sudah menyebar dengan cepat. Petugas yang menangani menyarankan supaya mereka menuju rumah sakit pusat.

---

Keesokan harinya..."Untung segera ditangani, kalau tidak, beberapa anggota tubuhnya bisa tidak berfungsi, bahkan meninggal, masa kritisnya sudah lewat, tapi untuk sementara, jangan ada yang boleh masuk ke ruangan pasien! ", dokter memandang ke seluruh orang yang berada di ruang tunggu dekat kamar pasien. Pujawati memandang putranya dari balik kaca, hampir saja dia kehilangan putra kesayangannya. Satu-satunya harapan hidupnya. "Bagaimana ini bisa terjadi?", tanya Pujawati pada Sinta. "Dia...dia melindungi saya...ini salah saya...kalau saja kami tidak bertengkar dan...". Pujawati mengernyit. "Kalian bertengkar?...", lalu dipandangnya Sinta dengan sedih. "Belum bisakah kamu memaafkannya?. Aku tahu Puja sudah melakukan kesalahan, aku juga tahu hatimu belum bisa menerimanya...tapi, jangan kamu menyalahkannya terus, aku tahu Puja lebih dari dirinya sendiri, Puja sangat menyayangimu, selama ini dia tak pernah mempercayai seorangpun, dia tumbuh sebagai pribadi yang dingin dan angkuh, aku baru menyadarinya, saat ada kamu, dia bisa tersenyum, matanya tersenyum, selama ini dia tak pernah tersenyum seperti itu...mama harap, dengan kejadian ini, bisa membuatmu memaafkannya...", wanita yang tiba-tiba terlihat tua itu menepuk bahu Sinta.

"Gimana keadaan dia tante?", Jangga, Wayan dan Andika menghampiri Pujawati. "Masih belum siuman, tapi masa kritis sudah lewat...". "Syukurlah...The Three Musketeer tanpa D' Artangnan nggak lengkap...", kata Jangga, dilihatnya dari balik kaca, sahabatnya terbaring, masih memakai alat bantu pernafasan. Padahal kemarin masih sehat dan bercanda dengannya. "Sinta mana?". "Mungkin di luar, kami belum boleh masuk ke ruang perawatan".

"Sudahlah, dia akan baik-baik saja...", Jangga menghibur Sinta. Ada tanda-tanda gadis itu baru saja menangis. "Sebenarnya...apa yang terjadi waktu itu di Hotel?",tanya Sinta. Jangga menatap Sinta tak mengerti. "Apa benar dia nggak bermaksud menyakitiku?. Dia bilang dia nggak pernah bermaksud menyakitiku...tapi kenapa dia melakukannya?. Nggak masuk akal kalau dia mabuk, waktu itu aku nggak mencium bau alkohol yang kuat...". Sinta menyeka airmatanya. Jangga menghela nafas. "Memang...waktu itu dia tidak mabuk, dia hanya minum segelas sherry...".

"Dia dijebak oleh Tania". Jangga menceritakan semua kejadian yang terjadi malam itu. "Kenapa dia nggak pernah berterus terang?". "Mungkin dia takut kamu tambah salah paham, selama aku mengenalnya, dia memang sering berganti wanita, diantara kami berempat memang dia yang paling menonjol, baik dari fisik, otak dan kekayaan. Entah berapa kali dia ganti pacar dan membuat wanita patah hati. Dia pernah bercerita, waktu SMU dia suka sama seorang gadis, gadis itu menghianatinya dan hamil dengan sahabatnya, karena itu dia tidak pernah percaya wanita, mungkin karena itu dia jadi sedikit liar, tapi dia tak pernah memaksa wanita untuk kencan atau pacaran, asal mereka saling suka, terjadilah hubungan, jadi dia tidak mungkin memaksa kamu dalam keadaan sadar, hanya itu yang aku tahu...Puja memang playboy, tapi dia pria sejati, sangat gentle...aku berani mempertaruhkan hidupku untuk itu...".

Sinta memandang wajah yang tengah tertidur itu. Begitu tenang dan damai, kalau diperhatikan, wajah itu seperti wajah anak-anak, begitu lembut. "Maafkan aku...selama ini hanya bisa menyalahkanmu, membencimu...padahal kamu nggak sepenuhnya bersalah...". Bulu mata lentik itu bergerak, dan Sinta melihat kedalamaan hitamnya koral di dasar lautan di mata yang tengah memandangnya. Puja tersenyum. "Ini di mana?". "Rumah sakit...eh...jangan bangun dulu...". "Kepalaku pusing, sebenarnya...apa yang terjadi?". "Kamu digigit cobra, apa kamu nggak ingat?". Puja menggaruk kepalanya. "Ya Tuhan, berapa hari aku pingsan?. Terus, pekerjaaanku gimana?. Mama mana? Tolong panggilkan Jangga...". "Sssh...sudahlah...", Sinta menempelkan jarinya di bibir Puja. "Kamu harus istirahat total, semua urusan perusahaan sudah ditangani Jangga. Mama sedang mengurus rapat dewan direksi...aku disuruh menjaga kamu, jangan sampai kamu kabur dan menyusul mereka ke kantor...". Puja memandang Sinta heran. "Apa masalahku sudah selesai?", Sinta memandang Puja tak mengerti. "Nggak ada masalah di perusahaan kok...". "Bukan, maksudku... masalahku yang ini...", dibelainya pipi Sinta, bibirnya, dan perlahan diciumnya gadis itu, nggak ada perlawanan. Tiba-tiba pintu kamar perawatan terbuka. "Woi...ini rumah sakit, bukan hotel...", Wayan meletakkan parcel berisi buah di mejanya. "Santai man, nanti dilanjutkan saja setelah keluar dari rumah sakit, oke? Kamu istirahat saja dulu...", goda Andika. Wajah Puja berubah masam. Sialan, kenapa sih orang-orang ini datang di saat yang nggak tepat!. "Sin, lebih baik kamu menjauh dulu, nanti Puja bisa stroke...", kata Wayan sambil ngakak. "Dasar, kalian nih memang hobbynya ganggu orang saja...", tak berapa lama ibu Puja dan Jangga masuk, mereka terlihat bahagia melihat Puja sudah siuman. Disusul orangtua Sinta dan Jendra, suasana jadi ramai. Sampai-sampai dokter datang dan menyuruh mereka tenang. "Sebaiknya anda sekalian keluar dulu, biarkan pasien beristirahat...". Lalu mereka semua keluar ruangan, mematuhi perintah dokter. "Dok, istri saya biar di sini menemani saya, boleh dong...". dokter menggelengkan kepala. "Kasihaaaan deh si bos...", serentak ketiga temannya mengacungkan jempol ke bawah. Puja hanya bisa memaki dalam hati.


Love In BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang