[Part 11] Falling

5.8K 457 12
                                    

sekadi bungan cempaka
semengan kembang
sanja buin layu
sesuluh tresna sane rasayang tiang

----

Sinta menatap pemuda yang tengah tertidur itu, pagi sudah menjelang, gimana ya, bangunkan, enggak, bangunkan...duh, kenapa sih mertuanya menyuruhnya membangunkan Puja. Aduh, gimana nih? Pikirnya. Lalu dirabanya leher Puja, sudah lumayan turun panasnya meski masih sedikit hangat, tiba-tiba pandangan matanya malah terkunci oleh tatapan Puja. Hatinya tercekat, betapa hitam dan dalam, seolah dia terseret di danau yang dingin dalam tatapan itu. "Pagi...ka...kata mama kalau masih pusing nggak usah ke kantor dulu...kamu tiduran saja...", lalu cepat-cepat dia mengalihkan pandangan dan beranjak keluar. "Tunggu...", Puja meraih tangannya. "Ada apa?". "Eh, makasih, tapi aku nggak bisa diam saja seharian, tolong bilang Pak Amir untuk memasangkan laptopku...". tak lama di samping tempat tidur sudah ada laptop, Puja online ke situs Neo Square. "Halo, Jangga, ini Puja, sorry gue nggak bisa masuk, kalau ada apa-apa kirim kabar lewat Fax, gue awasi dari rumah saja untuk sementara". "Meeting paginya gimana?". "Untuk sementara kamu yang pimpin...Wayan dan Andi ada?". "Wayan ada, eh, ada kabar baik, Andi mau tunangan". "Oh ya?, sialan tuh anak, kok nggak bilang-bilang aku?". "Katanya, kalau lamaran tunangan belum diterima, dia nggak berani deketin calonnya sama kamu, kan sering tuh kejadian, ceweknya malah nempel ke kamu". "Ada-ada aja, sekarang kan aku dah nikah". "Katanya itu nggak pengaruh, lihat situs 'Hot side' deh, kamu masih peringkat tiga cowok paling seksi di Indonesia versi majalah itu...". "Sialan!". "Undangannya besok malam, kali ini kamu boleh hadir, tapi harus bawa bini lu, itu kata Andika. Tiket masuknya Sinta, kalau kamu datang sendiri, harus diusir, hehe...". "Oh ya?. Baiklah...baiklah, aku usahakan, ya sudah, selamat bekerja...satu lagi, jangan minum Brandy di kulkas!". "Pelit amat sih ni bos!". "Sekarang no Alcohol, work only!". "Sejak kapan?". "Sejak gue nikah!". "Gitu...ISTI nih...ok bos, met istirahat...".

Puja menggelengkan kepala. "Ada-ada aja si Andi". Lalu diteruskannya membaca email yang masuk. Beberapa dari mantan pacarnya. "Aku nggak perduli kamu sudah nikah, aku nggak rela...jadi istri keduapun nggak masalah buatku...", Emilia...Puja mengernyit. Emilia tuh yang mana ya?. Terus ada Shava, Martina, aduh, pusing, begini hasilnya kalau sering main ke club. Lalu di deletenya semua email itu, kalau ada yang baca, gawat!. Tiba-tiba dia menyadari sessuatu, hei, kenapa harus takut?. Apa dia sudah mulai ISTI...Ikatan Suami Takut Istri?. Puja tertawa, yah, terserah deh orang mau bilang apa, dia nggak mau kehilangan Sinta, itu aja. Lalu dia kembali konsentrasi ke pekerjaannya.

Sudah hampir pukul sembilan. Sinta masuk membawa baki berisi makanan. "Sarapan dulu...". "Baiklah, taruh aja dulu". Sinta meletakkan baki di samping laptop. "Apa belum selesai?". "Ya, sedikit lagi". "Puja...". Puja menoleh, baru kali ini gadis itu mau memanggil namanya. "Ya?". "Aku...bolehkan aku bekerja?. Aku bosan di rumah, nggak ada yang bisa dikerjakan...". "Kamu kan bisa menemani mama, belanja, shopping, sesukamu...". Sinta memindahkan kursi dan duduk di dekat meja tempatnya bekerja. "Aku...nggak biasa seperti itu, kalau di tempat ramai gitu malah pusing, aku nggak terlalu suka jalan-jalan". "Lalu, kamu mau kerja di mana?". "Di TK...dengan ijazahku, baru tempat itu yang kupikirkan, aku rasa menyenangkan bisa mengajari anak-anak...", sekilas gadis itu tersenyum, Puja terpana. "Di TK kan juga ramai?". "Tapi lain, anak kecil itu lucu-lucu, sangat menggemaskan...aku cuman mengajar sampai pukul sepuluh pagi, jadi aku nggak pulang larut kok". Puja tertawa. "Kenapa?", Sinta memandangnya heran. "Nggak, aku hanya ingat kata Jangga, kamu kayak lady Di, baiklah, kamu boleh kerja...aku nggak mau kulitmu jadi pucat gara-gara terus menerus tinggal di kamar". "Terimakasih...", Sinta tersenyum manis. "Eits, tapi ada syaratnya...", Puja menutup laptopnya. "Pergi dan pulang harus diantar pak Imran, kamu nggak boleh pergi sendirian, kalau pulangnya telat atau ada kesulitan, segera telpon aku...", lalu dia menuju ke lemari, meraih sebuah kotak berwarna biru. "Ini untukmu...". Sinta membukanya, sebuah Smartphone berwarna pink, sangat lucu, nggak bisa ngebayangin, gimana seorang Puja bisa membelinya. "Terimakasih, tapi aku...". "Terimalah, kata mama bahkan kamu nggak menggunakan kartu kreditmu untuk membeli sesuatu untuk dirimu, Sinta, aku tahu kamu nggak mencintaiku, dan mungkin sangat sulit untuk kamu menerima aku, tapi kumohon, anggaplah aku sebagai suami kamu, mau nggak mau, aku wajib memberikan semua yang kamu perlukan, kita menikah bukan untuk main-main, aku serius menjalani semua ini...". Sinta merasa kaget dengan pernyataan Puja yang tiba-tiba. Pemuda itu meraih tangannya, "Aku, minta maaf untuk semua kesalahan yang kulakukan, mungkin minta maaf saja tidak cukup, aku sudah merusak hidupmu, mungkin juga impianmu, mungkin, di luar sana ada orang yang kamu pikirkan, dan aku sudah begitu kejam merusak hubungan kalian...". "Lepaskan aku...". "Apa...". "Bisakah kamu melepaskan aku dan biarkan aku pergi bersama orang yang kucintai...". Puja seolah mendengar petir menghantam telinganya. "Tidak, aku...", Puja menghela nafas dalam-dalam. Jadi benar, selama ini ada orang yang gadis itu cintai, karena itu Sinta tak bisa tersenyum?. "Maaf Sinta, aku nggak bisa, kau boleh meminta apapun dariku, termasuk nyawaku, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi dengan orang itu..aku...baiklah, pertemukan kami, aku akan bilang padanya, dia boleh memukulku, membunuhku, tapi aku nggak bisa melepasmu, akan kukatakan padanya...". "Puja...sudahlah...". "Tidak...kumohon, jangan suruh aku melakukan hal ini, melepasmu sama saja membuatku mati perlahan...". Sinta memandang Puja dengan sedih. "Aku ingin bertemu, seperti apakah orang yang selalu kau pikirkan, bahkan kau nggak bisa tersenyum?. Apakah orang itu begitu hebat?. Kenapa dia begitu berharga di matamu?aku...". Sinta berdiri membelakangi Puja. "Orang itu nggak pernah ada!. Selama hidupku, aku tidak pernah mengenal pemuda manapun, hanya kakakku, Jendra, yang aku kenal. Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa menikah, karena aku pikir aku akan meneruskan ayah menjadi pendeta...". Puja meraih tubuh gadis itu menghadapnya. "Tapi kenapa seolah-olah selama ini kau memikirkan seseorang?. Aku tahu kau memikirkan seseorang...dan orang itu yang membuatmu tak bisa tersenyum...". Sinta menatap Puja dengan marah. "Benar, aku memang selalu memikirkan seseorang...orang itu adalah kamu! Aku membencimu, benar-benar membencimu, Oka Puja!", lalu di sentakannya tangan Puja dan berlalu meninggalkan pemuda itu dengan sejuta pertanyaan.

Love In BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang